Menuai Hasil Pemulihan Lahan Kritis Penyangga Kerinci Seblat
Hamparan tandus di kaki Gunung Masurai akhirnya berangsur menghijau. Saban pagi, Nurbaini (33) rutin merawat tanaman sayurnya yang tumbuh pesat. Seluruh tanaman akan siap dipanen sebulan lagi.
Kekhawatiran yang sempat mengganjal pikirannya kini sirna. Hamparan yang bertahun-tahun ditinggalkan karena tandus itu ternyata bisa kembali subur. Bahkan, lahan itu telah semarak dengan beragam jenis sayuran mulai dari bayam, kacang panjang, buncis, tomat, hingga daun bawang.
”Semua bisa tumbuh karena lahannya diberikan makanan yang cukup,” kata Ketua Kelompok Wanita Tani Cahaya Madras itu, Senin (13/1/2020).
Kelompok tani lain yang lebih dahulu menjalankan pun telah menuai hasil. Esy Anggraini, petani setempat, dapat memanen cabe merah hingga 15 kali dalam satu musim tanam. Uang yang dihasilkan hampir Rp 6 juta per bulan.
Mengetahui hasil yang menggiurkan itulah, banyak petani tertarik memanfaatkan lahan-lahan telantar. ”Dulu lahan ini kami tinggalkan begitu saja. Kini bisa ditanami dan menghasilkan,” ujarnya. Esy, Nurbaini, dan para petani yang menghuni desa-desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, itu semula terbiasa berladang berpindah. Ketika lahan garapan tak lagi subur, mereka merambah lahan baru.
Praktik tersebut semula bukan masalah. Namun, saat jumlah penduduk terus bertambah, tradisi itu mulai menimbulkan masalah. Tutupan hutan terus berkurang karena dibuka menjadi lahan pertanian. Di sisi lain, persoalan mengatasi lahan yang tandus belum ada solusi. Fakta soal luasnya areal tandus di wilayah itu terungkap saat sekolah lapang dibangun sukarelawan pertanian organik dari Mitra Aksi tahun lalu. Bersama-sama mereka mengecek kesuburan lahan. Dari situlah, Nurbaini mulai memahami kondisi yang terjadi.
Dari 14 sampel pengujian kesuburan tanah menggunakan lampu kapier, diketahui hanya 57 persen lahan pertanian di desa itu yang masih berkategori subur. ”Selebihnya berkategori tandus,” ujar Jhony Lovta, pendamping dari Sekolah Lapang Mitra Aksi. Jhony mengajak petani untuk menyuburkan kembali lahan-lahan yang tandus itu. Ajakan tersebut semula disambut ragu. Selain kurangnya pengetahuan memulihkan lahan, para petani khawatir akan besarnya biaya untuk membeli bahan-bahan penyubur tanah dan pembasmi hama.
Namun, Jhony meyakinkan mereka bahwa seluruh lahan itu bisa dipulihkan dengan cara murah. Nyaris tak berbiaya. Hamparan lahan itu hanya perlu ditaburi racikan fermentasi bahan-bahan limbah pertanian. Bahan-bahannya mudah didapat karena semuanya ada di desa, antara lain ampas kulit kopi, dedak, batang pisang, dan daun singkong. ”Seluruh bahan lalu diperam dengan campuran gula pasir dan cairan EM4,” kata Jhony.
Taburan bahan-bahan organik perlahan memulihkan lahan kritis. Hasilnya pun terbukti, bibit-bibit sayuran yang diuji coba oleh kelompok petani lain di wilayah itu berhasil tumbuh subur. Saat hasil dipanen, petani menyaksikan kegembiraan di sana. Akhirnya, banyak petani sepakat untuk turut memulihkan lahan kritis yang sempat telantar di hamparan kaki gunung itu. Desa Muara Madras kini bahkan menjadi salah satu penghasil sayuran organik. ”Dulu, kami terbiasa membeli sayur kepada pedagang, tetapi sekarang tidak lagi. Sayur sudah melimpah,” kata Esy.
Pemanfaatan kembali lahan telantar lewat pertanian organik jadi bagian dari upaya penyelamatan TNKS, yang didukung Aksi Nyata Konservasi Hutan Tropis (TFCA) Sumatera. Konservasi berbasis tata guna lahan itu berjalan sejak 2018 oleh Mitra Aksi dan masyarakat enam desa. Program berjalan sinergis dalam bentuk Sistem Informasi Desa (SID).
Hambali dari Dewan Pengurus Mitra Aksi menyebutkan, SID menjadi dasar untuk penataan ulang ruang kehidupan bagi masyarakat dalam jangka waktu panjang. Dari situ, masyarakat mengetahui persoalan dan bersama mencari solusi. Masyarakat juga dapat melihat adanya peluang dan tantangan. Selain terkait potensi keruangan, data SID juga mampu menganalisis tingkat kesuburan tanah dan permasalahan lahan telantar karena tandus.
Direktur TFCA Sumatera Samedi mengatakan, dukungan tidak semata pada upaya penyelamatan kawasan dari kehancuran. Kesempatan bagi masyarakat mengenyam manfaat atas upaya konservasi juga terus diperkuat. Salah satunya, petani diberdayakan membangun industri hilir untuk pengolahan kopi robusta. Pemberdayaan yang berjalan sejak 2017 itu akhirnya menghasilkan produk kopi pegunungan dengan kualitas mendunia.
Ketua KWT Tamiang Kreatif Derma Yunita mengatakan, hasil produksi kopi dari Jangkat hampir setiap tahun dianugerahi predikat tertinggi kopi premium dalam ajang kompetisi tingkat nasional ataupun dunia. Akhirnya, saat manfaat telah dirasakan masyarakat, konservasi akan berjalan dengan sendirinya. (IRMA TAMBUNAN)