Praperadilan Nurhadi Ditolak, Kini KPK Hadapi Tantangan Pembuktian
Gugatan praperadilan yang diajukan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman ditolak. KPK menjadikan putusan itu sebagai landasan dalam menghadapi potensi praperadilan di tengah berlakunya UU No 19/2019.
JAKARTA, KOMPAS — Gugatan praperadilan yang diajukan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman sudah ditolak. Tantangan kini berada pada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membuktikan kasus dugaan mafia peradilan yang diduga melibatkan Nurhadi.
Di sisi lain, KPK juga menjadikan putusan praperadilan ini sebagai pijakan kelembagaan untuk menghadapi kemungkinan praperadilan serupa di tengah berlakunya Undang-Undang (UU) KPK hasil revisi, yakni UU Nomor 19 Tahun 2019.
Pada Selasa (21/1/2020), hakim tunggal Akhmad Jaini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak semua permohonan praperadilan yang diajukan Nurhadi, menantu Nurhadi, yakni Rezky Herbiyono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto.
”Mengadili menolak praperadilan yang diajukan pemohon untuk seluruhnya dan membebankan biaya perkara kepada pemohon,” ujar Jaini.
Sejumlah poin yang diajukan kuasa hukum ketiga pemohon ini dikesampingkan hakim sehingga penetapan tersangka ketiganya tetap sah dan pemeriksaan perkara dapat berlanjut.
Dalam poin permohonan yang diajukan, sebagian menyinggung tentang beberapa klausul yang berlaku dalam UU No 19/2019 tentang KPK. Hal ini antara lain terkait status penyelidik dan penyidik yang semestinya merupakan aparatur sipil negara (ASN) seperti yang tertuang dalam UU KPK hasil revisi.
Baca juga: KPK Bongkar Mafia Hukum
Terkait hal tersebut, Jaini sependapat dengan saksi ahli yang dihadirkan KPK beberapa waktu lalu, yakni Riawan Tjandra dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Disampaikan bahwa UU KPK yang baru itu juga memuat masa peralihan pegawai KPK yang termasuk penyelidik dan penyidik di dalamnya selama dua tahun untuk kemudian diangkat sebagai ASN seperti yang tertuang dalam Pasal 69 C UU No 19/2019.
Dengan demikian, Novel Baswedan dan Rizka Anungnata yang bertugas sebagai penyidik dalam perkara ini tetap sah melakukan penyidikan. Begitu pula hasil penyelidikan yang dikerjakan oleh tim. Di sisi lain, status penyidik independen juga dibenarkan karena KPK berhak mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri.
Selanjutnya, mengenai status pimpinan yang tak lagi disebut sebagai penyidik dan penuntut umum pada UU KPK hasil revisi itu, Jaini kembali mengacu pada keterangan Riawan dan berkas yang disampaikan oleh KPK. Dalam berkas surat perintah penyidikan tertanggal 6 Desember 2019, diketahui ditandatangani oleh Direktur Penyidikan RZ Panca Putra selaku penyidik atas nama pimpinan.
Hal ini tak menjadi masalah mengingat posisi jabatan deputi dan direktur berada di bawah pimpinan. Persoalan penyerahan mandat yang sempat dilakukan tiga pimpinan, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang, pada 13 September 2019 juga dinilai tidak sah karena hanya sebatas pernyataan di media tanpa ada surat resmi berisi persetujuan bahwa ketiga unsur pimpinan KPK itu mundur.
”Hakim sependapat dengan hal itu sehingga pengunduran diri seperti itu tidak sah karena tidak ada pernyataan tertulis yang diajukan dan SK (surat keputusan) dari Presiden. Statusnya pun masih menjadi pimpinan dan berhak memberikan perintah kepada jajaran di bawahnya untuk menandatangani surat perintah tersebut,” tutur Jaini.
Adapun terkait alat bukti yang tak relevan karena tidak masuk dalam kategori dugaan suap, Jaini menilai hal itu telah masuk materi pokok perkara dan tidak masuk ranah praperadilan sehingga harus dikesampingkan.
Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Nurhadi menyatakan menghormati putusan hakim tersebut. Ia juga mengaku akan fokus pada pokok perkara yang bergulir setelah putusan praperadilan ini. ”Karena tadi disampaikan sudah masuk materi pokok perkara, kami akan melawan nanti di pengadilan dan membuktikan,” kata Maqdir.
Menjadi pijakan
Evi Laila Kholis dari Biro Hukum KPK menyatakan, putusan praperadilan dapat menjadi pijakan bagi lembaganya. Sebab, keberadaan undang-undang baru saat ini membuat langkah pro yustisia yang dilakukan berpotensi rawan dipraperadilkan.
”Sejumlah poin seperti status ASN dan status pimpinan sudah dijawab dalam praperadilan ini sehingga menjadi acuan nantinya,” ujar Evi.
Secara terpisah, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Oce Madril menyampaikan, dengan adanya putusan praperadilan itu, ujiannya kini beralih pada KPK untuk sungguh-sungguh membongkar mafia peradilan. Upaya menghadirkan Nurhadi dan upaya pembuktian nantinya menjadi hal yang penting dalam perjalanan kasus ini.
”Putusan ini patut diapresiasi. Ada isu teknis yang dipersoalkan dalam undang-undang baru telah dijawab di praperadilan. Putusan ini juga menunjukkan prosedur hukum dan teknisnya legal, sah, dan tidak bertentangan dengan undang-undang, termasuk undang-undang KPK yang baru. Ini modal kuat bagi KPK untuk melanjutkan perkara,” kata Oce.
Atas dasar ini, KPK sebaiknya tidak menunda untuk mengajukan perkara ini ke pengadilan. Dengan catatan, perumusan dakwaan dan pengumpulan alat bukti dilakukan dengan sangat hati-hati sehingga kuat diuji di persidangan pokok perkara. Upaya untuk menghadirkan juga penting, bahkan dapat dilakukan upaya paksa jika sudah tiga kali tak hadir memenuhi panggilan.
”Tidak ada pilihan lain bagi pimpinan saat ini untuk segera melanjutkan. Segala pertanyaan tentang prosedur sudah dijawab di praperadilan. Kalau kemudian pimpinan menahan perkara ini atau jalan perkara ini terkendala, tentu akan menjadi pertanyaan besar dan menjadi catatan kinerja mengingat ini adalah kunci untuk membongkar kasus mafia peradilan,” tutur Oce.
Seperti diketahui, Nurhadi mangkir dari panggilan KPK sebanyak tiga kali saat dirinya telah berstatus tersangka, yakni pada 20 Desember 2019, 3 Januari 2020, dan 9 Januari 2020. Nurhadi pernah datang memenuhi panggilan saat berstatus saksi untuk Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution pada 2016 dan untuk Eddy Sindoro pada 2018.
Kasus dugaan korupsi ini bermula dari penangkapan terhadap bekas panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution pada 2016. Akhirnya pada 16 Desember 2019, KPK mengumumkan Sekretaris Mahkamah Agung periode 2011-2016 Nurhadi sebagai tersangka melalui surat perintah penyidikan tertanggal 6 Desember 2019. Nurhadi melalui Rezky diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) dan gratifikasi Rp 12,9 miliar untuk mengurus perkara perdata, baik di tingkat pengadilan pertama maupun pengadilan tinggi hingga MA, dalam tahun yang berbeda.