Asam Garam Pasar Berusia 285 Tahun
Kompleks Pasar Senen di Jakarta Pusat menjadi salah satu simpul penggerak ekonomi utama yang sudah ada sejak hampir tiga abad terakhir. Pedagang berbagai jenis komoditas ada di sana dan menjadi jantung kehidupan Senen.
Menelusuri gang sempit dengan deretan pakaian lusuh yang digantung di rak besi adalah pengalaman unik saat berkunjung ke Pasar Senen, Jakarta Pusat, Jumat (17/1/2020). Beberapa pakaian sisa impor itu juga ditumpuk sekenanya di keranjang besi. Para pembeli harus jeli dan telaten sebelum mendapatkan ”harta karun” barang yang disukai.
Pengalaman unik inilah yang terekam dalam memori sebagian orang tentang Pasar Senen. Bagi sebagian orang, Pasar Senen memang kondang sebagai pusat belanja murah pakaian bekas sisa impor. Dengan membawa uang Rp 100.000, misalnya, pengunjung bisa membawa pulang kemeja, celana panjang, atau jaket. Tentu saja, jurus telaten memilih serta menawar harga menjadi modal saat berbelanja di Senen.
Sebenarnya, Senen tak hanya kondang dengan pusat pakaian bekas. Pasar yang berusia 285 tahun ini begitu lengkap menyediakan dagangan. Mulai dari kue jajanan pasar, bumbu dapur, seperti kecombrang dan andaliman, kaca mata, arloji, sablon, hingga atribut TNI/Polri. Kelengkapan jenis barang dagangan ini karena pasar memiliki enam blok terpisah di area seluas sekitar 9 hektar. Masing-masing blok memiliki kekhasan barang dagangan dan dikelola oleh badan usaha milik daerah (BUMD) serta pihak swasta. Blok I dan II dikelola PT Pembangunan Jaya, Blok III dikelola oleh PD Pasar Jaya, Blok IV dan V oleh PT Jaya Real Properti, dan Blok VI oleh PD Pasar Jaya.
Rustam (62), pedagang pakaian sisa impor, sudah sejak tahun 1980 berdagang di Pasar Senen. Sejak itu pula, Rustam berganti-ganti barang dagangan mulai dari kaus kaki, arloji, dompet, hingga pakaian dalam. Seingat Rustam, penjualan paling bagus dia rasakan sekitar tahun 1984. Dia membuka kiosnya sejak pukul 05.30-18.00. Dalam sehari, dia bisa mengantongi uang hingga Rp 500.000. Harga pakaian dalam pun masih sangat murah, yaitu Rp 500 per helai atau Rp 1.000 untuk tiga helai. Itulah masa kejayaan Rustam dan dagangannya. Pelanggannya pun tidak hanya terbatas di Jakarta. Dia memiliki pelanggan dari seluruh Indonesia hingga ke Papua.
Baca juga: Tak Cukup Pintu Air Manggarai
Baca juga: Mengenang Geger Pecinan dan Pesan Persatuan
”Senen ini sangat strategis, aksesnya bagus karena dekat dengan stasiun kereta api. Banyak pelanggan kami dari Jawa, Surabaya,” kata Rustam.
Hingga pada 2017, dia menempati blok II lantai 3. Pada 17 Januari 2017, blok I dan II Pasar Senen mengalami kebakaran hebat. Kios milik Rustam ludes terbakar. Padahal, dia baru saja berbelanja pakaian sisa impor sebanyak 8 bal. Kerugian yang dia alami mencapai puluhan juta.
”Modal saya habis semua, gantungan pakaian satu pun tidak ada yang bisa diselamatkan. Uang tinggal tersisa Rp 500.000,” kenang Rustam sembari menerawang.
Setelah hampir tiga tahun berlalu, Rustam pun mencoba bangkit. Ia kembali menempati tempat penampungan sementara (TPS) di Blok V, Pasar Senen. Ia mendapatkan uang sumbangan dari Perkumpulan Orang Sumatera Rp 8 juta. Modal itu kemudian dia belanjakan lagi untuk memulai lagi usahanya.
”Jadi pedagang harus kuat. Sudah banyak kita kena cobaan, mulai uangnya dibawa lari orang sampai kebakaran seperti kemarin. Kalau mau makan, ya, harus bangkit,” kata Rustam.
Baca juga: Sejarah Jakarta, Kota yang Banjir Sejak Lahir
Baca juga: Cerita Tirta Jakarta
Kawasan strategis
Pasar Senen sudah ada sejak tahun 1735 dan didirikan oleh Yustinus Vinck. Kawasan yang didominasi oleh pedagang Tionghoa itu hanya buka setiap hari Senin. Warga kemudian menyebut pasar sebagai ”Snees” dan kemudian berubah menjadi Pasar Senen. Adapun pada 1942-1950, kawasan Senen terkenal sebagai tempat berkumpulnya seniman Senen.
Kemudian, pada 1964, Pasar Senen dijadikan penanda modernisasi kota yang digagas Gubernur DKI Mayor Jenderal Soemarno Sosroatmodjo. Kala itu, gubernur mengundang pihak swasta untuk turut berpartisipasi dalam membangun Ibu Kota. Kawasan Senen yang memang sudah berkembang menjadi pusat perekonomian pun menjadi sasaran. Sebab, kawasan itu dinilai kumuh dan tidak layak. Padahal, lokasinya sangat dekat dengan Istana Negara dan Istana Kepresidenan, serta dapat menjadi ikon Jakarta.
Dalam buku Rentjana Dasar Pembangunan Proyek Senen (1964) disebutkan, letak geografis Senen yang berada di tengah-tengah kota membuat kawasan ini masih menjadi satu dari sekian jantung ekonomi Ibu Kota. Pasar Senen berada di daerah yang sangat strategis untuk kompleks pertokoan, kantor, dan perdagangan. Itu karena secara strategis Senen terletak di pusat kota dan permukiman padat penduduk. Senen juga terletak di jalan masuk menuju pusat kota dari arah selatan (Bogor dan Bandung). Sementara dari arah timur, (Surabaya, Semarang, Purwokerto) melalui spoor I Djalan Djakarta by Pass, yang tiba di stasiun Senen pendatang dari luar Jakarta.
Berbagai permasalahan yang mendera Pasar Senen kala itu adalah lalu lintas dan tempat parkir kendaraan tidak teratur karena jalan sempit. Adapun pasar sayurnya juga tidak teratur, selalu becek dan banyak sampah. Los dan kios pun terlihat tidak memenuhi syarat kesehatan sama sekali.
Tujuan pembangunan proyek Senen adalah untuk menghilangkan satu daerah di pusat kota yang tidak memenuhi syarat, memperluas Jakarta dengan membangun suatu daerah kediaman baru dan satu daerah industri yang lengkap dengan fasilitas umum untuk mengganti daerah yang lama, serta membangun sebuah pusat perdagangan yang sesuai dengan kebesaran bangsa Indonesia.
Pada saat itu, pengembang yang tertarik membangun Senen adalah mendiang Ir Ciputra. Ciputra yang saat itu masih baru di bidang properti dan masih berkantor di Bandung memberanikan diri bertemu dengan gubernur di Balai Kota. Dengan kegigihannya, akhirnya Ciputra bisa mendapatkan proyek tersebut.
Dalam perjalanannya, seperti dikisahkan di buku Jaya 50 Years and Beyond, Ciputra mengalami perjalanan yang sulit saat membangun Pasar Senen. Sebab, dia harus memindahkan pedagang, mendata penghuni, serta memindahkan warga yang bermukim di sana. Bahkan, seorang berpangkat mayor menolak untuk pindah dari tanah kediamannya. Orang itu mendatangi Ciputra dan melekan pistol di meja Direktur Jaya tersebut.
Selain itu, saat membebaskan tanah untuk proyek Senen, Ciputra juga dihalang-halangi seorang makelar etnis Tionghoa. Makelar itu mempengaruhi orang-orang agar tidak membebaskan tanah di sana. Makelar lalu dipanggil ke Balai Kota oleh gubernur Ali Sadikin, kemudian ditempeleng. Shock teraphy yang diberikan itu ternyata manjur dan tak ada lagi yang menghalangi Ciputra.
Tahun 1974, untuk pertama kalinya, Pasar Senen terbakar karena terjadi kerusuhan Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Kemudian, pada 23 November 1996, Pasar Senen Blok IV dan V kembali terbakar. Tahun 2003, terbakar di Blok IV dan V. Kemudian tahun 2010 juga terjadi kebakaran. Tahun 2014, terbakar di Blok III. Tahun 2016, kebakaran di Pusat Grosir Senen Jaya. Terakhir, pada 2017, Blok I dan II terbakar.
TOD sejak awal
Karena lokasinya yang sangat strategis, kini Pasar Senen Blok I dan II yang terbakar direvitalisasi dengan konsep transit oriented development (TOD). Sebenarnya konsep itu sudah tidak asing. Karena, sejak dulu, kawasan Senen juga sudah dirancang sebagai TOD. Sejak 2005, kawasan tersebut sudah diproyeksikan menjadi kawasan dengan konsep integrated transportation system (ITS). Dahulu, konsep itu dirancang untuk memperbaiki moda transportasi yang ada sekaligus menata pedagang kaki lima (PKL). Dengan konsep itu, Senen diharapkan terus menjadi poros perdagangan yang hidup.
Baca juga: Dialog Warga dan Stasiun Kereta
Baca juga: Taman Ria dan Sisa Ceria Jakarta
General Manager Marketing dan Perencanaan PT Pembangunan Jaya Arief Budi Santoso mengungkapkan, konsep penataan blok I dan II juga didasarkan pada TOD. Kawasan Senen diharapkan memiliki koneksi intermoda paling lengkap mulai dari terminal bus, stasiun KRL CL, dan LRT Jakarta. Dengan demikian, konektivitas kawasan tersebut akan terhubung dengan baik untuk memudahkan pergantian moda transportasi.
”Selain membangun pasarnya, kami juga diminta untuk membuat akses penghubung, baik dari pasar ke halte Transjakarta maupun stasiun KRL CL,” kata Arief.
Manajer Perencanaan PT Jaya Real Property Adhitya Sasongko menambahkan, perusahaan juga diminta menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) yang bisa digunakan sebagai ruangan publik pengunjung Pasar Senen. Dalam konsep baru tersebut, Pasar Senen diharapkan menjadi sentra kuliner, dengan 2.087 ruang usaha, baik kios maupun lapak pedagang. Gedung akan dibangun menjadi enam lantai dan ditargetkan selesai pada 2022. Belajar dari pengalaman kebakaran besar terdahulu, Pasar Senen juga akan meningkatkan fasilitas proteksi dan mitigasi kebakaran. Adapun para pedagang lama di Blok I dan II akan diprioritaskan untuk dapat masuk ke bangunan baru tersebut.
Sebagaimana pada 1964, pembangunan fisik memang dibuat untuk mempercantik dan meningkatkan fungsi kawasan. Namun, selain membangun fisik, nasib para pedagang yang menghidupkan kawasan itu jangan sampai terlupakan. Apalah artinya bangunan fisik bagus jika pedagang kecil tak bisa menikmatinya?
Baca juga: Pedagang Pasar Senen Berharap Relokasi Tak Mematikan Usaha Mereka