Konsistensi Penanganan Buntung dan Citarum Belum Teruji
›
Konsistensi Penanganan Buntung...
Iklan
Konsistensi Penanganan Buntung dan Citarum Belum Teruji
Hingga Senin (20/1/2020) sore, Sungai Buntung di Desa Kedungrejo, Kecamatan Waru, masih penuh sampah. Secara kasatmata, kondisi ini sama dengan sebelum dibersihkan.
Oleh
Runik Sri Astuti/Tatang Mulyana Sinaga
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS -- Pembersihan Sungai Buntung di Sidoarjo, Jawa Timur, yang melibatkan ratusan sukarelawan belum mampu membebaskan permukaan sungai dari timbunan sampah rumah tangga dan eceng gondok. Pembersihan diprediksi perlu waktu beberapa hari karena besarnya volume sampah.
Hingga Senin (20/1/2020) sore, Sungai Buntung di Desa Kedungrejo, Kecamatan Waru, masih penuh sampah. Secara kasatmata, kondisi ini sama dengan sebelum dibersihkan.
Sekretaris Daerah Provinsi Jatim Heru Tjahyono mengatakan, pembersihan sungai yang dimotori Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jatim itu merupakan gerakan awal pemeliharaan sungai. Meski belum optimal, aksi itu tetap bermanfaat, minimal menggugah kesadaran masyarakat ikut bertanggung jawab menjaga sungai.
”Masyarakat harus sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan dan membangun bangunan di bantaran sungai,” ujar Heru, kemarin. Sungai Buntung sepanjang 23 kilometer, melintasi empat kecamatan, dari Krian di bagian hulu, lalu Kecamatan Taman, Waru, dan Sedati, hingga bermuara di Selat Madura.
Masyarakat harus sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan dan membangun bangunan di bantaran sungai.
Seperti dimuat di Kompas, Jumat (17/1), permukaan sungai dijejali sampah dan eceng gondok, seperti di Kanal Pelayanan, Kecamatan Taman, dan di Desa Kedungrejo, Waru. Foto itu direspons Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang selanjutnya menggerakkan BPBD Jatim ”resik-resik kali”.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Brantas Sahroni Soegiarto mengatakan, pengelolaan Sungai Buntung berada di instansinya. Namun, masalah sungai itu sangat berat dan parah sehingga memerlukan keterlibatan Pemkab Sidoarjo dan Pemprov Jatim.
”Sebagai gambaran, kapasitas Sungai Buntung saat ini tersisa 10 persen. Kemampuan sungai mengalirkan air tinggal 20-25 meter kubik per detik dari kapasitas seharusnya 200 meter kubik per detik,” kata Sahroni. Sungai Buntung mengalami pendangkalan hulu-hilir yang disebabkan okupansi dan ketiadaan pengerukan bertahun-tahun.
Hal itu diperparah ulah warga membuang beragam sampah, dari kemasan makanan-minuman, popok, bantal, sofa, hingga kasur pegas. Di titik-titik penumpukan sampah diperparah menjamurnya eceng gondok. Salah satu titik paling rawan di Desa Kedungrejo, Kecamatan Waru. Sampah menumpuk di bawah jembatan layang Waru.
Jalan raya Sidoarjo-Surabaya di Waru pun kerap banjir. Luapan Sungai Buntung juga menggenangi permukiman di Kedungrejo, salah satu akses ke Terminal Bungurasih. Luapan Sungai Buntung juga kerap membanjiri jalan ke terminal penumpang domestik dan internasional Bandara Juanda.
Sampah Citarum
Masalah yang kurang lebih sama terjadi di Sungai Citarum, Jawa Barat. Mereduksi dampak buruk, pengendalian sampah Citarum dimulai sejak kawasan hulu, salah satunya melalui pengoperasian bank sampah.
Salah satu bank sampah digerakkan Komunitas Peduli Lingkungan Hidup (KPLH) Warisan Alam di Desa Sukapura, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Komunitas itu mengumpulkan sekitar satu ton sampah per pekan. Sampah dikumpulkan dari 500 keluarga di desa itu.
Sejumlah 50 persen sampah plastik, di antaranya kemasan makanan dan minuman. Sampah yang disetorkan warga akan menjadi tabungan sampah yang dapat ditukarkan bahan pokok, seperti minyak dan gula pasir.
Ketua Harian Satuan Tugas Citarum Harum Dedi Kusnadi mengatakan, sampah di Citarum mulai berkurang. Namun, sampah dari hulu saat hujan menunjukkan, warga masih membuang sampah ke sungai. Salah satu upaya mengatasi pencemaran sampah di Citarum menggunakan dana Bank Dunia melalui pemerintah pusat Rp 1,4 triliun.