Memeluk Semesta di Otak
Semesta memberi misteri ketakterhinggaan. Hana ”Madness” Alfikih (27), dengan gangguan bipolarnya, merasakan misteri di otaknya seperti misteri ketakterhinggaan semesta. Sekuat tenaga ia berusaha memeluknya.
”Sejak masuk bangku sekolah taman kanak-kanak, saya sudah merasakan ada sesuatu yang berbeda di dalam diri saya. Ketika saya menangis, saya menangis sampai tantrum. Ketika saya sedih, sedihnya berkepanjangan,” ujar Hana dalam suatu perbincangan ringan, Rabu (15/1/2020), di Jakarta.
Perasaan berbeda dan tidak mengenali diri akhirnya pupus, setelah psikiater menegakkan diagnosis bipolar baginya di tahun 2013.
Gangguan bipolar merupakan gangguan pada otak yang akhirnya memengaruhi suasana hati dan perubahan perilaku. Misalnya, begitu cepatnya peralihan suasana hati di antara dua kutub (polar) rasa sedih dan senang. Ketika peristiwa seperti ini menimbulkan gangguan perilaku, inilah yang lalu menjadi gangguan bipolar.
Hana sepenuhnya menerima diagnosis bipolar itu. Ia makin percaya diri menjadi penyintas atau orang yang bertahan dengan gangguan bipolar. Bahkan, akhir-akhir ini Hana justru menjadikan gangguan bipolar atau disabilitas mental itu sebagai identitas. Identitas sebagai seorang pelukis, seorang seniman dengan karunia bipolar.
Kini, Hana dikenal sebagai pelukis berkarakter doodle dan aktivis kesehatan mental. Ia berjuang mengikis stigma buruk terhadap pengidap gangguan bipolar atau gangguan mental secara lebih umum. Aktivitas dan rekam jejaknya bisa diikuti di situs pribadinya, ”hanamadness.art”.
Situs ini memuat jejak aktivitas Hana dari tahun ke tahun. Hana selalu mencatat beragam pameran serta kegiatan seni rupa lain yang pernah diikutinya. Begitu pula, tatkala menjadi narasumber untuk beragam seminar yang mengampanyekan kesehatan mental.
”No shame. No stigma. Saya ingin menghapus stigma bagi penyandang gangguan mental dengan tidak malu berbicara dan berkarya untuk publik,” ujar Hana.
Pada 2016, British Council menyertakan Hana sebagai delegasi seniman disabilitas mental dari Indonesia untuk menghadiri Unlimited Festival di London, Inggris. Ini sebuah festival seni karya para penyandang disabilitas di Inggris.
Kehadiran Hana di Inggris membuka peluang berikutnya. November 2019, selama sebulan penuh karya lukisan Hana dipamerkan di St Helen, sebuah kota di Inggris yang dikenal paling tinggi angka bunuh dirinya.
Hana disertakan untuk mendukung kampanye pencegahan bunuh diri di St Helen. Hana sendiri memiliki gangguan ingin bunuh diri sejak remaja. Bahkan, hingga sekarang kadang kala ia masih merasakan hal itu.
Mengayun
Sore itu langit masih terlihat cerah, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang lebih sering mendung di musim hujan ini. Hana pun berkisah tentang suasana hatinya semalam. Ada perasaan yang mengayun tak menentu.
”Semalam saya tidak tahu mengapa, saya uring-uringan dan tidak bisa tidur. Obat antidepresan yang saya minum seolah-olah tidak bekerja,” ujar Hana.
Siang itu menjelang sore, gejolak uring-uringan Hana mereda. Ia mengatakan, ”Mood (suasana hati) saya mulai naik. Mungkin saya merasa senang akan diwawancara.”
Pada beberapa kesempatan, Hana bertutur, saat depresi, ia masih juga merasakan keinginan untuk melukai diri dengan menyayat-nyayat kulitnya. Di masa-masa sebelumnya, terutama saat ia duduk di bangku SMP (2004-2007) dan SMA (2007-2010), Hana sering menyayat pergelangan tangannya hingga terluka.
Ada rasa tertentu yang bisa dinikmati ketika merasakan luka sayatan itu. ”Ada perasaan seperti lega,” ujarnya.
Suatu ketika Hana pernah menyayat kulit di pergelangan tangannya terlalu dalam. Ia melakukannya di kamar mandi. Lantai kamar mandi pun memerah penuh darahnya. Untung saja, ini segera diketahui orangtuanya dan Hana terselamatkan.
Perasaan lega ketika menikmati rasa sakit itu yang mengingatkan Hana untuk berbalik niat. Sebetulnya, ini bagian dari mood swing atau ayunan perasaan seketika sebagai gejala gangguan bipolar. Ia bisa seketika tidak ingin lagi bunuh diri.
Kejadian serupa terus berulang tanpa dimengerti dengan pasti apa penyebabnya. Kedua orangtuanya tidak mampu menyelami kondisi Hana. Penyangkalan demi penyangkalan tentang gangguan kesehatan mental yang dihadapi Hana terjadi di rumahnya. Konflik dengan kedua orangtuanya tak terhindarkan.
Dari sekolah, Hana kerap tidak pulang lagi ke rumah. Depresi yang diderita sering diobati dengan caranya sendiri. Hana mulai suka menato kulit tubuhnya.
”Ini sudah 11 sesi tato. Di bagian punggung belum selesai, gambarnya Ganesha,” ujar Hana, suatu kali pada tahun 2012. Tak lama berselang, tato di punggung itu pun selesai.
Tato bagi kalangan keluarga tertentu masih terasa tabu. Begitu pula, bagi keluarga Hana. Ia sendiri juga kesulitan menjelaskan dorongan niat yang tak terbendung untuk menato tubuhnya. ”Sekarang semuanya sudah berlalu. Keluarga akhirnya bisa mengerti dan mendukung aktivitas saya,” ujar Hana.
Di masa lampau, ia pernah mengalihkan keinginan untuk bunuh diri itu dengan menyayat-nyayat ikan dari dalam akuariumnya. ”Seketika itu muncul rasa bersalah dalam diri saya. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi, dan berjanji tidak akan makan daging ikan atau daging apa saja,” kata Hana.
Hana memutuskan menjadi vegetarian hingga sekarang. Baginya, menjadi vegetarian itu berkontribusi dalam usahanya meredakan gejolak emosi yang selalu tak menentu.
Memimpikan studio
Melalui perjuangan sekuat tenaga, Hana melampaui berbagai episode berulang akibat gangguan bipolarnya hingga sekarang. Jalan yang ditempuh kini makin serius berkesenian dengan melukis. Ia pun memimpikan memiliki studio melukis.
”Saya mulai giat menabung untuk mewujudkan impian memiliki studio melukis,” kata Hana. Kini tumpukan lukisan Hana memenuhi tempat tinggalnya, sebuah apartemen di Jakarta Selatan.
Melukis bagi Hana tidak lagi sekadar menjadi terapi. Melukis baginya ibarat memiliki senjata untuk hadir di tengah publik. Di situlah Hana ingin memperjuangkan edukasi kesehatan mental dan kesetaraan bagi para penyintasnya.
Ada tokoh yang digemari Hana, yakni Daniel Dale Johnston (1961-2019), seorang seniman musik dengan karunia skizofrenia dan bipolar. Daniel memiliki semesta di otaknya. Gangguan skizofrenia memberikan ini dampak halusinasi, ilusi, dan delusi.
”Dengan halusinasinya, Daniel sepertinya tidak perlu lagi ke gunung-gunung untuk menciptakan karya lagunya. Semuanya sudah ada di otaknya. Semesta ada di otaknya,” ujar Hana.
Ilustrasi Daniel tentang dirinya itu mirip dengan yang juga dirasakan Hana. Pada 2013, Hana memperoleh diagnosis bipolar r tipe 1 yang menandakan disertainya gejala halusinasi layaknya seorang penyandang skizofrenia.
”Saya kadang juga masih memiliki halusinasi. Sepertinya semesta sudah ada di otak. Ini yang ingin saya wujudkan menjadi inspirasi setiap karya lukisan,” kata Hana.
Hana kini terus berjuang mengubah gejolak perasaan, kadang juga halusinasi, menjadi sebuah imajinasi. Imajinasi itu dituangkan di setiap karya lukisannya.
Hana tengah memeluk semesta di otaknya. Melalui karya-karyanya, eksistensi Hana kian diakui dan tentunya diapresiasi publik.
Hana ”Madness” Alfikih
Lahir: Jakarta, 2 Oktober 1992
Pendidikan terakhir: SMA (2007-2010)
Penghargaan, antara lain:
- 10 Women of The Year dari Majalah Her World
Pameran Karya:
2019
- “Momentary Museum” di Entrance Hall Otsu Prince Hotel, Shiga, Jepang
- “Seven Earth” di Galeri 2Madison, Jakarta
- “Outsider Artpreneur” di Galeri Ciputra Artpreneur, Jakarta
- “Art & Protest: What’s there to be mad about?” di Bethlem Gallery, London, Inggris
- Potret Wajah Manusia Indonesia pada pekan Kebudayaan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
- “Take Over Festival, Heart of Glass” di St. Helens, Inggris
- Exaggerate Exhibition di Backlit Gallery, Nottingham, Inggris
- “Flux Exhibition featuring In Chains Film curated by Daniel Savage” di Belconnen Arts Centre, Canberra, Australia
2018
- APENA di Tugu Kunstring Paleis, Menteng, Jakarta
- “Love Never Fails” di Hadiprana Art Centre, Kemang, Jakarta
- “Differences Unite” Ananda Sukarlan’s resital piano concert and painting exhibition di JW Luwansa Hotel Ballroom, Jakarta.
- “Ekspresi Ragam Jiwa” di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta
- Postfest “Celebrating Therapeutic Art Activities” di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta
- ASYAAF & Hidden Artist Festival di Korea Selatan
- Festival Bebas Batas di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta
2017
- Merintis Jejaring Art Brut di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
- “All The Small Things” di Qubicle Center, Jakarta
- “HUELE” Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Ambon, Maluku
- UK/ID Festival, British Council, di Jakarta
- Artotel Week x GG Urban di Kota Tua, Jakarta
- Art Brut NO-MA Museum di Bentara Budaya Jakarta