Nama Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) terakhir ini kembali menjadi isu besar di media internasional dan di tataran elite penguasa sejumlah negara. Mencuat setelah tewasnya Komandan Brigade Al-Quds, Mayor Jenderal Qassem Soleimani, oleh serangan pesawat tanpa awak Amerika Serikat di Bandar Udara Internasional Baghdad, Irak, 3 Januari 2020.
Brigade Al-Quds, unit elite dalam jajaran IRGC, mengemban misi khusus revolusi Iran tahun 1979 pimpinan Ayatollah Imam Khomeini. Misi khusus itu adalah mengembangkan pengaruh Iran di mancanegara, khususnya di negara-negara dengan mayoritas warga penganut mazhab Syiah. Brigade Al-Quds pun menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari IRGC.
IRGC saat ini berada di bawah komando Mayjen Hossein Salami. Korps itu memiliki satuan lengkap, terdiri dari angkatan darat, udara, laut, badan intelijen, dan satuan khusus Brigade Al-Quds. Di bawah IRGC juga terdapat paramiliter yang dikenal dengan nama Basij. Diperkirakan, IRGC memiliki 225.000-250.000 personel.
Melihat kiprah dan sepak terjang Soleimani hingga tewasnya di Baghdad—setiba dari Damaskus—menunjukkan gerakan lintas negara, yang diperankan IRGC, sesuai misi revolusi Iran tahun 1979. Oleh karena itu, misi IRGC berbeda dari institusi militer reguler di banyak negara yang hanya mengemban misi dan tugas menjaga kedaulatan dan perbatasan negara dari serangan atau ancaman musuh.
Misi IRGC itu sesungguhnya tidak lepas dari visi negara Iran pascarevolusi 1979 yang berpijak pada ideologi agama—persisnya mazhab Syiah. IRGC mengusung misi-visi melindungi kaum minoritas Syiah di seluruh dunia. Visi ini diletakkan Ayatollah Imam Khomeini, pemimpin revolusi. Untuk mewujudkan visi itu, Imam Khomeini menginstruksikan pembentukan IRGC pasca-kemenangan revolusi pada 22 April 1979. Misi dipikul IRGC, yakni melindungi dan mempertahankan revolusi dari kemungkinan ancaman kudeta dari sisa-sisa militer loyalis Shah Iran Reza Pahlavi, serta melindungi kaum Syiah di mancanegara.
Namun, seiring dengan pecahnya perang Iran-Irak tahun 1980-1988, IRGC bahu-membahu dengan militer reguler Iran. Pasukan IRGC langsung dikerahkan ke medan perang melawan Irak. Oleh karena itu, peran IRGC pada era 1980-an tak tampak menonjol seperti sekarang. Peran korps IRGC saat itu lebih difokuskan untuk terjun ke medan pertempuran melawan Irak.
Pasca-berakhirnya perang Iran-Irak (1980-1988) dan wafatnya Imam Khomeini pada 3 Juni 1989, IRGC memiliki peluang lebih luas untuk mewujudkan misi melindungi kaum Syiah di mancanegara. IRGC setelahnya sekaligus mengembangkan pengaruh Iran di luar negeri.
Peran Khamenei
Terkait peran di dalam negeri, IRGC juga semakin menyadari untuk memikul tanggung jawab mempertahankan sistem politik velayat-e faqih yang diusung revolusi Iran 1979. Apalagi, Ayatollah Ali Khamenei yang menggantikan Ayatollah Imam Khomeini saat itu masih sangat butuh dukungan dan perlindungan IRGC dari ancaman oposisi atau pendongkelan, baik dari dalam maupun luar lingkaran elite para mullah yang berkuasa di Iran pascarevolusi. Khamenei sangat butuh dukungan dan perlindungan IRGC karena figur dan ketokohannya tidak sekelas Imam Khomeini.
Maka, terjadi hubungan saling membutuhkan antara Khamenei dan IRGC. Khamenei selalu menggunakan satuan Basij dari IRGC untuk menumpas semua unjuk rasa di Iran selama ini. Dengan kekuasaan tertinggi yang dimiliki sebagai pengganti Imam Khomeini, Khamenei memberi keleluasaan yang luar biasa kepada IRGC untuk bergerak dan mengembangkan diri sedemikian rupa dengan perlindungan dirinya.
Khamenei memperlakukan sangat istimewa IRGC. Pamor IRGC pun jauh lebih harum dan populer daripada militer reguler Iran. Peralatan militer yang dimiliki IRGC juga jauh lebih modern ketimbang yang dimiliki militer reguler Iran. Sejak Khamenei berkuasa selama hampir 31 tahun (1989- sekarang), IRGC menjadi sangat kuat dan besar, bahkan kini menjelma menjadi seperti negara dalam negara di Iran.
IRGC pun sangat memanfaatkan privilese yang diberikan Khamenei untuk menjalankan ekspansi pengaruh. Ini tidak hanya di bidang militer tetapi juga di sektor politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pendek kata, Khamenei berada di balik kebesaran dan kekuatan IRGC saat ini. Bertahannya negeri ”Para Mullah” selama 41 tahun ini juga berkat adanya IRGC yang sangat kuat.
Ekspansi
Ambruknya rezim Saddam Hussein di Irak akibat invasi AS tahun 2003 memberi peluang besar bagi IRGC menjalankan ekspansi pengaruh langsung secara besar- besaran, baik politik maupun militer, ke luar negeri, yakni Irak.
Di samping menanamkan pengaruh politik melalui partai-partai politik Syiah pro-Iran di Irak, IRGC juga membangun milisi bersenjata. Puncak sukses IRGC di bidang militer di Irak adalah pembentukan milisi Hashed al-Shaabi tahun 2014. Ini terjadi pada era pemerintahan Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki yang dikenal sangat pro-Iran. Milisi Hashed al-Shaabi menghimpun sekitar 67 milisi bersenjata yang sebagian besar adalah loyalis Iran di Irak.
Meletupnya Musim Semi Arab tahun 2011 membuka peluang lagi bagi IRGC melakukan ekspansi pengaruh di negara-negara Arab dengan penduduk penganut mazhab Syiah. IRGC segera menginjakkan kaki di Suriah atas permintaan rezim Presiden Bashar al-Assad, seorang penganut Syiah Alawiyah. Peran IRGC diperlukan menghadapi pemberontakan rakyat Suriah untuk menggulingkan rezim.
IRGC juga mendapat pijakan pengaruh di Yaman melalui kelompok Houthi yang menganut Syiah Zaidiyah dan berkuasa di ibu kota Sana’a sejak 2015 sampai sekarang.
Jauh sebelum meletus Musim Semi Arab itu, IRGC sejak awal 1980-an dalam skala kecil sesungguhnya juga sudah masuk ke Lebanon melalui Hezbollah. Berkat dukungan militer dan finansial Iran, Hezbollah memiliki pengaruh yang semakin kuat di Lebanon dan ikut berkuasa di negara itu.
Maka, kini sudah populer sebutan bahwa Iran telah mengontrol empat ibu kota negara Arab, yaitu Baghdad, Damaskus, Beirut, dan Sana’a.
Sayap ekonomi
Di sektor ekonomi, IRGC juga memegang monopoli di Iran. Di dalam negeri Iran, sayap ekonomi IRGC dikenal dengan nama ”Khatim al-Anbiya” yang kini diperkirakan memiliki 40.000 pegawai. Khatim al-Anbiya yang dibentuk pada 11 Februari 1979 membawahi lebih dari 800 perusahaan yang mengontrol proyek di berbagai sektor. Sebagian besar proyek yang ditangani oleh Khatim al-Anbiya adalah proyek-proyek pemerintah.
IRGC juga mempunyai jaringan bisnis dan investasi di kawasan, seperti di Turki, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Kuwait. IRGC melalui jaringan bisnisnya membiayai pengembangan industri rudal balistik dan nuklir, serta modal untuk menghadapi sanksi AS.
AS saat ini menetapkan IRGC sebagai organisasi teroris pada 8 April 2019. Dengan penetapan status itu, Washington mengklaim membekukan lebih dari 25 perbankan, perusahaan, dan lembaga keuangan di bawah kontrol atau kerja sama dengan IRGC yang tersebar di Iran, Turki, Qatar, UEA, dan Pakistan. Klaim AS itu menunjukkan betapa luas jaringan bisnis IRGC.