Papua menghadapi ancaman kerusakan ekologi akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Degradasi lingkungan mengancam kehidupan masyarakat asli Papua.
Oleh
FABIO COSTA/ AGNES THEODORA/INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Papua menghadapi ancaman kerusakan ekologi yang nyata akibat pembiaran eksploitasi sumber daya alam dan gencarnya pembangunan infrastruktur. Kerusakan ekologi tersebut dapat memengaruhi keberlanjutan hidup masyarakat lokal yang sebagian besar bergantung pada alam.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk “Papua, Benteng Ekologi Terakhir Tanah Air”, Rabu (22/1/2020), di Menara Kompas, Jakarta. Diskusi ini merupakan rangkaian awal Ekspedisi Tanah Papua 2020. Ekspedisi Bertema “Manusia dan Ekologi” merupakan hasil kerja sama Harian Kompas dan Yayasan Econusa.
Hadir sebagai pembicara mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Manuel Kaisiepo, Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Pedesaan Bappenas Velix Wanggai, dan Guru Besar Kehutanan Universitas Gadjah Mada San Afri Awang. Selain itu, ada juga anggota Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Pamungkas dan Ketua Bidang Riset dan Pendidikan Papua Center Unversitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto.
Selaku tuan rumah hadir Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Rikard Bagun, Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy. Hadir pula Direktur Yayasan Econusa Bustar Maitar beserta jajaran.
Manuel Kaisiepo menjelaskan, terdapat hal yang paradoks dalam menyikapi kondisi lingkungan di Papua, baik itu di Provinsi Papua maupun Papua Barat. Di satu sisi, semua pihak bersuara tentang perlunya menjaga kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Bahkan, Indonesia turut meratifikasi berbagai konvensi internasional terkait ekologi.
“Tetapi di sisi lain, ada pembiaran terhadap praktik-praktik bisnis yang merusak lingkungan hidup, menimbulkan kerusakan hutan, dan menguras sumber daya alam. Kita mengingkari asas keberlanjutan yang sudah kita ratifikasi,” kata tokoh asal Papua tersebut.
Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luasan hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2015 sekitar 38,1 juta hektare (ha), merosot dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 42 juta ha. Pada 2011, data Greenpeace menyebutkan, laju deforestasi di Papua mencapai 143.680 ha per tahun sedangkan di Papua Barat mencapai 293 ribu ha per tahun.
Menurut Manuel, yang paling mengkhawatirkan dari eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan adalah dapat mengancam eksistensi masyarakat setempat. Sebab, kehidupan masyarakat asli Papua sangat bergantung dengan alam. Sebagian dari mereka masih menganut ekonomi subsisten yakni cara hidup yang sebatas memenuhi kebutuhan sendiri.
Masyarakat yang tradisional dan subsisten ini, kata Manuel, sudah pasti kalah saat dihadapkan dengan sistem ekonomi pasar yang kompetitif. Mereka yang tidak bisa bersaing dengan pendatang akan tersingkir dan terpinggirkan.
Kekayaan alam di Papua juga terus mengundang pedagang, pelaku bisnis, dan investor. Kehadiran pelaku bisnis memang dapat mendatangkan lapangan pekerjaan. Namun, di sisi lain, keberadaan industri terutama perkebunan sawit dan pertambangan juga berimplikasi pada alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan. “Mestinya sumber daya alam itu adalah berkah, tetapi yang terjadi malah bencana,” ujar Manuel.
Semiarto Aji Purwanto menjelaskan, masuknya industri besar ke Papua turut mengubah tatanan sistem ekonomi lokal. Di hadapan ancaman industri, masyarakat tradisional berpotensi punah. Oleh sebab itu, pemerintah wajib melindungi mereka.
Di sisi lain, masyarakat lokal juga tinggal di wilayah dengan daya dukung lahan rendah. Kajian Pengaman Pembangun Pulau Papua (2017-2019) yang dilakukan San Afri Awang menunjukkan, dari 16 kabupaten yang mayoritas dihuni masyarakat lokal, sebanyak enam daerah rendah daya dukung lahannya. Kabupaten itu adalah Jayawijaya, Supiori, Deiyai, Tolikara, Lanny Jaya, dan Nduga yang rata-rata berada di kawasan pegunungan tengah.
Awang menjelaskan, daerah dengan daya dukung rendah adalah lahan yang tersedia untuk pangan tidak sebanding dengan jumlah penduduk. Artinya penduduk banyak sementara ketersediaan lahan untuk pangan terbatas.
Menurutnya, hal ini lantaran kontur wilayah itu memang ekstrem dan tak bisa menjadi sumber pangan. Solusinya adalah membuka akses transportasi ke wilayah itu. Namun, keamanan yang tak menentu jadi kendala.
Cahyo Pamungkas berpendapat, pembangunan infrastruktur berskala besar seperti Jalan Trans-Papua tidak terlalu bermanfaat bagi masyarakat setempat. Pembangunan Trans-Papua justru memunculkan deforestasi dan ketergantungan masyarakat pada barang hasil produksi dari luar daerah.
Pendekatan pembangunan cukup berskala kecil atau dengan perspektif Melanesia. Misalnya, infrastruktur jalan yang dapat menghubungkan masyarakat dari kampung ke pusat distrik atau kabupaten, sehingga mereka bisa mendapat layanan publik dan memasarkan produk lokal miliknya.
“Pembangunan Trans-Papua membantu konektivitas antardaerah dan pergerakan warga serta komoditas. Namun, jalan ini memfasilitasi narkoba dan minuman keras. Kesimpulannya, fasilitas ini belum berperan memelihara perdamaian dan keamanan di tanah Papua, ” tutur Cahyo.
Velix Wanggai menyatakan, pemerintah pusat dalam tahapan transisi untuk merencanakan pembangunan Papua dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah lima tahun ke depan. Pembangunan diprioritaskan dengan strategi berbasis lingkungan, perubahan iklim dan mitigasi bencana.
Tiga poin penting ini masuk dalam prioritas pembangunan nasional. Sektor ekonomi pembangunan kawasan pariwisata dan kawasan ekonomi harus berdasarkan aspek lingkungan, perubahan iklim dan mitigasi bencana.
Menurut Velix, pemerintah juga akan merevisi Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat supaya pembangunan tidak hanya fokus pada tujuh wilayah adat, tetapi mengacu pada zona ekologi di Papua. Sebagai gambaran, di wilayah adat Animha atau Selatan Papua, akan diprioritaskan komoditas sagu dan padi sesuai kondisi ekologinya.