Investigasi Tunjukan Pemulihan Gambut di Perusahaan Tak Berjalan
›
Investigasi Tunjukan Pemulihan...
Iklan
Investigasi Tunjukan Pemulihan Gambut di Perusahaan Tak Berjalan
Restorasi gambut di 34 areal konsesi perusahaan hutan tanaman industri di lima provinsi prioritas tak berjalan. Itu ditandai pembukaan lahan baru dan penanaman di areal lindung serta kebakaran lahan berulang.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Restorasi gambut di 34 areal konsesi perusahaan hutan tanaman industri di lima dari tujuh provinsi prioritas tak berjalan dengan baik. Itu ditunjukkan dengan temuan lapangan berupa pembukaan lahan baru serta pemanenan dan penanaman di areal lindung serta kebakaran pada lokasi prioritas restorasi yang terus berulang.
Demikian hasil investigasi koalisi sembilan organisasi masyarakat sipil pada tahun 2018-2019. “Ada kelalaian pemerintah karena (tampak) tak ada pengawasan bagi perusahaan. Tidak ada sanksi administratif bagi perusahaan yang melalaikan kewajiban restorasi gambut. Tidak heran kebakaran masih terus terjadi di lokasi sama,” kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari, anggota koalisi NGO, Senin (20/1/2020), di Jakarta.
Terkait hal itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan didesak untuk mengevaluasi pelaksanaan restorasi para pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) dan meningkatkan pengawasannya. Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagai penerima mandat pelaksanaan restorasi di tujuh provinsi prioritas diminta memastikan pekerjaan rumahnya tuntas dijalankan sesuai target seluas 2.676.601 hektar (ha).
Ada kelalaian pemerintah karena (tampak) tak ada pengawasan bagi perusahaan. Tidak ada sanksi administratif bagi perusahaan yang melalaikan kewajiban restorasi gambut.
Ia pun mengingatkan, restorasi gambut merupakan perintah Presiden Joko Widodo dalam menyikapi kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 yang menghanguskan 2,6 juta ha dan 869.754 ha diantaranya berupa gambut. Ia pun meminta agar Presiden mengevaluasi kinerja jajarannya – dalam hal ini KLHK dan BRG – terkait pelaksanaan restorasi di areal perusahaan.
Data BRG menunjukkan, luas total target restorasi 2.676.601 ha terdiri dari 1.784.353 ha areal konsesi, 203.496 ha kawasan hutan konservasi, serta 688.752 ha kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan area penggunaan lain yang tidak berizin. Areal konsesi tersebut terdiri dari 1.217.053, 42 ha berupa izin kehutanan (sebagian besar izin HTI) dan 555.659,23 perkebunan.
Hal itu menunjukkan konsesi HTI berperan besar menentukan kesuksesan restorasi gambut. Pelaksanaan restorasi di areal HTI membutuhkan pendekatan lansekap kawasan hidrologis gambut (KHG).
M Haerul Sobri, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan, bagian koalisi, menunjukkan temuan investigasi berupa penanaman kembali pada gambut dalam (lebih dari 3 meter). Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 yang mengganti PP 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, memberi syarat areal lindung yang telanjur ditanami hanya boleh sekali pemanenan, selanjutnya wajib direstorasi.
Ia pun menyebutkan, terdapat izin lokasi baru keluar di areal gambut seluas 10.000 ha. “Kondisi gambutnya masih bagus dan gambut ini sebelumnya digunakan untuk memadamkan api di konsesi HTI pada tahun 2015,” katanya.
Saat dikonfirmasi tentang hasil investigasi ini, Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK SPM Budi Susanti mengatakan, “Tergantung HTI mana yang dibicarakan.” Sejumlah 68 HTI telah melaksanakan pemulihan dan KLHK memiliki databasenya. Namun, ia tak menjawab terkait evaluasi maupun pengawasan yang dilakukan KLHK pada pelaksanaan restorasi.
Menanggapi hasil investigasi ini, Myrna Asnawati Safitri, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG mengakui institusinya belum pernah memberikan supervisi bagi perusahaan HTI. Pihaknya baru pernah memberikan supervisi lapangan bagi sekitar 32 konsesi perkebunan.
Ia pun menambahkan, pihaknya tak bisa memberikan supervisi langsung ke pemegang izin konsesi karena merupakan binaan KLHK sebagai pemberi izin. Lantas apakah BRG pernah meminta KLHK untuk bersama-sama melakukan supervisi? Ia menjawab, "Ketika itu disampaikan, otorita ada di KLHK".
Delapan grup
Peneliti TuK Indonesia, Linda Rosalina, menyatakan pihaknya juga mengkaji keterlibatan delapan grup korporasi besar HTI terkait masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Dari hasil kajian ditemukan bahwa delapan grup besar itu tak lepas dari soal lingkungan seperti deforestasi, pengembangan di areal gambut yang seharusnya jadi kawasan lindung, mengembangkan hutan dengan nilai karbon tinggi, penggunaan api untuk pembukaan lahan, dan karhutla di areal konsesi korporasi yang terafiliasi dengan delapan grup itu.
Persoalan sosial seperti perampasan tanah, konflik, dan masalah perburuhan juga mengikuti jejak kinerja delapan grup besar itu. Koalisi juga menggambarkan struktur perusahaan yang rumit dan terkesan sengaja disusun demi memfasilitasi strategi perencanaan pajak untuk ‘menghilangkan’ keuntungan sehingga bisa membayar pajak lebih rendah ataupun bebas pajak serta tidak mematuhi peraturan pemerintah yang berlaku.
Menanggapi temuan-temuan ini, Guru Besar Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki Peraturan Presiden Nomor 13 tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme. “Dari perpres itu, negara ingin memastikan siapa pemanfaat tertinggi dari semua holding yang tujuannya untuk perizinan agar tidak diberikan kepada itu-itu saja, untuk keadilan,” katanya.
Dengan demikian, informasi terkait kepemilikan perusahaan ini bukan lagi barang tabu untuk dibuka ke publik. Apalagi terkait HTI, pemegang izin mengelola ruang publik yang dimanfaatkan perusahaan. Karena itu, publik berhak tahu pelaksanaan Perpres 13 terkait restorasi gambut beserta upaya yang telah dilakukan perusahaan.