Peran Pedagang Grosir Tergeser dalam Rantai Distribusi Pangan
›
Peran Pedagang Grosir Tergeser...
Iklan
Peran Pedagang Grosir Tergeser dalam Rantai Distribusi Pangan
Pergeseran berpotensi membuat margin perdagangan dan pengangkutan semakin menurun sehingga distribusi dapat semakin efektif dan efisien.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam rantai distribusi sejumlah komoditas pangan, peran pedagang grosir sebagai pedagang besar tergeser. Pergeseran ini berpotensi membuat margin perdagangan dan pengangkutan semakin menurun sehingga distribusi dapat semakin efektif dan efisien.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Januari 2020 merilis data margin perdagangan dan pengangkutan pada harga komoditas pangan antara produsen dan konsumen sepanjang 2018. Nilai margin itu berada di rentang 17,09 persen-43,09 persen.
Besaran margin perdagangan dan pengangkutan bergantung dari rantai distribusi komoditas pangan. Secara umum, jumlah pelaku dalam rantai distribusi tersebut tak berubah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Namun, jumlah rantai distribusi telur ayam berubah pada 2018 dari empat pelaku menjadi tiga pelaku. Sebelumnya, pelaku yang terlibat dalam rantai distribusi telur ayam terdiri dari peternak, pedagang grosir, pedagang eceran, dan konsumen akhir. Kini, rantai distribusi telur ayam tak lagi melibatkan pedagang grosir sehingga peternak langsung menjual kepada pedagang eceran sehingga marginnya turun dari 26,8 persen menjadi 13,09 persen.
Menurut Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional (Ikappi) Abdullah Mansuri, distribusi telur ayam mesti efisien dan efektif untuk menjaga harga di tingkat konsumen. ”Harga telur mesti berada di kisaran harga acuan,” katanya saat dihubungi pada Minggu (19/1/2020).
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen, harga acuan telur ayam ras di tingkat peternak berkisar Rp 18.000-Rp 20.000 per kilogram (kg). Di tingkat konsumen, harga acuannya Rp 23.000 per kg.
Pergeseran fungsi pedagang grosir dalam rantai distribusi telur ayam, menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, disebabkan tren penjualan ke agen. ”Biasanya sentra-sentra peternak bekerja sama dengan agen di tingkat kelurahan (di area permintaan) yang merupakan pedagang eceran,” katanya.
Memperparah harga
Peran pedagang grosir juga tergeser dalam rantai distribusi cabai merah dan marginnya turun dari 47,1 persen menjadi 43,09 persen pada 2018. BPS mendata, rantai distribusi cabai merah pada 2017 terdiri dari petani, pedagang grosir, pedagang eceran, dan konsumen akhir. Tahun berikutnya, pedagang pengepul menggantikan peran pedagang grosir.
Rusli menilai, perubahan ini dapat memperparah gejolak harga cabai merah di tingkat konsumen karena penetapan harga di tingkat pengepul bersifat tak pasti.
Rusli menambahkan, peralihan pedagang grosir ke pedagang pengepul dalam rantai distribusi cabai merah menandakan akses permodalan bagi petani masih belum optimal. ”Akibatnya, petani meminjam uang dari pengepul dan menjual hasil panennya kepada pengepul,” katanya.
Dari peralihan peran pedagang grosir dalam rantai distribusi komoditas telur ayam dan cabai merah, Rusli melanjutkan, peran pedagang grosir berpotensi tergerus sebagai dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Kemajuan ini membuat petani dan peternak sebagai produsen dapat menjangkau konsumen secara langsung sehingga harga yang terbentuk pun dapat memuaskan kedua belah pihak.
Meski demikian, BPS mendata, pedagang grosir terlibat dalam rantai distribusi beras pada 2018 dan menggeser peran distributor.
Margin perdagangan dan pengangkutan turun dari 25,35 persen pada 2017 menjadi 20,83 persen. Menurut Rusli, peran pedagang grosir muncul dalam rantai distribusi beras sepanjang 2018 karena kehadiran data produksi beras yang dipublikasikan BPS. Data ini memberikan kepastian berusaha bagi pedagang grosir.
Di sisi lain, Abdullah berpendapat, pergeseran peran distributor oleh pedagang grosir tidak berdampak signifikan pada pergerakan harga beras. ”Harga gabah menjadi faktor yang lebih menentukan pembentukan harga beras (di tingkat konsumen),” katanya.
Di antara delapan komoditas pangan strategis, BPS mencatat, margin daging sapi mengalami peningkatan tertinggi, yakni dari 34,11 persen (2017) menjadi 41,04 persen (2018). Padahal, rantai distribusinya tak berubah, yakni dari produsen, pedagang grosir, pedagang eceran, dan konsumen.
Menurut Abdullah, peningkatan margin daging sapi disebabkan oleh faktor distribusi dan logistik yang melalui laut. Dia menyebutkan, sejumlah sentra peternakan, terutama yang berasal dari dalam negeri, berada di luar Pulau Jawa.
Oleh karena itu, Abdullah mengharapkan, pemerintah membentuk skema subsidi pengangkutan untuk daging sapi yang berasal dari sentra di luar Pulau Jawa. ”Jangan sampai, begitu tiba di Jakarta, harganya (dalam negeri) lebih mahal dibandingkan dengan daging sapi impor,” katanya.