Memacu Adrenalin Bersama Tim Modifikasi Cuaca Cegah Banjir Jakarta
›
Memacu Adrenalin Bersama Tim...
Iklan
Memacu Adrenalin Bersama Tim Modifikasi Cuaca Cegah Banjir Jakarta
Kompas mendapat kesempatan untuk terbang dengan pesawat CN 295 TNI AU meliput kegiatan modifikasi cuaca untuk mencegah banjir Jakarta. Adrenalin pun terpacu saat pesawat terguncang akibat turbulensi.
Oleh
Hendricus Arga
·6 menit baca
Pesawat CN 295 milik TNI AU yang saya tumpangi terguncang keras terkena turbulensi saat mendekati awan sasaran yang hendak disemai garam, Sabtu (11/1/2020). Namun, sikap tenang awak pesawat di Tim Teknologi Modifikasi Cuaca untuk mencegah banjir Jakarta dan sekitarnya sedikit mengurangi ketegangan.
Ini adalah pengalaman yang sangat berarti bagi saya. Bekerja sebagai videografer Kompas, kali ini saya mendapat tugas meliput kegiatan modifikasi cuaca menggunakan pesawat CN 295 milik TNI AU. Modifikasi cuaca itu dilakukan untuk mengurangi curah hujan di Jakarta dan sekitarnya setelah banjir besar yang menggenangi kawasan Ibu Kota saat tahun baru.
Ini adalah kali pertama dalam hidup saya terbang menggunakan pesawat militer. Hal pertama yang terlintas dalam pikiran adalah perasaan tidak nyaman dalam pesawat yang pengap dan panas. Rasanya sudah mual terlebih dahulu sebelum terbang. Namun karena sudah ditugaskan kantor, saya singkirkan pikiran itu jauh-jauh.
Saya tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma sekitar pukul 04.50 WIB. Saya datang pagi sekali karena ikut dalam jadwal penerbangan pertama. Ada dua kali penerbangan setiap harinya selama kegiatan modifikasi cuaca berlangsung. Saya mendaftarkan diri satu hari sebelumnya untuk ikut kegiatan tersebut ke TNI AU.
Modifikasi cuaca dilakukan oleh Tim Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Tim ini gabungan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan TNI Angkatan Udara.
Setibanya di Halim, saya menunggu anggota TMC di lokasi gudang penyimpanan garam. Saya sengaja datang lebih pagi karena akan mengambil video kegiatan modifikasi cuaca mulai dari proses loading garam dari gudang ke atas pesawat. Saya juga akan mengambil kegiatan briefing sebelum terbang, dan mewawancarai nara sumber.
Loading garam dari gudang ke atas pesawat berlangsung mulai pukul 05.00 WIB. Garam-garam yang sudah disiapkan dalam karung, oleh para petugas dimasukkan ke dalam konsol penampung, kemudian konsol ini dimasukan ke dalam pesawat CN 295 oleh load master.
Konsol sendiri merupakan alat yang digunakan BPPT untuk menaruh garam yang akan disemai di awan. Konsol ini terdiri dari delapan tabung yang masing masing berkapasitas 300 kilogram, sehingga total garam yang diangkut pesawat CN 295 mencapai 2,4 ton. Garam yang disemai adalah garam biasa atau garam dapur. Hanya saja memiliki ukuran butiran yang lebih kecil atau lebih halus dari garam dapur, meyerupai tepung.
Sebelum mulai terbang, Tim TMC melaksanakan rapat koordinasi. Rapat teknis selama 30 menit ini antara lain memantau pergerakan angin dan lokasi awan kumolonimbus untuk menentukan kordinat penyemaian.
Setelah rapat koordinasi selasai, saya dan beberapa media yang akan ikut terbang diminta menandatangani sebuah surat. Surat ini berisi pernyataan untuk tidak menuntut atas segala risiko yang timbul kemudian jika terjadi kecelakaan pesawat.
Sebenarnya sempat ada perasaan khawatir. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan pesawat yang akan kami naiki. Bisa dibayangkan, jika pesawat penumpang komersial, pilot pada umumnya cenderung menghindari awan kumulonimbus, nah pesawat yang akan kami naiki justru mencari dan mendekatinya. Semoga berjalan lancar, saya berdoa dalam hati.
Setelah urusan administrasi selesai, sekitar pukul pukul 09.00 WIB kami pun diminta menaiki pesawat. Di dalam kabin hanya tersedia empat tempat duduk berderet seperti angkutan kota, sementara jumlah orang yang naik pesawat ada 15 orang. Kursi-kursi sengaja dilepas untuk memberi ruang lebih luas agar lebih banyak memuat konsol.
Perasaan was-was muncul kembali saat pesawat lepas landas. Pesawat bergerak miring dan getarannya cukup keras. Namun perasaan saya segera hilang saat melihat anggota TNI AU bersikap tenang dan santai. Mungkin memang seperti ini karakter pesawatnya, dalam hati saya berbisik.
Sebelum pesawat mengudara, saya diminta duduk di kursi, sementara anggota TNI AU duduk di lantai pesawat. Tak lama kemudian pilot menyampaikan informasi melalui pengeras suara bahwa pesawat akan menuju arah barat Jakarta, yaitu Pandeglang, Banten kemudian menyisir tepian Selat Sunda hingga Cilegon, lalu kembali ke Jakarta.
Karena penumpang tidak dilengkapi alat komunikasi, setiap berkomunikasi atau ada pertanyaan yang akan kami sampaikan kepada awak pesawat, kami harus berteriak. Berteriak sepanjang perjalanan, suara saya serak dibuatnya. Maklumlah pesawat ini tidak dilengkapi peredam layaknya pesawat komersial. Deru mesin pesawat menjadi teman dalam perjalanan kali ini.
Kabar baiknya, pesawat ini dilengkapi pendingin udara, bayangan soal ruang kabin yang pengap dan panas sebelum berangkat sirna sudah. Suhu dalam kabin berkisar 20 derajat celsius. Terasa sejuk dan saya pun mulai mengambil gambar setelah pesawat mengudara dengan sempurna.
Turbulensi
Mata saya tertuju pada anggota tim dari BMKG yang sedang memantau peralatan GPS dan membuat catatan. Saya pun merekamnya dari beberapa sudut pengambilan. Saat terbang di atas Rangkasbitung, kamera saya arahkan ke luar jendela, untuk mengambil gambar aliran Sungai Ciujung yang sempat mengalami banjir bandang. Sisa banjir masih tampak jelas dari pantauan udara.
Kurang lebih 30 menit mengudara, pilot menginformasikan posisi pesawat sudah berada di barat Pandeglang. Satu anggota TMC kemudian berpindah posisi duduk di antara pilot dan co-pilot. Mereka berkordinasi untuk mencari awan kumulonimbus yang akan disemai garam. Petugas TMC itu menunjukkan ke awan yang hedak disemai dan pilot mengikutinya dengan mengarahkan pesawat ke awan tersebut.
Beberapa kali pesawat bermanuver untuk mencari posisi yang tepat menjatuhkan garam. Pesawat tersebut terbang ke atas awan yang hendak disemai garam. Saya merasakan adrenalin terpacu saat pesawat bermanuver dan merasakan turbulensi yang kuat berulang kali. Saat terkena turbulensi ini, pesawat terguncang cukup keras.
Tak lama kemudian terdengar aba-aba untuk bersiap menyemai garam. Pipa utama konsol pun dibuka lebar-lebar, lalu lubang konsol pun dibuka bergantian. Sementara anggota TNI AU yang lain bertugas memukul tabung konsol agar garam dapat keluar dengan lancar.
Setelah garam di empat tabung konsol kosong, pesawat bergerak ke arah Cilegon dan Selat Sunda. Di Cilegon dan Selat Sunda, hal serupa dilakukan kru pesawat untuk menyemai sisa tiga tabung konsol garam. Di sini saya merasakan turbulensi lagi namun lebih lama dari turbulensi pertama. Pesawat berguncang lebih keras, namun saya sudah mulai terbiasa.
Garam dalam konsol pun habis. Pilot menginformasikan pesawat akan kembali menuju Halim Perdanakusuma, Jakarta. Saya mulai lega tidak lagi berjumpa awan kumulonimbus yang membuat adrenalin saya naik turun.
Sekitar pukul 11.00 WIB, pesawat CN 295 mendarat di Halim Perdanakusuma. Perjalanan dua jam mengikuti dan menyaksikan langsung modifikasi cuaca, menembus awan kumulonimbus yang berlangsung menegangkan itu berakhir dengan baik.
Tim Teknologi Modifikasi Cuaca mengambil segala risiko untuk berupaya menyelamatkan Ibu Kota dan sejumlah daerah rawan bencana agar terhindar banjir dan longsor. Penugasan ini menjadi penugasan paling berharga selama saya bekerja di Kompas dan tentunya membawa banyak pengalaman untuk tugas saya ke depan.