”Semarang kaline banjir. Jo sumelang ra dipikir…”. Demikian penggalan lagu ”Jangkrik Genggong” yang dipopulerkan Waldjinah. Lirik lagu itu seolah menyindir Kota Semarang yang tak pernah terbebas dari banjir. Namun, sindiran itu tak berlaku lagi bagi Kota Semarang. Desember lalu, terbukti Semarang tak lagi kebanjiran.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihardi dalam akun Instagram pribadinya pada November 2019 mengunggah video mengenai sebagian keberhasilan Kota Semarang dalam mengatasi banjir. Dalam video tersebut terdeskripsikan, dulu setiap turun hujan, jalanan langsung menjadi kolam renang dadakan. Ketinggian banjir dalam video itu digambarkan mencapai selutut orang dewasa.
Namun, setelah pemerintah kota membangun sistem pengendali banjir dengan mengandalkan sistem pompa, 82,6 persen wilayah Semarang bebas dari banjir.
Pemkot Semarang boleh berbangga atas keberhasilan tersebut. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Semarang pun pada Desember 2019 menunjukkan, tidak ada banjir besar rob yang kerap terjadi di Semarang Utara. Di sejumlah lokasi ”hanya” terjadi banjir setinggi 60 sentimeter yang merendam 28 rumah karena drainase tidak lancar.
Menengok ke belakang, sama seperti Jakarta, sejarah panjang Semarang juga tak lepas dari banjir. Catatan banjir di Semarang sudah dimulai sejak sebelum abad ke-19. Pemerintah kolonial Belanda membangun kanal untuk mencegah banjir. Tercatat banjir terjadi pada 1913 menggenangi Jalan Pemuda. Setelah itu, banjir besar melanda Semarang pada 1973, 1988, 1990, dan 1993.
Merujuk pada penelitian ”Relokasi Terdampak Banjir Sungai di Kota Semarang” (Yunarto, 2017), banjir besar tersebut biasanya merupakan banjir ”kiriman” akibat curah hujan tinggi di wilayah hulu. Selain banjir kiriman, Semarang juga dilanda banjir rob. Banjir ini rutin terjadi setiap hari karena air laut pasang di Kecamatan Semarang Utara dan sebagian Semarang Barat. Ketinggian banjir berkisar 0,2-0,7 meter dengan lama genangan 3-6 jam.
Semarang juga terancam banjir lokal akibat curah hujan setempat. Banjir ini terjadi jika hujan melebihi kapasitas sistem drainase dengan kedalaman genangan 0.5-0,7 meter. Banjir lokal biasanya terjadi di Kecamatan Semarang Timur, Semarang Barat, Semarang Tengah, Genuk, Semarang Utara, dan Gayamsari.
Penanganan banjir Semarang sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda yang membangun Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Kanal Banjir Barat yang kala itu bernama bandjirkanaal mulai beroperasi awal 1879. Kanal ini menyodet Sungai Kaligarang dan membuat aliran baru lurus langsung menuju Laut Jawa. Selain sebagai pengendali banjir, kanal ini sebagai pengendali irigasi sawah dan bahan baku air minum warga.
Namun, rupanya Kanal Banjir Barat tidak mengatasi persoalan banjir, khususnya di bagian timur. Karena itu, tahun 1896 mulai dibangun Kanal Banjir Timur (Ooster Bandjirkanaal) dan selesai pada 1900. Fungsi kanal itu, selain sebagai pengendali banjir di sisi timur Semarang, juga untuk melindungi Pelabuhan Semarang dari banjir.
Strategi pengendalian
Seiring perkembangan kota dan terjadinya alih fungsi lahan, dua kanal tersebut bahkan tidak sanggup lagi mencegah banjir. Apalagi, kawasan utara Semarang merupakan dataran dengan ketinggian lebih rendah dari permukaan air laut saat pasang tinggi.
Pusat Litbang Sumber Daya Alam melalui penelitian ”Strategi Pengendalian Banjir Kota Semarang” (2012) kemudian membuat konsep pengendalian dengan mencegah masuknya air laut ke daratan dan mengendalikan aliran air banjir akibat air kiriman dari hulu. Konsep tersebut tertuang menjadi tiga strategi, yakni menahan banjir di hulu, menjaga di tengah, serta menarik ke hilir dan menjaga agar air dari laut tidak naik ke darat.
Penanggulangan banjir tersebut adalah pembangunan Waduk Jatibarang, pembuatan dan pemaksimalan sistem drainase, serta pembuatan stasiun pompa. Selanjutnya adalah pembangunan tanggul laut, pembuatan tembok penghalang air, pembuatan rumah pompa dan kolam retensi, serta pembersihan saluran drainase.
Strategi menahan air di hulu diwujudkan dengan penghijauan dan penahan air, seperti waduk atau embung. Penghijauan ini telah direalisasikan melalui kegiatan Open Lepen Kaligarang yang pertama kali digelar 2017. Selain menanam ratusan batang bibit pohon di sepanjang bantaran sungai, warga juga membersihkan sampah dan menebar ribuan benih ikan.
Solusi lain menampung air di hulu adalah membangun bendungan dan embung. Bendungan di kawasan Gunungpati dibangun sebagai solusi pengendalian banjir proyek Flood Control, Urban Drainage and Water Resources Develompent in Semarang-JICA 1997-2000. Bendungan ini baru bisa terbangun pada 2011 dan diresmikan 2015. Waduk Jatibarang memiliki luas genangan 189 hektar dan bisa menampung air 20,4 juta meter kubik.
Normalisasi sungai
Menahan di hulu tidaklah cukup. Upaya tambahan yang disarankan adalah normalisasi sungai dan pembangunan tanggul banjir. Normalisasi Sungai Kaligarang dengan pengerukan sedimentasi dan sampah serta penguatan tanggul mulai dilakukan pascabanjir besar 1998.
Normalisasi ini dilanjutkan pada 2010-2012 yang disertai dengan rehabilitasi Bendung Simongan yang dibangun pada era kolonial. Selain normalisasi, juga dibangun tanggul buatan untuk menahan aliran air sungai agar tidak meluap ke permukiman penduduk.
Program lain adalah pembangunan saluran air dan pintu air yang alirannya diarahkan ke Kanal Banjir Barat. Tercatat dalam kajian ”Evaluasi Kemanfaatan Normalisasi Banjir Kanal Barat Kota Semarang” (2016), ada 36 saluran air yang bermuara ke Kanal Banjir Barat, 18 pintu air, dan 6 rumah pompa.
Normalisasi sungai juga dilakukan di Kanal Banjir Timur, Sungai Babon, Sungai Dombo-Sayung, dan Sungai Dolok di sistem drainase bagian timur. Normalisasi Kanal Timur ini akan berakhir 2020.
Selain normalisasi, Kementerian Pekerjaan Umum juga membangun Bendung Gerak di Kanal Banjir Barat yang telah selesai akhir 2019. Bendung tersebut berfungsi sebagai menahan intrusi air laut dan menjaga debit air serta menggelontorkan sedimen sungai. Selain itu, bendung yang memiliki empat pintu ini menambah pasokan air baku Kota Semarang sebesar 1.050 liter per detik.
Optimalisasi polder
Strategi terakhir adalah menahan air laut agar tidak masuk ke daratan. Sistem yang bisa digunakan adalah polder, tanggul laut. dan dam lepas pantai. Pemkot Semarang untuk mengatasi rob telah membangun 28 polder di wilayah penanganan barat, tengah, dan timur, di antaranya polder Banger, Tawang, dan Kali Semarang.
Polder, yang tak lain wilayah cekungan dikelilingi tanggul guna memproteksi dari pengaruh laut atau badan air lain, dipandang cocok sebagai pengendali banjir dan rob Semarang. Di dalam polder, aliran air permukaan diatur dengan pompa sehingga permukaan airnya tidak terpengaruh daerah sekitarnya.
Merujuk pada penelitian ”Ketangguhan Semarang dalam Menghadapi Banjir Rob” (2019), sistem polder telah berhasil mengurangi risiko banjir rob di Kecamatan Semarang Barat, Tugu, Semarang Utara, dan Semarang Timur.
Bahkan, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, sudah tidak mengalami banjir rob sejak 2015. Contoh lain adalah polder Banger dan Tawang, yang menangani banjir rob di kawasan Kota Lama.
Namun, polder masih belum berhasil mengatasi banjir rob di Kecamatan Gayamsari dan Genuk. Penyebabnya adalah penurunan permukaan tanah yang cukup parah dan kinerja sistem drainase di wilayah timur yang belum maksimal.
Banjir kiriman dan lokal berhasil diatasi Pemkot Semarang. Masih tersisa banjir rob yang harus segera diatasi. Penambahan polder dan pembangunan tanggul laut menjadi rencana ke depan untuk membawa pada cita-cita ”Semarang Bebas Banjir, Semarang Kaline Ora Banjir Maneh”. (LITBANG KOMPAS)