Sungai Mahakam merupakan sumber air melimpah yang membelah Kalimantan Timur. Namun, kualitas air, jumlah satwa, dan daya dukung lingkungan di daerah hilir berpotensi menurun akibat pembangunan serta reruntuhan batubara yang diangkut tongkang. Tak ingin melihat kehancuran sungai, suku Dayak di Hulu Mahakam memuliakan sungai sejak puluhan tahun lalu demi kelestarian sumber kehidupan mereka.
Lawing Lejau (56) datang membawa sekitar 20 ikan masheer (Tor putitora) kecil dengan perahu ketinting, perahu kayu kecil dengan mesin berkekuatan enam kali tenaga kuda, Rabu (11/12/2019). Ia menepikan perahu itu ke pinggir Sungai Tepai, anak Sungai Mahakam di Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Lawing baru saja menangkap ikan itu menggunakan jaring.
”Ikan di Sungai Tepai ini hanya boleh diambil secukupnya untuk kebutuhan rumah tangga, kegiatan adat, atau wisata,” katanya sambil mengambil ikan-ikan yang tersangkut jaringnya. Untuk kegiatan wisata, ikan hanya boleh dikonsumsi di tempat.
Saat itu, sekitar 10 orang suku Dayak Long Gliit—orang Dayak Bahau menyebutnya Long Glaat—tengah menemani empat wartawan dan tiga pegiat lingkungan berwisata di Sungai Tepai. Sungai itu dijaga orang Dayak di Desa Long Tuyoq. Mereka akan masak bersama di tepi sungai dan memasak ikan yang langsung ditangkap di sana.
Sejak puluhan tahun lalu, hukum adat di sana melarang masyarakat menangkap ikan berlebihan di sungai itu. Peraturan adat melarang orang menangkap untuk diperdagangkan. Warga Desa Long Tuyoq diperbolehkan menangkap ikan di sana, tetapi hanya untuk konsumsi keluarga sehari-hari. Orang dari luar desa boleh mengambil di Sungai Tepai dengan izin terlebih dahulu kepada lembaga adat kampung atau pemerintah desa.
”Jika ada yang menangkap ikan berlebihan dan dijual, akan kena denda adat,” kata Mereng Irang, Bendahara Adat Desa Long Tuyoq. Sungai Tepai memiliki panjang 920 kilometer yang merentang di Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu hingga Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda di bagian hilir. Terdapat banyak ikan sungai di sana, seperti ikan masheer, hampala, dan telurai.
Suku Dayak Long Gliit menetap di Desa Long Tuyoq sejak puluhan tahun lalu sebelum Indonesia berdiri. Mereka berpindah dari daratan Apo Kayan yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Malinau. Mereka hijrah untuk menghindari wabah penyakit dan memenuhi kebutuhan hidup. Mereka selalu menetap di daerah yang tak jauh dari sungai sebagai sumber air. Untuk itulah, mereka memuliakan sungai sebagai sumber kehidupan.
Untuk tetap menjaga sungai itu dari eksploitasi, Pemerintah Desa Long Tuyoq membuat pos penjagaan di pintu masuk Sungai Tepai yang beririsan langsung dengan Sungai Mahakam. Pos itu dijaga bergilir oleh keamanan desa.
Perahu yang masuk wilayah itu akan diperiksa alat tangkapnya, tak boleh menggunakan pukat atau jala untuk mendapatkan ikan banyak dan dijual. ”Ketika ada yang melanggar, diserahkan kepada lembaga adat untuk diberikan hukuman,” kata Kepala Desa Long Tuyoq Alexander Ajang Blawing.
Lembaga adat akan menghitung apa saja pelanggaran yang dilanggar. Jika pelanggaran yang dilakukan adalah penangkapan ikan berlebihan, ikan itu akan disita. Setelah itu, ada sanksi yang dikenakan dari lembaga adat. Sanksinya bisa berupa denda, yaitu satu gong atau tempayan. Jika dikonversi, sebuah tempayan setara Rp 1 juta. Uang itu dikelola lembaga adat untuk penyelenggaraan kegiatan adat, kegiatan sosial, dan operasional penjagaan wilayah sungai dan hutan adat.
Hal serupa juga dilakukan tetangga Desa Long Tuyoq, yakni Desa Liu Mulang, yang sebagian besar dihuni suku Dayak Bahau Umaq Lakuwe. Terdapat Sungai Danum Usan yang juga anak Sungai Mahakam yang mereka lindungi dari eksploitasi. Sungai Danum Usan hanya boleh diambil ikannya untuk kebutuhan sehari-hari warga desa, kebutuhan wisata, dan acara adat kampung.
”Ikan kecil juga tak boleh ditangkapi untuk menghindari kepunahan. Sebab, di sana untuk stok kebutuhan ikan bersama,” kata Kepala Desa Liu Mulang, Hendrikus Helaq.
Hutan
Selain sungai, suku Dayak di Desa Liu Mulang dan Desa Long Tuyoq juga melindungi hutan di sekitar kawasan Sungai Tepai dan Sungai Danum Usan. Mereka menyebutnya sebagai tanaa peraa’, lahan hutan yang tak boleh digarap. Tanah itu dijaga untuk sumber buah, kayu, rotan, dan vegetasi sekitar sungai.
Suku Dayak Bahau Umaq Lakuwe memiliki 6.000 hektar tanah adat dan tanaa peraa’. Di dalamnya terdapat berbagai satwa endemik Kalimantan dan dilindungi, seperti beruang madu, macan, dan burung enggang.
Perusahaan yang memiliki konsesi di sekitar dua desa itu juga mematuhi peraturan adat yang dimiliki kedua desa itu. Jika ada pembangunan atau kegiatan produksi yang beririsan dengan tanaa peraa’, perwakilan perusahaan akan berkomunikasi dengan kepala desa dan lembaga adat.
”Pihak perusahaan juga menghargai peraturan yang sudah kami sepakati sejak lama. Selama ini setiap ada kegiatan di sekitar hutan kami, pasti ada komunikasi sehingga tahu batas wilayah masing-masing,” kata Gelung Ding, Ketua Adat Desa Liu Mulang. Pada April 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat fase I. Tercatat hutan adat seluas 19.150 hektar di Indonesia pada fase itu.
Selama ini, masyarakat Dayak Long Gliit di Desa Long Tuyoq dan Dayak Bahau Umaq Lakuwe di Desa Liu Mulang menyepakati tanah adat berdasarkan keputusan bersama yang dilakukan pendahulu mereka. Mereka belum memiliki sertifikat tanah adat. Kepala Badan Perencanaan, Pembangunan, Penelitian, dan Pembangunan Daerah Mahakam Ulu Stephanus Madang mengatakan, pemerintah saat ini masih mengidentifikasi tanah adat di Mahakam Ulu.
Luas Kabupaten Mahakam Ulu lebih dari 18.000 kilometer persegi. Sekitar 80 persen wilayahnya merupakan hutan. Madang mengatakan, pemetaan batas hutan adat dan hutan negara masih terus dilakukan di seluruh wilayah kabupaten yang baru berusia 6 tahun itu. ”Kami sudah bekerja sama dengan berbagai organisasi non-pemerintah untuk melakukan pemetaan,” kata Madang.
Sikap masyarakat Desa Long Tuyoq dan Liu Mulang terhadap sungai dan hutan di sekitar mereka menunjukkan penggunaan sumber daya alam yang cukup bisa menghindarkan dari penderitaan. Mereka yakin ketamakan mengeksploitasi alam akan menjauhkan mereka dari ketenteraman hidup.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.