Perlu Pendidikan Masyarakat mengenai Etika Demokrasi Digital
›
Perlu Pendidikan Masyarakat...
Iklan
Perlu Pendidikan Masyarakat mengenai Etika Demokrasi Digital
Membuat petisi daring harus memerhatikan etika demokrasi digital agar tidak kebablasan menjadi ujaran kebencian dan perundungan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu antusiasme masyarakat mengekspresikan diri di media digital ialah dengan membuat petisi menandakan semakin aktifnya demokrasi digital. Akan tetapi, di saat yang bersamaan diperlukan pendidikan masyarakat mengenai etika demokrasi digital agar tidak kebablasan menjadi ujaran kebencian dan perundungan.
"Jumlah petisi terkait pemenuhan dan perlindungan hak anak di laman Change.org tahun 2019 mencapai 15 petisi yang didukung oleh 4.408.655 penandatangan. Artinya, masyarakat sangat memedulikan hak-hak anak," kata komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, pada peluncuran infografis data penggunaan laman Change.org untuk demokrasi digital di Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Petisi yang paling populer terkait anak antara lain adalah kasus perundungan siswa SMP berinisial A dari Kalimantan Barat serta pemastian pelaku kejahatan seksual kepada kakak beradik Joni dan Jeni di Cibinong, Jawa Barat, mendapat hukuman setimpal. Ada pula petisi agar pemerintah menegur sebuah acara pusparagam di satu stasiun televisi swasta yang menghina anak-anak dengan HIV/AIDS.
Meskipun begitu, Retno menjabarkan bahwa cara masyarakat membuat petisi masih cenderung tergesa-gesa tanpa mengetahui duduk perkara yang jelas. Beberapa kasus yang ditelusuri mendalam oleh KPAI dan aparat penegak hukum ternyata tidak seperti yang dideskripsikan di dalam petisi.
Cara masyarakat membuat petisi masih cenderung tergesa-gesa tanpa mengetahui duduk perkara yang jelas.
Aspek penting lain adalah ketika mengadvokasikan kasus terkait anak masyarakat masih kerap menyertakannya dengan foto korban atau pun pelaku tindakan kekerasan yang juga masih berusia anak. Bahkan, di dalam narasi petisi tidak jarang nama anak, nama pelaku, alamat rumah, dan alamat sekolah turut ditampilkan.
Ia mencontohkan, tiga anak yang menganiaya A di Kalimantan Barat menjadi korban perundungan masyarakat karena berbagai petisi untuk memberi mereka pendisiplinan mencakup identitas pribadi. Akibatnya, anak-anak ini menerima berbagai teror mulai dari ancaman kekejian seksual hingga pembunuhan. Masyarakat ingin melindungi A sebagai korban kekerasan, tetapi malah melakukan kekerasan kepada anak lainnya.
Padahal, ini merupakan pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menegaskan bahwa identitas anak sebagai korban maupun pelaku beserta identitas keluarga, tempat tinggal, dan nama sekolah tidak boleh dibeberkan kepada publik. Ada hukuman pidana lima tahun kurungan bagi yang menyebarluaskannya.
"KPAI memahami masyarakat ingin mendesak aparat penegak hukum agar cepat bertindak, tetapi mohon penggambaran kasusnya tetap memenuhi norma perlindungan anak," tutur Retno.
Aturan
Manajer Kampanye Change.org Dhenok Pratiwi mengungkapkan, pengguna situs Change.org hingga Desember 2019 mencapai 13,5 juta orang. Jumlah ini melonjak dibandingkan data per Desember 2018 yang hanya mencapai 6,5 juta orang. Artinya, masyarakat melihat panggung demokrasi digital sebagai bagian penting dari pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Masyarakat melihat panggung demokrasi digital sebagai bagian penting dari pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Terkait etika berpetisi, Change.org memiliki aturan tidak boleh menampilkan foto korban ataupun pelaku kekerasan yang berusia anak-anak maupun korban kekerasan seksual untuk segala usia. Petisi yang mencakup visual itu akan segera dihapus gambarnya.
Apabila pembeberan identitas ada di dalam narasi petisi, pihak Change.org mengabari pembuat petisi dan memberinya waktu 24 jam untuk merevisi naskah. Apabila tidak ada tanggapan, petisi itu akan dihapus dari laman Change.
Direktur Kemitraan Change.org Desmarita Murni menambahkan, pembuat petisi juga hendaknya tidak asal mengambil foto yang didapat dari internet karena bisa digugat dengan dalil pelanggaran hak cipta dan pemuatan tanpa izin.
"Kami juga memiliki kanal pelaporan dari masyarakat apabila petisi dinilai melanggar norma seperti mengandung pencemaran nama baik atau narasi yang menyesatkan," ujarnya.