Dalam Tahun Keadilan Sosial, kalimat Paus Fransiskus jadi bergema: "Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan daripada Gereja yang menutup diri dan nyaman pada rasa aman"
Oleh
Trisno S Sutanto
·3 menit baca
Minggu, 5 Januari 2020, dirayakan umat Katolik sebagai Hari Penampakan Tuhan. Keuskupan Agung Jakarta memilih hari ini untuk memulai "Tahun Keadilan Sosial". Surat Gembala Kardinal dan Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo menjelaskan perlunya memperjuangkan keadilan sosial sebagai pusat refleksi Gereja Katolik sepanjang 2020.
Dalam Surat Gembala itu, disebutkan eratnya kaitan peristiwa Penampakan Tuhan—sebuah narasi khas Matius—dengan Tahun Keadilan Sosial.
Dari narasi panjang Matius tentang para Majusi yang datang untuk menjumpai bayi Yesus, Mgr Suharyo menyorot khusus kalimat penutup: "... mereka pun pulang ke negerinya lewat jalan lain" (Mat 2: 12b).
Frasa pendek itu, "jalan lain", dipahami sebagai titik tolak baru bagi setiap orang yang, seperti para Majusi, bertemu dan mengalami penampakan Tuhan. "Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan selalu mengubah dan membarui serta membuahkan sukacita (Mat 2: 10)."
Surat Gembala Kardinal dan Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo menjelaskan perlunya memperjuangkan keadilan sosial sebagai pusat refleksi Gereja Katolik sepanjang 2020.
Jadi ada imperatif perubahan yang selalu bergema sepanjang sejarah gereja. Dalam kalimat Konsili Vatikan II tentang gereja, rumusan imperatif itu adalah gereja harus "terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan". Ecclesia Semper Reformanda!
Gereja harus terus-menerus diperbarui, sebuah slogan yang bergema kuat dalam tradisi gereja-gereja reformasi. Dewasa ini, imperatif perubahan itu nyaring disuarakan Paus Fransiskus yang mengajak agar gereja berani "bergerak keluar ke daerah-daerah pinggiran dari wilayahnya sendiri atau ke lingkungan sosial budaya baru."
Pesan perjuangan sosial
Boleh jadi, frasa dari narasi Matius sengaja dipilih untuk menekankan imperatif "pertobatan dan pembaruan" tersebut. Namun, minimal untuk saya, tekanan ini mereduksi "pesan politis" Matius yang justru sangat dibutuhkan ketika kita ingin memperjuangkan keadilan sosial. Dalam tulisan ini, saya akan mengelaborasi lebih jauh titik berangkat hermeneutis ini.
Di bagian awal Injil Matius, kita menemukan narasi-narasi yang khas dan tidak dapat ditemukan dalam injil-injil lain. Kisah tentang kegundahan dan kemarahan Herodes sebagai penguasa, kedatangan para Majusi, pelarian Keluarga Kudus ke Mesir, ataupun pembantaian bayi-bayi di Betlehem, adalah contoh narasi-narasi khas itu.
Ia sadar kekuasaannya sangat rapuh dan sedang runtuh sebab Yang Maha Tinggi sudah memutuskan untuk bertindak, memilih locus yang sama sekali di luar dugaan Herodes. Matius melukiskan itu sembari menyitir nubuat kuno yang kemudian menjadi syair salah satu lagu Natal, "O Little Town of Bethlehem" (Mat 2:6).
Warta ini membuat Herodes gundah, tahu bahwa akhir kekuasaannya sudah tiba. Maka, Herodes membujuk para Majusi untuk menyelidiki dengan rencana keji di kepala. Kelahiran Yesus bagi kita adalah warta gembira, suatu eungalion (injil), walau paradoksal: Yang Maha Tinggi memilih dan menjadi yang paling kecil, rapuh dan hina, untuk memulai suatu karya keselamatan.
Dewasa ini, imperatif perubahan itu nyaring disuarakan Paus Fransiskus yang mengajak agar gereja berani "bergerak keluar ke daerah-daerah pinggiran dari wilayahnya sendiri atau ke lingkungan sosial budaya baru."
Menurut saya, "pesan politis" dalam narasi khas Matius ini memberi kerangka hermeneutis untuk lebih menghayati panggilan Tahun Keadilan Sosial.
Memang benar di sana dituntut pertobatan dan pembaruan agar gereja mampu membaca tanda-tanda zaman, memberi "kegembiraan dan harapan, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, sebagaimana Konsili Vatikan II. Surat Gembala di atas menekankan imperatif itu.
Pesan politis
Menurut saya, imperatif itu harus diletakkan dalam kerangka "pesan politis" Matius. Tuntutan untuk memperjuangkan keadilan sosial tidak akan bisa lepas dari tarik-menarik kekuasaan yang telah membentuk struktur-struktur ketidakadilan dan melestarikannya.
Kerangka hermeneutis inilah yang perlu selalu diperhatikan di dalam menghayati Tahun Keadilan Sosial. Di dalam kerangka itu, kalimat Paus Fransiskus jadi sangat bergema: "Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka, dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan daripada Gereja yang menutup diri dan nyaman pada rasa aman sendiri."
Lagi pula, seperti saya singgung di atas, persis di situlah warta gembira Natal memperoleh kembali signifikansinya, tidak terjebak menjadi sekadar ritus yang membosankan, atau hura-hura yang konsumtif.
Seperti diwartakan Matius, Yang Maha Tinggi sudah memutuskan untuk bertindak lewat mereka yang paling kecil, miskin, terhina, dan tersingkir.
Di dalam kerangka itu, kalimat Paus Fransiskus jadi sangat bergema: "Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka, dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan daripada Gereja yang menutup diri dan nyaman pada rasa aman sendiri."
(Trisno S Sutanto, Peneliti Lepas; Aktif di Paritas Institute, Jakarta)