Kebudayaan China memiliki kekayaan aneka ragam karya sastra, dari puisi, cerita pendek, hingga novel.
Oleh
ANDREAS YOGA PRASETYO
·3 menit baca
Bangsa China memiliki kekayaan aneka ragam cipta sastra. Di samping menghasilkan puisi yang jumlahnya barangkali tidak tertandingi oleh puisi yang ditulis di negara lain, sastrawan China juga menghasilkan ratusan ribu karya cerita pendek dan novel.
Tercatat, selama masa Dinasti Tang (518-906), telah dihasilkan 50.000 puisi dari 2.200 penyair di China. Keragaman sastra China yang terus berkembang setiap abad menarik perhatian banyak pihak untuk mengenali salah satu bagian penting dari khazanah sastra dunia ini.
Lanskap kesusastraan China, antara lain dapat dilihat dari buku Sastra Cina Sepintas Lalu karya Nio Joe Lan, pemerhati kebudayaan China dan sastra Indonesia-Tionghoa. Selain bertujuan memberikan pengenalan mendasar tentang sastra China yang lahir seiring dengan kemunculan tradisi tulis menulis, pemaparannya juga dimaksudkan sebagai sarana untuk mempelajari sejarah dan peradaban masyarakat China sebagaimana digambarkan oleh penulisnya.
Dari sini bisa dipelajari sejarah kelahiran sastra China dan perkembangannya dalam berbagai zaman. Buku ini juga menampilkan beberapa hasil karya sastrawan China serta bentuk- bentuk karya sastra yang ada, seperti puisi, sajak, novel, dan naskah drama.
Abad 19
Perkembangan sastra China juga terekam pada akhir abad 19. Pada masa peralihan ini keturunan Tionghoa memberi peran yang cukup besar dalam perkembangan kesusastraan Melayu populer. Salah satu alasannya adalah karena taraf hidup dan tingkat pendidikan mereka lebih baik daripada bangsa pribumi.
Pada paruh kedua abad 19 masyarakat keturunan Tionghoa sudah banyak menyadur karya-karya sastra Tiongkok ke dalam bahasa Melayu. Selain itu mereka juga banyak membuat karya sastra yang mampu mewakili semangat zamannya. Namun, karya-karya keturunan Tionghoa ini belum dapat diterima sebagai bagian dari sejarah sastra Indonesia.
Latar belakang tidak diterimanya karya-karya tersebut karena keturunan Tionghoa dianggap sebagai kelompok perantau. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam karya mereka adalah bahasa Melayu Rendah bukan bahasa Melayu Tinggi seperti yang dibina oleh Balai Pustaka.
Melayu Tionghoa
Perhatian masyarakat terhadap kesusastraan Melayu Tionghoa ini mulai terbuka pada tahun 1981, ketika Claudine Salmon-sarjana asal Perancis-memublikasikan kajiannya yang berjudul Literature in Malay by the Chinesse of Indonesia. Bahkan, dengan terbitnya buku tersebut, kesusastraan Melayu Tionghoa tidak diragukan lagi memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia.
Salah satu karya sastra Melayu Tionghoa adalah novel berjudul Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay. Latar novel ini adalah pemberontakan politik pada bulan November 1926. Novel ini berkisah mengenai percintaan antara Moestari dan Noerani di tengah perjuangan politik zaman itu.
Sebagai sebuah kisah klasik percintaan antara dua sejoli yang memiliki kedudukan sosial yang berbeda, novel tersebut mungkin tidak terlalu istimewa. Namun, dengan menempatkan novel tersebut dalam sebuah setting sejarah sebuah kemelut politik dan pergerakan nasional Indonesia, Kwee mampu memberikan sebuah catatan sejarah mengenai gagasan kemerdekaan dan persatuan Indonesia.
Dalam pengantarnya, Kwee mengatakan bahwa novel ini hanya berkisah tentang roman dan sama sekali tidak mengandung sifat politik. Namun, muatan politik dalam karya ini cukup signifikan meskipun dengan eksplorasi yang mampu membuat unsur-unsur politik tadi tidak terasa berat dalam novel ini.
Penerbitan kembali karya-karya sastra Melayu Tionghoa, seperti novel ini, sedikit banyak membuat pemahaman kita tentang sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia menjadi lebih beragam dan terbuka. (Litbang Kompas)