Klarifikasi Dewan Pengawas Belum Tuntas, Panggil Kembali Helmy
›
Klarifikasi Dewan Pengawas...
Iklan
Klarifikasi Dewan Pengawas Belum Tuntas, Panggil Kembali Helmy
Anggota Dewan Pengawas LPP TVRI, Supra Wimbar, tidak setuju pemberhentian Direktur Utama LPP TVRI Helmy Yahya. Alasannya, klarifikasi berbagai persoalan kepada Helmy masih belum tuntas. Helmy perlu dipanggil kembali.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satu dari lima anggota Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia atau LPP TVRI tidak menyetujui pemberhentian Direktur Utama LPP TVRI Helmy Yahya. Alasannya, klarifikasi berbagai persoalan kepada Helmy masih belum tuntas sehingga Helmy perlu dipanggil kembali untuk menjelaskan.
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) LPP TVRI, Supra Wimbarti, Selasa (21/1/2020), mengaku tidak setuju Helmy langsung dilengserkan. Dia mengusulkan kepada Dewas agar mengundang Helmy sekali lagi untuk bertatap muka menjelaskan pembelaan.
Dia juga meminta Helmy membawa dokumen dan bukti-bukti. Dokumen dan bukti-bukti itu tidak cukup jika hanya lewat surat dan kemudian persoalan ini dianggap selesai.
”Semua Dewas dapat bertanya secara langsung supaya jelas bersalah atau tidak. Itu belum dilaksanakan Dewas. Artinya, klarifikasi itu belum tuntas. Saya mintakan itu. Belum tuntas kok sudah diputus bersalah,” kata Supra di Jakarta.
Klarifikasi itu belum tuntas. Saya mintakan itu. Belum tuntas kok sudah diputus bersalah.
Supra tidak menyetujui pemberhentian tersebut karena berbeda pendapat. Hal itu terjadi sejak rapat pleno pengambilan keputusan menerima atau menolak pembelaan Helmy pada 14 Januari 2020.
Menurut Supra, banyak hal yang belum dijelaskan secara tuntas dalam pembelaan Helmy melalui surat pada 18 Desember 2019. Untuk itu, seharusnya diadakan lagi pertemuan secara langsung untuk menjelaskan duduk perkara berbagai persoalan kepada Dewas.
Meski demikian, Dewas telah mengeluarkan surat keputusan pemberhentian Dirut pada 16 Januari 2020. Supra tidak mengetahui perihal surat keputusan itu karena tidak dilibatkan, termasuk tidak menerima salinan ataupun tembusannya.
Adapun persoalan yang harus dijelaskan oleh Helmy antara lain pembayaran honor Satuan Kerja Karyawan, mutasi dan promosi karyawan, biaya produksi kuis Siapa Berani, dan pembayaran hak siar Liga Inggris.
Persoalan TVRI
Belum rampungnya pembayaran honor Satuan Kerja Karyawan sebesar Rp 7,6 miliar pada Desember 2018 berujung pada aksi mogok karyawan dan penghentian siaran TVRI pada 10 Januari 2019.
Persoalan itu, menurut Supra, belum dijelaskan secara tuntas melalui surat pembelaan karena sedang diselesaikan oleh jajaran direksi. ”Kalau memang sudah tuntas dan dibayarkan, ini, kan, harus diklarifikasi lagi,” ujarnya.
Kemudian terkait mutasi dan promosi karyawan, lanjut Supra, Dewas mempertanyakan itu karena dilakukan dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Mutasi dan promosi diperbolehkan berdasarkan peraturan yang ada.
Peraturan itu yakni surat keputusan dari direktur utama terdahulu dan surat keputusan Helmy tentang seleksi, mutasi, dan promosi pegawai di bawah direksi.
Persoalan tentang biaya produksi kuis Siapa Berani, Dewas mempertanyakan biaya produksi sebesar Rp 120 juta untuk satu episode oleh pihak luar. Padahal, produksi satu episode oleh internal hanya membutuhkan biaya Rp 73 juta.
Supra mengaku sudah menanyakan itu kepada Direktur Program dan Berita TVRI Apni Jaya Putra. Apni menyebutkan, biaya produksi Rp 120 juta itu untuk dua episode.
”Justru lebih murah biayanya. Jadi penyimpangannya tidak ada. Kalau ditanya langsung, kan, jadi lebih jelas,” katanya.
Sama halnya dengan pembayaran hak siar Liga Inggris kepada Mola TV pada November 2019. Supra mendapatkan jawaban dari Apni bahwa sudah tercapai kesepakatan perpanjangan waktu pembayaran karena masih menunggu penerimaan negara bukan pajak.
Dalam persoalan itu, kata Supra, tidak terjadi gagal bayar. Hanya ada keberatan dari Dewas.
Evaluasi
Empat anggota Dewas telah bertemu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pertemuan membahas Peraturan Pemeritah Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI.
Anggota BPK, Achsanul Qosasi, menanyakan tentang PP itu. Menjawab hal itu, Supra mengatakan, PP tersebut memang harus diperbarui karena masih banyak kekurangannya.
Kekurangan itu antara lain struktur organisasi yang kurang lengkap sehingga tidak bisa melindungi organisasi. Misalnya, posisi Biro Hukum yang terlalu rendah dalam struktur.
Kemudian persoalan SK Dewas tentang Tata Kerja dan Hubungan Dewas dan Direksi, menurut Supra, jajaran direksi memprotes izin tertulis kepada Dewas jika bertugas keluar kota.
”Direksi memprotes karena untuk keluar kota harus dengan izin tertulis Dewas. Kalau ke stasiun TVRI yang tidak terlalu jauh, seperti di Bandung dan Banten, kan seharusnya tidak perlu menunggu izin tertulis. Aturan ini dinilai terlalu ketat,” ujarnya.
Sementara itu, Achsanul menyayangkan kisruh Dewas dengan direktur utama TVRI yang berujung perdebatan panjang. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Dewas tidak mendapatkan mandat untuk memberhentikan direksi.
”UU tidak memberikan kewenangan itu, hanya mengangkat. Tetapi, dalam PP ada kalimat Dewas dapat memberhentikan dengan syarat-syarat tertentu. Itu sudah dijawab Helmy,” kata Achsanul.
Menurut dia, memang ada temuan persoalan. Akan tetapi, jajaran direksi TVRI sudah menindaklanjuti. Artinya sudah dikoreksi dan dianggap selesai sehingga tidak merugikan negara.
Ada temuan persoalan. Akan tetapi, jajaran direksi TVRI sudah menindaklanjuti. Artinya sudah dikoreksi dan dianggap selesai sehingga tidak merugikan negara.
Oleh karena itu, BPK akan membantu perbaikan PP bersama Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.