Tahun lalu merupakan tahun yang susah buat saya. Ketika tahun 2020 tiba, saya menyambut gembira karena saya sudah muntap dengan kehancuran 2019. Akan tetapi, baru menjalani 14 hari tahun baru ini, saya mulai membayangkan malasnya menjalani sisa 11 bulan yang saya yakini akan ada naik turunnya.
Saya membayangkan senangnya tak bekerja lagi. Senangnya tak perlu bangun pagi untuk rapat dengan klien atau dengan anak-anak kantor, tak perlu stres karena klien yang bawel tetapi uangnya sedikit, tak perlu berlelah-lelah mencari konsep ide untuk sebuah proposal. Setelah bersusah mencari ide, klien tak mau membayar mahal, bahkan tak jadi bekerja sama, tetapi idenya diambil. Tak perlu deg-degan kalau target belum tercapai.
Waktu saya menceritakan rencana saya untuk tidak bekerja lagi, teman-teman saya mempunyai komentar yang sama. ”Kamu bisa gila enggak kerja. Bosen tahu nganggur itu. Enggak ngapa-ngapain itu juga menyengsarakan. Apalagi orang macam kamu, enggak bisa diam dari dulu.”
Mungkin karena saya telah bekerja berpuluh tahun lamanya, bahkan saat masih duduk sebagai mahasiswa, saya membayangkan betapa menyenangkan hidup tanpa beban. Bangun tidur tanpa beban, mau enggak bangun juga tak ada beban. Apalagi saya lajang. Tak perlu punya tanggung jawab untuk mencari penghidupan untuk istri dan anak-anak.
Jadi, kalau tak punya uang tak bisa makan, yaa, yang lapar hanya saya saja. Tak perlu kompromi dengan pasangan dan anak-anak, dengan mertua dan orangtua. Oh, ya, saya beruntung sudah yatim piatu. Tak perlu mengantar orangtua yang sakit seperti beberapa teman saya. Bukan karena saya tak cinta orangtua saya, melainkan ada rasa lega tak perlu mengurusi mereka.
Saya tak pernah nganggur, jadi mungkin ingin rasanya mempunyai pengalaman apa rasanya menganggur. Kalau seperti komentar teman-teman saya di atas bahwa saya bisa menjadi sangat bosan, mungkin saya juga ingin merasakan bosannya menganggur. Seperti juga saya sudah pernah mengalami bosannya bekerja setiap hari, bosannya menjadi deg-degan mencari uang di masa yang susah, bosan membuat proposal dan presentasi ke sana kemari.
Mungkin pada awalnya saya akan sengsara dalam masa menganggur. Sengsara karena harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Akan tetapi, bukankah setelah terbiasa lama-lama dapat diterima dengan senang hati dan lama-lama kebosanan hilang diganti dengan perasaan menjadi biasa itu?
Saya tak tahu. Saya hanya berpikir seperti nyaris semua peristiwa dalam hidup ini awalnya pasti sulit, tetapi lama-kelamaan akan menjadi lebih mudah.
Pungguk merindu bulan
Saya belum pernah bercita-cita menganggur. Selalu bercita-cita ingin menjadi ini dan itu. Ingin kaya seperti para konglomerat. Ingin pergi ke sana dan ke situ seperti para pekerja di dunia pariwisata. Ingin belajar ini dan belajar itu. Ingin punya usaha ini dan usaha itu. Pokoknya semua kalau bisa. Semua yang mendatangkan kekayaan, kemapanan hidup, dan ketenaran.
Nah, saya kok ingin kali ini bercita-cita menganggur. Ingin bisa gak ngapa-ngapain. Ingin hidup tenang setiap hari, ingin menyederhanakan gaya hidup. Ingin berjalan kaki ke mana-mana atau mengendarai kendaraan umum sehingga tidak perlu dibatasi dengan ganjil genap, tidak dibatasi dengan mencari sopir yang belakangan susah didapat, tidak dibatasi dengan sopir yang pulang kampung dan tak kembali.
Ingin bercita-cita dalam masa pengangguran mengistirahatkan ambisi. Bercita-cita menguasai diri dalam masa pengangguran. Legawa melihat orang naik mobil mewah, saya cukup dengan transportasi umum. Belajar melihat akun media sosial orang yang bepergian tanpa henti dan melihat konten media sosial saya yang hanya berisikan ceritacerita pengangguran saya setiap hari tanpa merasa lebih rendah dari mereka yang berada di 36.000 kaki setiap minggu.
Saya ingin bercita-cita punya waktu banyak menikmati kebun di belakang apartemen saya. Setiap pagi mendengar burung berkicau dan menikmati mendung yang belakangan menyelimuti Jakarta tanpa harus dibatasi sekian menit untuk menikmati itu karena ada rapat pukul 10.00 di sana dan pukul 14.00 di situ.
Saya ingin dalam masa menganggur ada banyak waktu untuk mengunjungi teman yang sedang sakit, mengunjungi rumah yatim piatu, menyediakan waktu untuk mendengar keluhan orang dan tak lagi menjadi toa pemberi nasihat, apalagi kalau tidak diminta, seperti kebiasaan yang selalu dilakukan sebelum menganggur.
Supaya dalam masa tak melakukan apa-apa itu, saya juga belajar untuk menjadi pendengar yang baik karena selama ini itu susah dilakukan. Bahkan, sejujurnya selama 57 tahun hidup, kalau tidak salah, saya hanya baru tiga kali mengunjungi rumah yatim piatu.
Saya bercita-cita di masa pengangguran itu saya menjadi manusia yang baru, bukan manusia yang bosan karena tak melakukan apa-apa. Supaya kali ini saya tak bisa diam untuk memikirkan orang lain daripada memikirkan kebutuhan diri sendiri dan menjadi tidak bosan dengan kehidupan yang lebih sederhana dan rendah hati.
Namun, itu semua masih cita-cita. Karena saat tulisan ini saya akhiri, 10 pesan di telepon genggam sudah menanti untuk dibalas. Bahkan, salah satu pesan yang masuk mengingatkan saya untuk rapat pukul 15.00 dengan klien yang selalu ingin saya hadir. Mungkin sekarang saya bisa merasakan apa yang dimaksud dengan ungkapan seperti pungguk merindukan bulan.