Empat Tahun Belum Cukup untuk Pulihkan Lahan Gambut
›
Empat Tahun Belum Cukup untuk ...
Iklan
Empat Tahun Belum Cukup untuk Pulihkan Lahan Gambut
Badan Restorasi Gambut menghadapi persoalan yang kompleks. Salah satunya, tanggung jawab pemerintah yang hanya terbatas mengelola lahan gambut di kawasan nonkonsesi.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Waktu empat tahun dinilai belum cukup bagi Badan Restorasi Gambut memulihkan kerusakan pada lahan gambut. Selain karena kondisi kawasan hidrologis gambut yang kompleks, pemulihan lahan gambut membutuhkan waktu puluhan tahun.
Hingga 2019, lahan gambut yang telah direstorasi oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) seluas 509.709 hektar. Sementara lahan yang telah direstorasi hasil koordinasi dengan mitra hingga 2018 seluas 268.472 hektar. Jadi, total lahan yang direstorasi setidaknya seluas 778.181 hektar. Lahan yang direstorasi itu berada di tujuh provinsi.
Capaian ini masih jauh dari target restorasi BRG pada 106 kawasan hidrologis gambut (KHG) seluas 2.676.601 hektar. Luasan ini meliputi 1.784.353 hektar lahan konsesi dan 892.248 hektar lahan nonkonsesi. Dalam menentukan target restorasi gambut, lokasi yang pernah terbakar menjadi salah satu rujukan BRG. Penentuan lainnya berdasarkan informasi mengenai tutupan lahan terbaru dan masukan masyarakat.
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna A Safitri mengungkapkan, waktu empat tahun belum cukup bagi BRG untuk mencapai target pemulihan lahan gambut. Sebab, proses restorasi membutuhkan waktu yang lama. Belum lagi kondisi KHG yang cukup kompleks.
”Jepang saja butuh waktu 10 tahun untuk merestorasi 300 hektar lahan gambut mereka. Setiap tahun, lapisan gambut kita hanya bertambah 0-3 milimeter,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Salah satu kompleksitas itu, menurut dia, tanggung jawab pemerintah yang hanya terbatas mengelola lahan gambut di kawasan nonkonsesi. Adapun untuk kawasan konsesi, pengelolaannya menjadi tanggung jawab pemilik lahan. Pengawasan harus dilakukan oleh pemberi lahan.
Persoalan muncul karena proses pembasahan gambut idealnya mengacu pada suatu KHG. Faktanya, tidak jarang satu KHG dikelola oleh lebih dari satu pemilik konsesi dan melintas di beberapa wilayah administrasi.
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut, dijelaskan bahwa BRG bertugas mengoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut pada tujuh provinsi. Namun, menurut Myrna, BRG tidak berwenang mengawasi pemeliharaan di lahan konsesi.
”Di Pasal 3H dijelaskan bahwa kami hanya bisa melakukan supervisi. Dalam hal ini, supervisi yang dimaksud adalah memberikan edukasi dan sosialisasi berupa bimbingan teknis,” ujarnya.
Tidak jarang, pembangunan infrastruktur pembasahan gambut (IPG) seperti sekat kanal atau sumur bor tidak dapat dilaksanakan karena lokasi target ternyata merupakan lahan konsesi baru. Pembangunan IPG menggunakan APBN hanya bisa dilakukan di lahan nonkonsesi.
Pada 2020, BRG akan melakukan antisipasi dan percepatan pemasangan IPG di beberapa provinsi. Selain itu, kualitas IPG akan dicek dan dipelihara. Dalam hal ini, pemerintah daerah juga akan mendapatkan sokongan dana untuk melakukan operasi cepat pembasahan.
Evaluasi revitalisasi
Sementara itu, Manajer Program Save Our Borneo Muhammad Habibi menilai, BRG perlu mengevaluasi kegiatan revitalisasi yang mereka lakukan di lapangan. Selama ini masyarakat menyebutkan menemukan pemasangan sumur bor dan penyekatan kanal yang tidak tepat.
”Harusnya pipa terpasang hingga kedalaman 20 meter, tapi ada yang menemukan pipa 4 meter dipotong menjadi dua,” katanya.
Sejauh ini masih terbatas pada membangun. Perawatan juga perlu diperhatikan agar bisa dimanfaatkan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Myrna mengatakan, IPG tidak seluruhnya dibuat oleh BRG sehingga standarnya berbeda-beda. Ada beberapa sumur bor yang dibangun pihak perguruan tinggi, misalnya. Selain itu, ada pula sekat kanal yang dibuat oleh masyarakat.
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya menambahkan, berdasarkan pengamatan di lapangan, terbukti desain restorasi yang dicanangkan BRG masih belum sempurna. Salah satu yang disorotinya terkait perawatan IPG. ”Sejauh ini masih terbatas pada membangun. Perawatan juga perlu diperhatikan agar bisa dimanfaatkan masyarakat,” ucapnya.
Teguh menyadari bahwa BRG memiliki keterbatasan. Namun, hal itu bisa diatasi dengan kolaborasi dengan banyak pihak. Ia meyakini, jika masyarakat sipil diajak untuk memberikan masukan, kerja restorasi bisa lebih cepat.
Penanganan kebakaran
Persoalan lainnya terkait kebakaran lahan gambut. Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Henda, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Wideni menilai, penanganan kebakaran pada 2019 terkesan lamban. Di Desa Tanjung Taruna, misalnya, lahan yang awalnya hanya terbakar 5-10 hektar dalam sebulan meluas menjadi 1.000 hektar.
”Kami paham, mungkin ada aturan dari lembaga sehingga tidak langsung turun. Ini hanya masalah bagaimana kita merespons sedini mungkin,” ujarnya.
Direktur Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Johny Sumbung mengatakan, penanganan saat titik api mulai muncul harusnya segera ditangani pemerintah daerah. Meski begitu, BNPB sudah mengingatkan tentang ancaman tersebut berdasarkan informasi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Namun, belajar dari pengalaman pada 2019, BNPB tidak akan lagi menunggu muncul api untuk bertindak. Ke depan, BNPB akan menerjunkan tim untuk menyurvei potensi kebakaran menggunakan pesawat nirawak. Dari situ, kegiatan pembasahan akan dilakukan.
”Kesepakatan dengan masyarakat agar terlibat menjaga lahan juga terus didorong. Mereka akan diajari menanam vegetasi yang memberi manfaat ekonomis,” katanya.