Hoaks ataupun disinformasi masih kerap diatasi secara reaktif, melalui penindakan dan literasi digital yang pasang-surut mengikuti momentum saat hoaks meningkat, terutama terkait dengan isu politik.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Gerakan literasi digital yang efektif membutuhkan pendekatan yang sistemik dan berkesinambungan untuk melatih masyarakat berpikir kritis dan terhindar dari jebakan manipulasi informasi. Namun, di Indonesia, hoaks ataupun disinformasi masih kerap diatasi secara reaktif, melalui penindakan dan literasi digital yang pasang-surut mengikuti momentum saat hoaks meningkat, terutama terkait dengan isu politik.
Padahal, tidak mudah mengidentifikasi hoaks. Hasil survei Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi pada Maret-November 2019 di 18 kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan 95,8 persen dari 987 responden mengaku pernah menjumpai hoaks. Namun, mayoritas responden, yakni 54,4 persen, mengaku terkadang bingung membedakan konten hoaks dan fakta. Adapun responden survei ini mayoritas kaum terpelajar, seperti guru, pelajar, mahasiswa, karyawan, pegawai negeri sipil, wirausaha, dan kreator konten yang berusia 15-45 tahun.
Kondisi ini rentan menimbulkan persoalan. Dalam konteks politik, manipulasi informasi menjadi persoalan laten. Hoaks kerap digunakan sebagai senjata untuk menjatuhkan reputasi lawan politik dan memengaruhi preferensi politik rakyat. Padahal, pada September 2020, Indonesia akan menghadapi pemilihan kepala daerah serentak di 270 daerah, serta pemilu legislatif, dan pemilihan presiden, serta pilkada serentak menyeluruh di 2024.
Laporan The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation oleh Universitas Oxford, Inggris, mencatat, di Indonesia, tim manipulator informasi hanya aktif beroperasi pada saat ada agenda politik besar, seperti pilkada dan pemilu.
Hal ini juga terlihat dari tren satu tahun terakhir, yakni peredaran hoaks di Indonesia paling banyak terkait politik. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, ada 3.801 temuan hoaks sepanjang 2019. Dari sisi tema, isu politik mendominasi sepanjang 2019, yakni 922 temuan hoaks. Misinformasi dan disinformasi juga banyak terkait pemerintahan, yakni 721 temuan hoaks.
Setelah pemilu, aktivitas hoaks berkurang. Namun, di sisi lain, narasi mengenai literasi digital juga cenderung ikut berkurang. Minat masyarakat mencari informasi terkait literasi digital berfluktuasi dan terkadang seiring dengan peristiwa politik tertentu atau saat muncul hoaks. Hal ini terlihat dari data Google Trends yang menunjukkan tren pencarian kata ”literasi digital” sepanjang 2019 menunjukkan pola fluktuasi yang cukup tajam.
Persoalan struktural
Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo di Jakarta, Minggu (19/1/2020), mengatakan, ada ketidakseimbangan antara besaran masalah penyebaran disinformasi dan penanganannya. Hoaks sudah menjadi persoalan struktural yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Berbagai upaya sudah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil dan komunitas. Akan tetapi, jika ingin efektif, pendekatan literasi digital sebagai solusi menangkal hoaks tidak bisa terus-menerus berupa gerakan ad hoc dari pemerintah atau kampanye sukarela dari lembaga masyarakat sipil. Diskursus literasi digital di ruang publik harus berkesinambungan, tidak bersifat musiman hanya saat muncul kasus hoaks yang menyita perhatian.
”Semua gerakan itu penting dan menunjukkan meningkatnya kesadaran pentingnya literasi digital. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Karena persoalan ini sudah sistemik, maka dibutuhkan respons yang juga sistemik,” kata Agus yang juga anggota Dewan Pers itu. Upaya sistemik yang paling dibutuhkan ialah mendorong pemerintah segera memasukkan pendidikan literasi digital dan berpikir kritis dalam kurikulum pendidikan. Hal itu sudah menjadi prioritas di banyak negara demokrasi maju, seperti Finlandia.
Di sana kemampuan literasi digital sudah diajarkan sejak anak-anak masih usia taman kanak-kanak. ”Indonesia harus bergerak menuju ke sana, tak bisa kembali menggunakan pendekatan musiman yang hanya menunggu momentum politik atau munculnya hoaks,” katanya.
Persoalan prioritas
Direktur Eksekutif Information and Communication Technologies Donny BU menuturkan, kelompok masyarakat sipil sudah berulang kali mendorong agar gerakan literasi digital tidak sekadar seperti menambal ban bocor. Hanya saja, Donny juga memahami, mewujudkan kesinambungan gerakan literasi digital tidak mudah. Perlu ada persiapan besar-besaran untuk mendidik tenaga pengajar sebelum mengimplementasikan literasi digital dalam kurikulum wajib. Dukungan politik pemerintah menjadi penting.
”Ini mengenai prioritas. Kalau literasi digital belum dianggap prioritas dan baru dilirik ketika ada kasus tertentu, lalu menghilang setelah kasus itu mereda, maka gerakan literasi digital tak akan pernah berjalan efektif,” ujarnya.
Seiring dengan edukasi literasi digital yang harus ditingkatkan, tindakan untuk meredam penyebaran hoaks pun terus digencarkan. Kepala Subdirektorat II Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Besar Rickynaldo Chairul mengatakan, Polri juga berupaya mendahulukan upaya pemberian pemahaman kepada masyarakat sebelum penindakan. Tim siber Polri terus melakukan patroli di media sosial dan aplikasi pesan instan.
”Kami selalu berikan pemahaman kepada penyebar hoaks. Penegakan hukum akan dilakukan setelah para penyebar hoaks terus melakukan aktivitasnya dan membuat informasi yang tidak akurat, misalnya berkaitan tentang pemerintah atau individu tertentu,” kata Rickynaldo. (Age/San)