Mementaskan Kembali ”Panembahan Reso” Setelah 1986
›
Mementaskan Kembali...
Iklan
Mementaskan Kembali ”Panembahan Reso” Setelah 1986
Setelah dipentaskan terakhir pada 1986, naskah karya WS Rendra, ”Panembahan Reso”, siap dipanggungkan lagi dalam pertunjukan teater di Jakarta. Kali ini, ”Panembahan Reso” akan disajikan dalam versi padat.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·4 menit baca
Setelah dipentaskan terakhir pada 1986, naskah karya WS Rendra, Panembahan Reso kini siap dipanggungkan lagi dalam pertunjukan teater di Jakarta. Kali ini, Panembahan Reso akan disajikan dalam versi padat dari naskah aslinya dengan melibatkan para pemain teater dari Solo, Yogyakarta, dan Jakarta.
Pementasan teater Panembahan Reso akan digelar di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Sabtu (25/1/2020) mendatang. Latihan terakhir telah dilangsungkan di hadapan penonton di gedung Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (19/1/2019) malam. Gedung Teater Besar ISI Surakarta malam itu dipenuhi penonton.
Pertunjukan teater berdurasi 2,5 jam ini disutradarai Hanindawan Sutikno, sutradara teater Gidag Gidig, Solo, dengan iringan musik yang digarap Dedek Wahyudi. Sejumlah aktor dan aktris teater yang ikut berperan di antaranya Whani Darmawan, Sha Ine Febriyanti, Jamaludin Latif, Rudolf Puspa, Ruth Marini, Maryam Supraba (putri WS Rendra), Jarot B Darsono, dan penyanyi keroncong asal Solo, Sruti Respati.
Panembahan Reso bercerita tentang intrik perebutan takhta sebuah kerajaan yang diduduki seorang raja tua yang tak memiliki permaisuri, tetapi memiliki tiga selir. Perebutan kekuasaan itu melibatkan para pangeran putra raja, selir, dan panji (pejabat kerajaan). Perebutan takhta itu diwarnai pemberontakan, perang, pengkhianatan, pembunuhan, dan perselingkuhan.
Seno Joko Suyono, selaku produser, mengatakan, naskah Panembahan Reso pernah dipentaskan Rendra di Istora Senayan Jakarta pada 1986 dalam versi lengkap dengan durasi sekitar 7 jam. Setelah pementasan pertama itu, Panembahan Reso hingga kini tidak pernah dipanggungkan lagi. Meskipun akan disajikan lagi dalam versi padat, hal-hal utama dalam naskah itu tetap akan dipertahankan dan tidak ada satu tokoh pun yang dihilangkan.
”Seluruh latihan selama empat bulan dilakukan di wisma seni Taman Budaya Jawa Tengah di Solo. Hampir 80 persen aktornya juga dari Solo, ditambah dari Yogyakarta dan Jakarta. Kenapa aktor banyak dari Solo, karena ini memperingati WS Rendra yang lahir di Solo dan menjelang masa akhir hidupnya tinggal di Solo,” ujarnya.
Menurut Seno, selain karena sudah sangat lama tidak pernah dipentaskan, Panembahan Reso dipanggungkan lagi karena naskah itu tak lekang oleh zaman dan tetap relevan disajikan kapan pun. Panembahan Reso merefleksikan situasi kekuasaan di era sekarang. ”Inilah kontribusi besar Rendra sebagai sastrawan, mampu menangkap hal-hal esensial dari persoalan,” katanya.
Inilah kontribusi besar Rendra sebagai sastrawan, mampu menangkap hal-hal esensial dari persoalan.
Sangat rumit
Hanindawan mengakui, naskah Panembahan Reso yang memiliki total 242 halaman amat rumit untuk sebuah pertunjukan teater. Pementasan naskah utuh membutuhkan durasi 7-8 jam sehingga membutuhkan energi besar dan format khusus. Karena itu, ketika diminta menyutradarai Panembahan Reso, Hanin meminta izin kepada Ken Zuraida, istri mendiang Rendra, untuk menyunting naskah asli agar bisa dikemas menjadi pertunjukan berdurasi 2,5 jam.
Penyuntingan dilakukan, misalnya, dengan meniadakan adegan berupa dialog basa-basi ataupun bagian-bagian naskah yang repetitif. Ia menampilkan puncak-puncak adegan yang dramatis. ”Dalam pemadatan ini saya tetap bertahan pada struktur teksnya itu supaya tidak berkurang dari awal sampai akhir sehingga melihat 2,5 jam ini kita tidak kehilangan cerita serta tidak kehilangan tokoh dan visi dari teks itu sendiri,” katanya.
Hanin menggunakan pendekatan pangadegan filmis untuk mementaskan Panembahan Reso. Itu dilakukan agar daya pikat visual terjaga ketika pergantian adegan. ”Harapannya agar secara visual adegan akan mengalir sambung-menyambung sehingga bisa memikat sejak awal hingga akhir,” ujarnya.
Untuk memperkaya adegan demi adegan agar tak semata-mata menjadi drama kata-kata, Hanin dan Yessy Apriati selaku pimpinan produksi memasukkan unsur tari yang digarap koreografer Hartati. Garapan tari Hartati membuat sisi dramatik pertunjukan Panembahan Reso terasa makin kuat dan menarik.
Ken Zuraida menambahkan, penulisan naskah Panembahan Reso diawali dengan riset panjang sejak tahun 1975 hingga 1985. Naskah itu disusun Rendra pada 1985, kemudian selesai tahun 1986 dan dipentaskan pada tahun yang sama. Ketika itu, jika tidak puas dalam penulisan adegan setelah dilakukan dramatik reading, Rendra akan merobek ataupun membakar sendiri teks yang telah ditulisnya itu kemudian menuliskan ulang hingga 5-6 kali.
”Rendra menuliskannya berdasarkan kepekaan dia dalam membaca fenomena alam dan manusia sehingga saya selalu percaya naskah itu mau dibuat bentuk film atau teater ataupun tari, dia tetap akan kontekstual dan universal sekaligus,” ujarnya.
Ine mengaku tertantang memerankan karakter Ratu Dara dalam pementasan Panembahan Reso. Sebab, selama ini dirinya lebih banyak tampil monolog dalam berbagai pertunjukan. ”Monolog membuat saya lebih mudah karena bisa handle sendiri, di sini saya harus berbagi energi dengan rekan-rekan lain,” ujarnya.
Sementara Auri Jaya, produser Panembahan Reso, mengutarakan, pementasan teater saat ini menghadapi tantangan zaman, yaitu menjadikannya tontonan menarik bagi masyarakat, terutama kalangan milenial. Karena itu, pementasan Panembahan Reso juga dikemas agar bisa menarik kaum milenial. Untuk itu, garapan Panembahan Reso melibatkan banyak pemain berusia muda.