Kisruh di internal Televisi Republik Indonesia menjadi pelajaran penting agar lembaga penyiaran publik itu kembali pada kodrat dan tugas utamanya, yaitu sebagai Lembaga Penyiaran Publik.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Kisruh internal di Televisi Republik Indonesia yang memuncak dengan pencopotan Helmy Yahya sebagai Direktur Utama menjadi pelajaran berarti agar TVRI kembali pada kodrat dan tugas utamanya, yaitu sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, sudut pandang TVRI semestinya mengedepankan jangkauan pelayanan ke publik, bukan share atau rating.
Ketua Panitia Khusus atau Pansus Undang-Undang Penyiaran 2002 sekaligus pengamat penyiaran Paulus Widiyanto menilai, manajemen TVRI tidak memahami marwah mereka sebagai Lembaga Penyiaran Publik.
“Pola pikir mereka seperti Lembaga Penyiaran Swasta (TV Swasta) sehingga share dan rating menjadi ‘kata mutiara’, padahal terminologi Lembaga Penyiaran Publik adalah jangkauan bukan share atau rating. Inilah perbedaan karakter dari Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Swasta,”ucap Paulus, Minggu (19/1/2020) di Jakarta.
Dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 ditegaskan bahwa Lembaga Penyiaran Publik merupakan lembaga penyiaran badan hukum yang didirikan negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberi layanan untuk kepentingan masyarakat. Karena itu, kewajiban utama TVRI lebih kepada pelayanan publik seluas-luasnya, bukan mencari keuntungan seperti televisi-televisi swasta pada umumnya.
“Dalam Undang-Undang disebutkan, Lembaga Penyiaran Publik tidak komersial. Namun ketika TVRI mencoba memasukkan program Liga Inggris dan yang dipikirkan kemudian rating serta iklan, maka di situ ada komersialisasi. Ironisnya, dampak besarnya terhadap publik Indonesia tidak ada, padahal di situlah roh dari Lembaga Penyiaran Publik sebenarnya,” kata dia.
Menurut Paulus, anggaran TVRI dialokasikan pembuatan program-program yang mempunyai dampak besar ke masyarakat. Ia mencontohkan, TVRI memiliki anggaran Rp 34 Miliar dan kemudian dibagi-bagi ke seluruh TVRI lokal untuk membuat liga sepak bola siswa, maka di situ akan muncul dampak besar dan partisipasi publik luar biasa daripada membeli program Liga Inggris yang justru menjadikan masyarakat sebagai konsumen.
Dalam Undang-Undang disebutkan, Lembaga Penyiaran Publik tidak komersial. Namun ketika TVRI memasukkan program Liga Inggris dan yang dipikirkan rating serta iklan, di situ ada komersialisasi.
Karena itu, Lembaga Penyiaran Publik harus mendorong munculnya partisipasi publik, bukan membuat audiens menjadi konsumen. Selain memberi dampak kepada masyarakat, sumber daya manusia TVRI-TVRI di daerah juga akan aktif memproduksi siaran, muncul proses produksi dan adu kreativitas di sana.
Paulus juga menyoal tentang pembelian program Discovery Channel yang sama halnya dengan pembelian program Liga Inggris. “Cobalah TVRI-TVRI di daerah mencari sesuatu yang unik tentang buaya-buaya di Indonesia yang bisa menjadi hasil peliputan menarik seperti laporan Discovery Channel tetapi khas Indonesia. Janganlah kita hanya menjadi kios Liga Inggris atau kios Discovery Channel. Kita harus membuat dan merealisasikan ide-ide kreatif. Ada banyak hal yang bisa dilakukan,”paparnya.
Langgar tugas utama
Dalam penyiaran Liga Inggris, TVRI menerapkan sistem enskripsi atau pengacakan siaran. Menurut Paulus, praktik seperti ini justru menyalahi dari tugas utama TVRI.
“Siaran sepak bola Liga Inggris dienkripsi atau diacak, di daerah-daerah terutama kawasan terpelosok tidak bisa ditonton. Masyarakat akhirnya menonton dengan televisi berbayar. Sesuai perintah UU Penyiaran pasal 26, bahwa Lembaga Penyiaran Berlangganan wajib memancarluaskan siaran televisi publik (TVRI). Tapi, dengan dienkripsi menggunakan alat pengacak siaran, maka TVRI menyalahi dirinya sendiri,”tambahnya.
Di hadapan media, Jumat (17/1/2020), Direktur Program dan Berita TVRI Apni Jaya Putra memaparkan penjelasan jawaban direksi TVRI kepada Dewan Pengawas terkait Liga Inggris. Adapun Liga Inggris dilaporkan ke Dewan Pengawas 15 Juli 2019 dan beberapa hal yang disampaikan, yaitu mengenai jenis kerjasama, harga, pendapatan iklan, dan sistem enskripsi.
Dalam kesempatan sama, Helmy Yahya juga menyampaikan peningkatan share TVRI dari 0,92 pada 2018 menjadi 1,59 pada 2019 (Periode Januari-November). “Dari segi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PNBP kami meningkat dari 148 Miliar menjadi Rp 165 Miliar,”ungkapnya.
Sementara Ketua Dewan Pengawas TVRI Arief Hidayat Thamrin menyatakan, Selasa (21/1/2020) nanti, Dewan Pengawas akan bertemu Komisi 1 DPR untuk menjelaskan tentang pencopotan Helmy Yahya sebagai Direktur Utama TVRI per 16 Desember 2020 lalu. Dalam kesempatan tersebut, Dewan Pengawas juga akan mengusulkan dilakukannya audit investigasi terhadap manajemen direksi TVRI.