Potret Ketegangan di Perbatasan
Kawasan perbatasan perairan laut RI dengan negara tetangga menyimpan bara ketegangan konflik selama puluhan tahun.
Kawasan perbatasan perairan laut RI dengan negara tetangga menyimpan bara ketegangan konflik selama puluhan tahun. Klaim China atas wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara dan rangkaian perselisihan dengan Malaysia terkait perebutan kekayaan laut yang terkandung di dalamnya.
erkara sengketa perbatasan wilayah perairan dengan negara tetangga jika ditelusuri lebih jauh tak terlepas dari perebutan potensi kekayaan ekonomi yang terkandung di laut. Persoalan eksplorasi dan eksploitasi hasil minyak, gas, ikan, dan hasil laut lainnya menjadi akar masalah dari serangkaian konflik yang berkepanjangan.
Berdasarkan penelusuran pada arsip berita Kompas tahun 2005, saat itu Pemerintah Indonesia memprotes pemberian konsesi minyak (production sharing contract) di Laut Sulawesi perairan sebelah timur Pulau Kalimantan oleh Malaysia, melalui perusahaan minyaknya Petronas, kepada Shell. Pemerintah Malaysia memberikan konsesi minyak kepada perusahaan asal Belanda itu pada 16 Februari 2005 di Kuala Lumpur meski cadangan minyak di wilayah tersebut sudah dikuasai Pemerintah Indonesia sejak dulu.
Klaim Malaysia terhadap wilayah Indonesia yang terdapat cadangan minyak itu sebenarnya sudah diprotes Pemerintah RI sejak 1980. Malaysia memberikan konsesi kepada Shell sesuai dengan wilayah kerja pertambangan migas dengan nama Blok ND 7 dan ND 6. Shell terpilih memenangi blok migas tersebut pada September 2004. Sebenarnya, Pemerintah Indonesia sudah membuat kontrak pengelolaan blok tersebut kepada investor asing dengan nama Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Blok Ambalat sudah dikelola ENI sejak 1999, sementara Blok East Ambalat diberikan kepada Unocal, 2004.
Pemerintah Indonesia tetap bersikukuh dengan wilayah kerja pertambangan minyak dan gas lepas pantai East Ambalat dan Blok East Ambalat. Kedua blok tersebut terletak di perairan sekitar Pulau Kalimantan dan masih hak Pemerintah Indonesia walau diklaim Malaysia. Blok itu masih berada di dalam wilayah Indonesia. Namun, Malaysia menganggap, sejak Pulau Sipadan dan Ligitan dinyatakan sebagai bagian dari wilayah Malaysia, blok migas tersebut diklaim sebagai milik Malaysia juga.
Status Blok Ambalat pada saat itu sangat jelas, yakni Pemerintah Indonesia sudah melakukan eksplorasi, bekerja sama dengan operator perusahaan minyak asal Italia, ENI. Jenis kontrak dalam blok tersebut adalah kontrak bagi hasil. Luas area yang diberikan untuk Blok Ambalat mencapai 1.990 kilometer persegi. Kontrak efektif dimulai pada 27 September 1999 dan akan berakhir 27 September 2029.
Sesuai dengan kontrak, ENI memiliki komitmen investasi sebesar 1,5 juta dollar AS (Rp 20,4 miliar) untuk dua tahun pertama. Kemudian akan ditambah 16,1 juta dollar AS untuk 10 tahun pertama. Sementara pada Blok East Ambalat, Unocal baru menandatangani kontrak pada 13 Desember 2004. Saat itu, kontrak ditandatangani di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bersamaan dengan 14 kontrak kerja sama migas. Penandatanganan kontrak dengan Unocal menarik perhatian karena saat itu Blok East Ambalat masih diklaim Malaysia sebagai wilayah negara mereka.
Ketegangan Ambalat
Kawasan sekitar Blok East Ambalat, yang saat itu juga ditawarkan perusahaan minyak Petronas kepada investor karena diklaim Malaysia berada di wilayahnya, sudah dikelola RI sejak lama. Bahkan, beberapa blok di sekitar blok Ambalat itu sudah dikelola puluhan tahun lalu. Blok Bunyu, misalnya, dikelola perusahaan Total Indonesie sejak 1967.
Pada 21 Februari 2005 di Karang Unarang, wilayah Kalimantan Utara, tak jauh dari Ambalat, 17 warga Indonesia ditangkap awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka. Angkatan laut Malaysia mengejar nelayan Indonesia keluar Ambalat.
Ketegangan berlanjut. Pada 8 April 2005 terjadi insiden antara RI dan Malaysia, melibatkan kapal perang Malaysia KD Sri Johor, KD Buang, dan Kota Baharu, berhadapan dengan kapal perang Indonesia, yakni KRI Wiratno, KRI Tongkol, KRI Tedong Naga, KRI KS Tubun, KRI Nuku dan KRI Singa. Saat itu, KRI Tedong Naga menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali, tanpa tembak-menembak.
Dua tahun kemudian pada 2007, Malaysia kembali memprovokasi Indonesia. KD Sri Perlis milik Malaysia kembali memasuki perairan Indonesia di Ambalat. Manuver Malaysia segera direspons TNI AL dengan mengusir keluar wilayah RI oleh KRI Untung Suropati. Untuk menjaga kedaulatan wilayah RI, TNI AL menyiagakan empat kapal perangnya sekaligus, yakni KRI Untung Suropati, KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Welang, dan KRI Keris. Kini, Pemerintah Indonesia menjaga ketat kawasan Ambalat dengan patroli rutin.
Sipadan-Ligitan
Kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara RI dan Malaysia yang terjadi sejak 1967 merupakan gambaran betapa panjangnya proses penyelesaian kepemilikan wilayah kedaulatan suatu negara. Pemerintah Indonesia semula akan membawa sengketa ini melalui Dewan Tinggi ASEAN, tetapi akhirnya sepakat menyelesaikannya melalui jalur hukum melalui Mahkamah Internasional di PBB.
Badan kehakiman utama di PBB ini berwenang mengadili dan menyelesaikan sengketa antarnegara-negara anggota PBB dan memberikan pendapat-pendapat yang bersifat nasihat kepada organ-organ resmi dan badan khusus PBB.
Mahkamah Internasional beranggotakan 15 hakim yang menjabat selama 9 tahun serta dipilih Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Lembaga peradilan tingkat internasional ini didirikan pada 1945, dan bersidang di Den Haag, Belanda.
Pada 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia.
Hasilnya, dalam voting oleh Mahkamah Internasional, Malaysia dimenangkan 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim tersebut, 15 hakim tak lain hakim tetap dari Mahkamah Internasional, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih Indonesia.
Salah satu faktor yang menguatkan kemenangan Malaysia pada kasus ini adalah dokumen yang pernah dikeluarkan Pemerintah Inggris saat menjajah Malaysia berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960, di wilayah sengketa.
Dokumen-dokumen yang terkait Pemerintah Inggis saat menduduki Malaysia tersebut tampaknya menjadi pertimbangan para hakim di Mahkamah Internasional. Sebelumnya, pada 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. Namun, peta ini pun sebenarnya tidak diakui Indonesia. Beberapa negara ASEAN juga tidak mengakui peta versi Malaysia ini.
Kasus klaim wilayah melalui peta mirip upaya klaim China dengan menggunakan sembilan garis putus atau nine dash line yang mereka klaim melintas di kawasan perairan Natuna Utara. Berdasarkan garis tersebut, China mengklaim nelayan tradisional China punya hak mengambil ikan di area itu.
Padahal, sesuai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, kawasan Laut Natuna Utara tersebut masuk kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Indonesia akan terus melakukan patroli keamanan wilayah perairan dan mendorong untuk memperbanyak nelayan beraktivitas mencari ikan dan hasil laut. Upaya ini diharapkan akan meminimalisasi aktivitas ilegal dari kapal asing.
Menko Polhukam Mahfud MD berkomitmen meningkatkan intensitas patroli di kawasan Laut Natuna (Kompas, 16/1/2020) meski operasional Badan Keamanan Laut dinilai masih belum efektif. Untuk menjaga hak berdaulat di kawasan Laut Natuna Utara dan perbatasan di wilayah lainnya, pemerintah berkomitmen meningkatkan patroli pengamanan laut. (LITBANG KOMPAS)