Penguatan Persenjataan dan Diplomasi Jadi Prioritas di Natuna
›
Penguatan Persenjataan dan...
Iklan
Penguatan Persenjataan dan Diplomasi Jadi Prioritas di Natuna
Kedaulatan itu memerlukan upaya khusus. Kedaulatan dan kemerdekaan itu harus dipertahankan dan pertahanan itu butuh investasi.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana memperkuat alat utama sistem persenjataan atau alusista dan ketegasan diplomasi untuk menghadapi konflik dengan Pemerintah China terkait Laut Natuna Utara. Selain itu, DPR juga mengingatkan agar pemerintah menyiapkan sejumlah rencana jika intensitas ketegangan dengan Pemerintah China semakin meningkat.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan, kedaulatan negara sudah tidak bisa ditawar. Ia menegaskan, pelanggaran wilayah merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.
”Kedaulatan itu memerlukan upaya khusus. Kedaulatan dan kemerdekaan itu harus dipertahankan dan pertahanan itu butuh investasi. Kita tidak bisa serta-merta punya pertahanan yang kuat, tetapi tentunya pemerintah juga harus memikirkan seluruh bangsa,” ujarnya seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/1/2020).
Rapat berlangsung tertutup dan dihadiri Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Deputi Operasi dan Latihan Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Muda TSNB Hutabarat, serta Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I Laksamana Madya Yudo Margono.
Menurut Prabowo, modernisasi alutsista menjadi salah satu upaya untuk menegakkan kedaulatan bangsa. Ia pun menjelaskan, pelanggaran wilayah tidak hanya dilakukan kapal-kapal nelayan China, tetapi juga oleh beberapa negara lain.
”Saya tidak akan menyebutkan negara mana saja, tetapi ingin saya tegaskan lagi bahwa pelanggaran wilayah tidak hanya dilakukan satu negara, tetapi beberapa negara lain juga melakukan pelanggaran ke wilayah kita,” ucapnya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, mengatakan, dalam rapat tersebut dibahas rencana pemerintah untuk menambah armada kapal guna memperkuat pengamanan di Laut Natuna Utara. Namun, belum ada pembahasan spesifik mengenai jumlah dan jenis kapal yang akan ditambah.
”TNI AL masih perlu menghitung jumlah kapal yang diperlukan dan kemampuan kapal seperti apa yang dibutuhkan. Sebab, untuk membeli kapal harus dilihat dulu anggarannya, biaya operasional, serta biaya pemeliharaan kapal nantinya,” ujarnya.
Dave menjelaskan, anggaran pertahanan untuk tahun 2020 telah disetujui sebesar Rp 127 triliun. Oleh sebab itu, jika ada penambahan jumlah kapal, bisa dialokasikan dari pos anggaran lain.
”Dalam keadaan darurat, pengalihan anggaran dari pos lain memang dimungkinkan. Kami akan membahas lagi di Badan Anggaran DPR terkait seberapa banyak anggaran yang bisa dialihkan untuk penambahan armada kapal dan penguatan alutsista,” ucapnya.
Rencana penambahan kapal ini juga didukung Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PKS Abdul Kharis Almasyhari. Sebelumnya ia mengatakan, tantangan untuk menjaga wilayah Laut Natuna Utara akan semakin berat dari waktu ke waktu.
”Kenyataannya, tantangan untuk menjaga wilayah Natuna Utara semakin besar, sedangkan jumlah kapal yang dimiliki oleh Bakamla belum memadai. Padahal, kita harus melakukan patroli dan menjaga selama 24 jam nonstop agar kapal China tidak masuk ke wilayah tersebut,” tuturnya.
Sebelumnya, Staf Ahli Kepala Staf TNI AL Laksamana Pertama Suradi Agung Slamet menjelaskan, Bakamla masih belum efektif untuk menjalankan fungsi penegakan hukum karena kurangnya jumlah kapal dan anggaran. Ia juga menyebutkan, Bakamla hanya memiliki 25 kapal yang tidak semuanya bisa dipakai. Padahal, idealnya Bakamla memerlukan 255 kapal untuk melakukan penegakan hukum.
Melobi negara tetangga
Dave mengatakan, dalam rapat tersebut, Komisi I DPR juga mengusulkan agar pemerintah bisa mempertegas diplomasi dengan negara tetangga di Asia Tenggara. Menurut dia, perlu ada upaya melobi negara-negara yang ada di Asia Tenggara agar mereka juga mengakui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
”Dalam UNCLOS 1982 tertuang bahwa Indonesia memiliki hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna Utara. Oleh sebab itu, jika negara-negara di Asia Tenggara juga mengakui isi dari UNCLOS 1982, hal ini bisa memperkuat posisi Indonesia,” ucapnya.
Dave menjelaskan, Pemerintah Indonesia juga perlu mempersiapkan sejumlah strategi dan rencana apabila intensitas ketegangan dengan Pemerintah China semakin meningkat. Hal ini karena Pemerintah China tidak bisa menjamin agar nelayannya keluar dari ZEE Natuna Utara.
”Kita tidak tahu Pemerintah China akan membuat kebijakan apa lagi untuk hari ini dan besok kebijakan apa lagi yang akan dibuat. Oleh sebab itu, kita harus siap dalam kondisi apa pun,” lanjutnya.
Sementara itu, Mahendra menyebutkan, Komisi I DPR telah mendukung penuh Kementerian Luar Negeri untuk mempertegas diplomasi. Ia pun menjelaskan, Pemerintah Indonesia tidak akan melakukan negosiasi dengan Pemerintah China yang tidak bisa menjamin nelayannya untuk mundur dari perairan Laut Natuna Utara.
”Tidak ada negosiasi karena posisi kita sudah jelas dan diakui oleh hukum internasional. Hal tersebut tertuang dalam UNCLOS 1982,” ucapnya.