Keberadaan teknologi digital membuat mereka bisa mengkreasi berbagai model bisnis yang berliku-liku. Namun, kini mereka menghadapi tantangan yang cukup berat, yaitu pendanaan.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Mereka adalah generasi model bisnis. Ide-ide mereka menghasilkan sejumlah model bisnis yang sangat jauh berbeda dengan masa sebelumnya melalui usaha rintisan (start up). Untuk menjalankan bisnis, tidak lagi sekadar investasi, memproduksi, dan menghasilkan uang. Keberadaan teknologi digital membuat mereka bisa mengkreasi berbagai model bisnis yang berliku-liku. Namun, kini mereka menghadapi tantangan yang cukup berat, yaitu pendanaan yang sangat mungkin akan menentukan nasib mereka ke depan.
Selama ini, orang hanya memahami salah satu ide mereka, yaitu strategi ”bakar uang” untuk menjalankan bisnis. Miliaran mungkin pula triliunan rupiah dikucurkan dalam bentuk seperti uang kembalian (cash back), diskon, dan subsidi sehingga orang mau menggunakan produk mereka atau dikenal akuisisi pengguna.
Padahal, ini hanya salah satu model bisnis yang dikembangkan generasi milenial yang lahir antara 1980 dan 1999. Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur yang berkolaborasi dengan ratusan ahli dari banyak negara pada tahun 2010 merangkum berbagai model bisnis yang berkembang di kalangan bisnis baru itu dalam buku Business Model Generation. Sekarang makin banyak varian model bisnis di dalam penerapannya.
Tren model bisnis muncul di awal tahun 2000-an ketika teknologi digital makin banyak diakses oleh masyarakat. Pengaruh teknologi itu dalam dunia bisnis sangat kuat. Misalnya dalam akuisisi penggunaan atau konsumen yang jika dilakukan dengan model bisnis lama membutuhkan waktu lama, tetapi ketika muncul teknologi digital bisa dicapai dalam waktu singkat.
Model bisnis layanan gratis bermunculan karena ternyata bisnis intinya bukan di layanan itu. Layanan tersebut hanyalah gerbang untuk mendapatkan data. Data yang besar digunakan untuk membangun bisnis sebenarnya, yaitu mencari pendapatan semisal melalui iklan.
Google menyediakan layanan mesin pencarian secara gratis. Namun, sesungguhnya bisnis mereka adalah berbasis pengumpulan data pencarian itu, yang lalu bisa digunakan untuk menarget sasaran iklan secara lebih tepat. Mereka mendapatkan uang, salah satunya, melalui layanan iklan. Amazon berbisnis penjualan berbagai barang, tetapi bisnis lanjutannya seperti keuangan dan kesehatan berdasarkan lalu lintas data perdagangan dan pencarian barang di platform itu.
Di dalam tren model bisnis, orang bergairah dengan berbagai ide baru. Oleh karena itu, bermodal ide, mereka mencari investor. Investor pun tak mau tertinggal dengan tren itu. Mereka berbondong-bondong, tidak lagi hanya berfokus pada investasi riil alias sudah nyata dan terlihat. Mereka juga berinvestasi di ide.
Acara-acara mempertemukan pemilik ide sekaligus pendiri usaha rintisan dengan calon investor marak di berbagai tempat. Acara pertemuan singkat (speed dating) yang hanya sekitar lima menit banyak diminati. Presentasi menjadi modal penting bagi pendiri untuk mengemukakan ide. Seri pendanaan muncul mulai dari benih (seed) hingga seri F yang sekaligus menunjukkan valuasi usaha rintisan itu.
Akan tetapi, gairah mereka menanamkan uang di usaha rintisan menurun drastis ketika Uber melakukan penawaran saham perdana, tetapi harga sahamnya terus turun. Harga saham yang pada Mei 2019 ditawarkan 45 dollar AS, pada awal tahun ini hanya 34 dollar AS. Setelah itu usaha rintisan lainnya, WeWork, batal melantai di bursa karena respons pasar privat sangat rendah. Rencana bisnis yang tidak jelas dan cara mereka menyelesaikan beban perusahaan juga tak memuaskan calon investor. Keduanya menyebabkan investor di berbagai belahan dunia menahan diri.
Usaha rintisan sendiri, terutama yang tengah memasuki masa pengembangan, mengakui dalam posisi yang sulit.
Di Indonesia investor juga dilaporkan berhati-hati mengeluarkan uang. Beberapa lembaga keuangan memilih membatalkan bergabung di dalam sindikasi atau mengurangi peran mereka dengan menurunkan jumlah uang yang hendak dikucurkan di usaha rintisan. Usaha rintisan sendiri, terutama yang tengah memasuki masa pengembangan, mengakui dalam posisi yang sulit.
Mereka masih membutuhkan dana yang besar untuk mengembangkan usaha rintisan. Situasi ini perlu menjadi perhatian karena usaha rintisan mempekerjakan ribuan karyawan. Lebih dari itu, mereka adalah para pendobrak di dunia bisnis. Mereka adalah inovator. Upaya mereka bisa mati sebelum bertumbuh ketika pendanaan mengering.
Di sisi lain pendiri usaha rintisan juga perlu membangun bisnis yang lebih berkualitas. Mereka tidak bisa lagi bersandar pada valuasi. Proyeksi bisnis dan juga pertumbuhan yang jelas dan sehat masih bisa menyelamatkan nasib para pendobrak dunia bisnis di Tanah Air.