Perkembangan teknologi digital membawa peluang sekaligus tantangan serius bagi demokrasi. Di tengah maraknya jerat manipulasi informasi yang sengaja dimainkan aktor-aktor politik, kesadaran dan inisiatif edukasi literasi digital semakin meningkat. Namun, apakah gerakan itu sejauh ini sudah tepat sasaran?
Di Indonesia, dengan jumlah hoaks terbanyak di bidang politik, manipulasi informasi turut mengancam demokrasi. Laporan The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation oleh Samantha Bradshaw dan Philip N Howard, peneliti dari Universitas Oxford mencatat, dari total 70 negara yang dikaji, 52 negara secara aktif menggunakan pasukan siber untuk menciptakan konten hoaks dan memanipulasi opini publik.
Di Indonesia, disinformasi sengaja disebarkan oleh politisi dan partai-partai politik serta buzzer dengan bayaran Rp 1 juta-Rp 50 juta. Pesan yang disebarkan memuat tiga hal: propaganda pro-pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi, dan mendorong perpecahan di masyarakat.
Indonesia telah merasakan ancaman disinformasi berbumbu ujaran kebencian lewat perhelatan kontestasi politik pada periode 2014-2019. Jajak pendapat Litbang Kompas pada 6-7 November 2019 melibatkan 520 responden di 17 kota besar di Indonesia menunjukkan, 60,2 persen responden menilai kabar bohong di media sosial berpotensi memicu perpecahan bangsa dan negara. Sementara itu, 19,6 persen responden menilai, hoaks bisa memicu keributan antarkelompok masyarakat.
Di tengah bahaya disinformasi itu, tak semua komponen masyarakat mampu membedakan konten hoaks dan fakta. Survei Siberkreasi pada Maret-November 2019 terhadap 987 responden di 18 kota menunjukkan, 54,4 persen responden masih bingung mengidentifikasi hoaks. Kondisi ini mengkhawatirkan mengingat responden berusia 15-45 tahun yang disurvei umumnya berpendidikan tinggi, seperti pelajar, mahasiswa, aparatur sipil negara, guru, dan konten kreator.
Gerakan literasi digital terus digaungkan sebagai solusi utama jangka panjang mencerdaskan masyarakat di tengah banjir informasi. Program pelatihan, workshop, dan penyuluhan mulai menjamur, baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat sipil.
Wakil Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi Rizki Ameliah mengatakan, upaya literasi digital yang dilakukan berbagai lini saat ini belum efektif dan sistematis. Gerakan cenderung sporadis tanpa garis besar desain gerakan literasi digital yang koheren. Kuatnya ego sektoral lintas kementerian dan instansi membuat upaya kolaboratif jarang tercapai.
Gerakan literasi digital, meski semakin menggeliat di sejumlah wilayah, belum berbasis data. Sampai sejauh ini, Indonesia belum memiliki indeks data literasi digital nasional yang bisa memetakan kondisi inklusi digital, tingkat kemampuan literasi digital, serta gerakan edukasi literasi digital di semua kelompok masyarakat dan daerah.
”Kegiatan-kegiatan literasi cenderung tabrak lari dan minim kolaborasi. Akhirnya, sulit ada kesinambungan program literasi,” kata Rizki. Tanpa adanya pemetaan, gerakan literasi digital juga belum menjangkau kelompok masyarakat secara luas. Hal ini, dalam jangka panjang, kontraproduktif terhadap tujuan awal memberantas penyebaran disinformasi yang meluas di masyarakat.
Berbasis data
Beberapa negara dengan kesadaran literasi digital tinggi telah menjalankan kampanye literasi digital dengan berbasis data. Inggris, misalnya, sejak 2011 membangun inklusi digital. Pemerintah Inggris mengeluarkan biaya besar setiap tahun untuk memetakan inklusi digital dan mencapai target edukasi literasi digital ke seluruh pelosok negeri. Inklusi digital berarti kesempatan bagi setiap orang untuk memiliki akses internet serta paham menggunakan teknologi digital secara bijak dan efektif.
Australia memiliki Australian Digital Inclusion Index untuk memetakan kondisi inklusi digital secara nasional dan berkala. Pemetaannya dibagi dalam tiga dimensi: akses, kesanggupan, dan kemampuan mengoperasikan teknologi digital. Termasuk di dalamnya, kapasitas masyarakat dalam membedakan informasi hoaks dan fakta secara kritis, bijak, dan selektif.
Peneliti di Digital Media Research Centre, Queensland University of Technology Australia, Fiona Suwana, mengatakan, indeks inklusi digital memungkinkan munculnya kampanye dan program literasi digital yang tepat sasaran dan berkesinambungan.
Indeks yang memetakan tiap kelompok masyarakat di seluruh negara bagian itu juga mendorong inklusivitas digital. Tidak ada kelompok yang teralienasi. Sebagai contoh, pada 2018 kelompok usia tua tergolong yang paling terpinggirkan secara digital di Australia, dengan skor indeks 46, di bawah rata-rata nasional. Maka, berbagai program literasi digital tahun itu lebih banyak ditargetkan pada kelompok usia 65 tahun ke atas.
Menurut Fiona, model indeks pemetaan inklusi digital nasional seperti yang ada di Australia bisa menjawab pertanyaan besar yang muncul terkait efektivitas dan kesinambungan gerakan literasi digital di Indonesia. Donny BU, Tenaga Ahli Bidang Literasi Digital dan Tata Kelola Internet Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengatakan, ke depan gerakan literasi digital dengan riset berbasis data mulai dirintis. Namun, tantangan yang dihadapi tidak mudah.
”Tidak banyak pihak mau menginvestasikan tenaga, waktu, dan uang ke kegiatan riset dan pengembangan yang pasti memakan waktu lama. Rata-rata lebih suka membuat kegiatan literasi digital berupa pelatihan, workshop,” katanya. Rizki mengatakan, saat ini Siberkreasi sedang menyiapkan proyek besar peta literasi digital nasional.
Ia meyakini perkembangan signifikan bisa dicapai jika gerakan literasi digital nasional berbasis data terwujud. ”Siapa pun bisa melakukan kegiatan literasi digital, sekecil apa pun itu, secara tepat sasaran.
Upaya kolaborasi juga bisa diwujudkan, bukan hanya antarinstansi pemerintah, melainkan juga dengan kelompok masyarakat sipil dan komunitas-komunitas kecil lain,” katanya. Mampukah kita benar-benar mewujudkannya?
(AGNES THEODORA)