Hentikan Hinaan Itu!
Pada suatu hari seorang wanita berumur 45 tahun menelepon saya dan mengatakan bahwa dirinya menghadapi dilema oleh hinaan tentang berat badannya yang secara konstan dilempar oleh suaminya.
Pada suatu hari seorang wanita berumur 45 tahun menelepon saya dan mengatakan bahwa dirinya menghadapi dilema oleh hinaan tentang berat badannya yang secara konstan dilempar oleh suaminya. Ia menyatakan bahwa bersikap toleran bukan cara yang tepat menghadapi hinaan suaminya itu.
Ia menuliskan masalahnya itu sebagai berikut: ”Saya ingin sekali tahu apa yang Anda lakukan apabila Anda memiliki suami seperti suami saya yang sering mengatakan bahwa kamu gendut, apakah benar dia merasa terganggu oleh bentuk badan saya yang semakin gemuk.
Berat badan saya bertambah 20 kg sejak usia saya 40 tahun. Saya benar-benar jenuh mendengar kritik dan hinaannya tentang berat badan saya.” Dari masalah yang diutarakan melalui surat tersebut, saya berpendapat bahwa wanita itu, sebut saja N, menghadapi dua tantangan sekaligus.
1. N membutuhkan sikap suaminya berubah dengan tidak terus-menerus mengkritik berat badannya karena apa yang diungkap suaminya membuat dirinya merasa dirisak.
2. Sementara itu, N pun membutuhkan komunikasinya dengan suami tidak terputus, baik tentang pendapat suami akan berat badannya maupun tentang masalah-masalah lainnya. N ingin komunikasi terbuka tentang kondisi berat badannya dilakukan dalam bentuk dialog yang sehat dan bukan ejekan.
Selanjutnya, saya akan mendiskusikan dengan N bahwa apabila katakanlah saya berada dalam satu sepatu dengan N, saya akan memulai percakapan dengan suami saya sebagai berikut:
”Sebenarnya saya mengalami kesulitan berbicara denganmu tentang berat badan saya, terutama apabila saya merasa bahwa kamu menghina saya dan merendahkan diri saya. Namun, saya berminat untuk mengetahui pikiranmu tentang masalah berat badanku.”
Saya akan mempertanyakan terus kepada suami saya sehingga saya lebih tahu bagaimana perasaan dan asosiasi yang ada dalam benak suami saya tentang berat badan saya. Pertanyaan saya akan sebagai berikut:
(1) Adakah sesuatu yang spesifik berpengaruh dan mengganggunya oleh bentuk tubuh saya yang gemuk?
(2) Apakah ia malu oleh kondisi kegemukan tubuh saya?
(3) Apakah berat badan saya berpengaruh pada perasaannya saat dia berdua dengan saya di tempat tidur?
(4) Apakah dia mencemaskan kesehatan saya?
(5) Saat ia beranjak dewasa, adakah anggota keluarga yang gendut?
(6) Bagaimana dia dan keluarga menjalin relasi dengan anggota keluarga yang gendut tadi?
(7) Saya akan mengekspresikan secara tulus minat saya dalam mendengarkan pandangan dan sikapnya, sambil mencoba memahami bahwa berat badan saya mungkin menjadi isu yang sensitif bagi kami berdua.
Saya akan mencoba mendengar apa yang dia sampaikan tanpa sikap defensif.
Sekalipun saya tidak toleran pada hinaan, saya juga tidak akan menghukumnya agar ia tetap jujur pada dirinya sendiri, karena saya tidak mau dirinya menyembunyikan perasaan yang sebenarnya nyata pada dirinya sendiri yang kemudian bisa menjadi bentuk tekanan atau stres. Saya akan mencoba mendengar apa yang dia sampaikan tanpa sikap defensif.
Saya juga harus jujur pada diri saya sendiri dan untuk itu saya akan mengatakan: ”Tahukah kamu bahwa berat badan saya ini juga mengganggu perasaan saya. Dan saya telah mencoba berbagai cara dengan sangat keras untuk mengatasi berat badanku ini.”
Bisa juga saya menyampaikan pertanyaan seperti ini, ”Beginilah cara saya memahami saat berat badan saya bertambah, bagaimana caramu mengatasi perasaanmu oleh bertambahnya berat badan saya? Mungkin kalimat lainnya seperti, ”Inilah ukuran badanku sekarang, tetapi saya tetap merasa nyaman dengan kondisi berat badan ini.”
Namun, jika suami saya tetap mengkritik berat badan saya, atau terus-menerus mengatakan, ”Kamu gemuk sekali”, saya akan membalas ungkapannya dengan ceria dan rasa humor, apa yang dia sampaikan tentang berat badan telah menyinggung saya dan justru tidak membantu saya untuk berusaha menurunkan berat badan.
Jika kemudian saya menentukan pengurangan berat badan menjadi tujuan utama saya, saya akan bertanya kepadanya seberapa jauh dia bisa mendukung saya untuk meraih tujuan tersebut dan komentar-komentar apa yang mampu dia berikan agar saya benar-benar merasa terdukung untuk meraih tujuan itu.
Bagaimana sikap saya jika ternyata dia masih saja terus mengejek dan merundung saya? Saya akan membuat dia tahu secara spesifik apa yang dapat dia lakukan untuk mendukung saya sehingga ketangguhan saya untuk meraih tujuan menurunkan berat badan tersebut benar-benar terdukung.
Bagaimana jika dia tetap mengejek bentuk badan saya? Saya akan mengungkap perasaan saya tanpa kemarahan sedikit pun sebagai berikut: ”Ketahuilah Sayang, saya benar-benar heran, saya berulang kali menyatakan kepadamu bahwa perasaan saya sangat tersinggung apabila kamu terus mengejek berat badan saya.
Namun, kamu tidak berhenti mengejek saya, apakah kamu tidak percaya bahwa ejekanmu tersebut betul-betul menyakitkan hati saya? Atau sebenarnya kamu tahu saya tersinggung, tetapi kamu tidak peduli dan terus mengejek saya? Tolong kamu pahami saya.”
Janganlah mengungkapkannya dengan menjadikan diri saya sebagai obyek bagi kenikmatan perasaannya itu.
Saya akan membuatnya paham, saat dia merasa berhak membuat dirinya merasa nyaman dengan mengejek berat badan saya, janganlah mengungkapkannya dengan menjadikan diri saya sebagai obyek bagi kenikmatan perasaannya itu.
Kemudian saya akan dengan senang hati mendiskusikan cara menurunkan berat badan saya dengan dirinya, dengan catatan, jika dia mengungkapkan perasaannya tentang berat badan saya dengan penuh empati dan penuh rasa hormat.
Namun, kalau ternyata kritikannya itu masih berlanjut, berarti masalah berat badan saya menjadi satu-satunya pokok pembicaraan yang mampu ia ungkap. Untuk itu, saya harus membiasakan diri untuk menanggapinya dengan ringan dan sambil lalu agar lama-kelamaan dia bosan sendiri.
Dalam sebuah majalah saya menyimak bahwa ada 10 cara menghadapi ejekan berlanjut dari suami atau orang lain sebagai berikut:
1. Dengarkanlah baik-baik kritik atau ejekan tersebut.
2. Tanyakan apabila ada ejekan yang kurang kita pahami.
3. Hindari sikap defensif, jangan mendengar untuk tujuan menolak atau mengejek balik orang itu.
4. Maafkan orang yang mengkritik atau mengejek kita.
5. Hindari mengejek balik.
6. Tetap tunjukkan sikap tenang karena andai kita merasa tegang dan stres akan membuat diri kita justru tanpa sadar membentuk sikap yang kurang sehat.
7. Sampaikan perbedaan sikap kita tanpa harus merendahkan orang yang mengkritik dan mengejek kita.
8. Katakan seperti ini: ”Saya membutuhkan waktu untuk memikirkan apa yang baru saja kamu katakan kepada saya, kemudian saya akan beri tahu kamu kapan kita bisa mendiskusikan ejekanmu itu dengan tenang.”
9. Bicarakan inti masalah terpenting dari isu yang muncul.
10. Jika kita merasa terpojok, diam beberapa saat dan jangan lakukan apa pun untuk kemudian setelah berpikir sejenak baru kita sampaikan hasil pemikiran tersebut dengan tenang tanpa penyertaan emosi negatif.