Di tengah banyak daerah lain telah memasuki musim hujan, ratusan keluarga di Desa Lambadeuk, Lambaro Neujid, dan Lamteungoh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, sejak lima bulan terakhir mengalami krisis air bersih.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
JANTHO, KOMPAS — Di tengah banyak daerah lain telah memasuki musim hujan, ratusan keluarga di Desa Lambadeuk, Lambaro Neujid, dan Lamteungoh, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, sejak lima bulan terakhir mengalami krisis air bersih. Warga berharap Pemerintah Kabupaten Aceh Besar membantu menyediakan air bersih.
Kepala Desa Lambaro Neujid Muhammad Jamal, Selasa (21/1/2020), menuturkan, warga mulai mengalami kekurangan sumber air bersih sejak setahun lalu. Namun, dalam lima bulan terakhir, kondisinya semakin parah. Musim kemarau yang panjang, kata Jamal, membuat sumur warga kering dan debit air di embung menurun.
Selama ini, kebutuhan air bersih diambil dari sumur dan dipasok dari Embung Lambadeuk, yang berada di perbatasan Desa Lambadeuk dengan Lambaro Neujid. Namun, sejak lima bulan lalu, embung tidak lagi dapat mengalirkan air ke rumah warga akibat debit airnya menurun drastis.
Karena yang ambil air di sumur ini ramai, jadinya kering sehingga harus tunggu sampai satu jam baru airnya keluar lagi.
Jamal menuturkan, beberapa sumur warga masih mengeluarkan air bersih meski debitnya minim. Sebanyak 225 keluarga di desa itu kini mengandalkan sumur tersebut untuk memenuhi kebutuhan air. Mereka harus antre menunggu giliran menimba air dari sumur. Dengan menggunakan ember, jeriken, dan galon, air bersih diangkut ke rumah masing-masing.
Muliana (30), warga Lambaro Neujid, menuturkan, setiap hari seusai shalat Subuh, dirinya mengangkut air dari sumur yang berjarak 300 meter dari rumahnya. Terkadang, dia harus menunggu sampai satu jam untuk bisa menimba air. ”Karena yang ambil air di sumur ini ramai, jadinya kering sehingga harus tunggu sampai satu jam baru airnya keluar lagi,” katanya.
Air dari sumur yang terletak di tengah kampung itu jernih. Air tersebut digunakan untuk minum, masak, mandi, dan mencuci pakaian. ”Kami berharap pemerintah memasok air bersih,” kata Muliana.
Warga Lambadeuk, Muarif (20), harus mengangkut air sejauh 1 kilometer untuk kebutuhan sehari-hari. Jeriken air bersih diangkut menggunakan gerobak dorong.
Kekeringan juga berdampak pada aktivitas pertanian. Sawah tidak bisa digarap karena tidak ada air. Sudah setahun sawah dibiarkan terbengkalai. Tanah sawah terlihat kerontang dan retak. ”Sawah ibu saya juga tidak bisa digarap lagi. Kemarin sempat tanam jagung, tapi kering,” kata Muarif.
Jamal mengatakan, warga kini hidup dalam kesulitan. Mereka harus membeli beras lantaran sawah tidak bisa digarap. Bahkan, untuk menanam tanaman lain, seperti cabai dan jagung, juga tidak bisa lantaran tanahnya sangat kering.
Embung Lambadeuk mengalami penurunan debit air yang mencapai 7 meter dari ketinggian batas air sebelumnya. Tanah di waduk retak-retak dan mulai tumbuh semak belukar.
Embung Lambadeuk dibangun pada 2013. Embung itu awalnya menjadi andalan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih bagi beberapa desa sekitar dan sumber air untuk lahan pertanian. Embung Lambadeuk berada pada cekungan di antara kaki bukit sehingga dapat menangkap limpasan air hujan. Luas daerah aliran sungai embung itu mencapai 2,72 kilometer persegi.
Direktur Perusahaan Air Minum Tirta Mountala Kabupaten Aceh Besar Sulaiman menuturkan, akibat debit air di embung menyusut, pengoperasian mesin dari biasanya 20 jam per hari dikurangi menjadi 4 jam sehari. PDAM Tirta Mountala menggunakan embung itu sebagai sumber air baku.
Dampak turunnya debit, tidak semua dari 1.600 pelanggan mereka memperoleh pasokan air bersih. ”Kami sedang mendata desa-desa yang ada tempat penampungan, nanti kami akan pasok air ke sana,” kata Sulaiman.