Hidup berkesenian pun bisa bermasalah jika inklinasinya tidak sama. Paling tidak, begitulah yang terjadi tahun 1960-an ketika kelompok Manikebu berseteru dengan kelompok Lekra.
Oleh
·2 menit baca
Hidup berkesenian pun bisa bermasalah jika inklinasinya tidak sama. Paling tidak, begitulah yang terjadi tahun 1960-an ketika kelompok Manikebu berseteru dengan kelompok Lekra.
Manikebu, singkatan dari Manifes Kebudayaan, sebenarnya menjadi pengimbang Lekra yang saat itu semakin kuat. Manikebu merupakan kumpulan para seniman—penulis, pemusik, pelukis, dan seterusnya—yang memilih seni murni: seni adalah untuk seni, dengan humanisme universal sebagai basisnya.
Sidang pengesahan Manikebu berlangsung 24 Agustus 1963, dipimpin oleh Goenawan Mohamad dan sekretaris Bokor Hutasuhut. Sementara rapat perumusan yang berlangsung sehari sebelumnya dihadiri 13 seniman. Di antaranya HB Jassin, Bur Rasuanto, dan Soe Hok Djin.
Kelompok Lekra—singkatan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat—yang menjadi tandingannya, didirikan jauh lebih dahulu, 17 Agustus 1950, atas inisiatif DN Aidit, MS Ashar, AS Dharta, dan Njoto. Tujuannya memperkuat kedudukan politik partainya, yaitu Partai Komunis Indonesia alias PKI.
Dengan platform sosial ini, seniman Lekra banyak menulis kepahitan hidup rakyat dalam cerpen dan puisi.
Para seniman pendukung Lekra percaya bahwa seni itu berkorelasi dengan realisme sosial sehingga karya-karya mereka banyak menggambarkan kehidupan orang kecil: buruh dan petani. Dengan platform sosial ini, seniman Lekra banyak menulis kepahitan hidup rakyat dalam cerpen dan puisi. Di antara seniman Lekra terdapat nama Pramoedya Ananta Toer dan Agam Wispi.
Manikebu sempat dilarang oleh pemerintahan Orde Lama karena dianggap menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi. Buku-buku karangan para penulis Manikebu juga dilarang beredar. Namun, setelah pemerintahan berganti dari Orde Lama ke Orde Baru, sembilan judul buku yang total mencapai 31.897 eksemplar diedarkan kembali oleh PN Balai Pustaka.
Sebaliknya, PKI dan organisasi afiliasinya dinyatakan sebagai partai terlarang. Banyak penulis Lekra dipenjarakan dan buku-bukunya dibekukan dari peredaran. Total yang dilarang beredar pada 1966 ada 16 judul buku—terdiri dari 8.148 eksemplar—karya anggota Lekra ataupun organisasi lain di bawah PKI. (nes)