Harimau sumatera yang terperangkap di Desa Pelakat, Kecamatan Semendo Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Selasa (21/1/2020), telah dievakuasi ke Tambling Wildlife Nature Conservation di Lampung.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Harimau sumatera yang terperangkap di Desa Pelakat, Kecamatan Semendo Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Selasa (21/1/2020), telah dievakuasi ke Tambling Wildlife Nature Conservation di Lampung. Di sana, harimau akan menjalani beragam tahapan sebelum dilepasliarkan.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Lahat Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumsel Martialis Puspito, Rabu (22/1/2019), mengatakan, harimau itu sudah berada di Lampung dan akan menjalani serangkaian proses pemulihan dengan pengawasan tim kesehatan. ”Harimau tersebut masih dalam pemantauan para pakar,” katanya.
Martialis mengatakan, dalam proses evakuasi, harimau tersebut dibawa dari Muara Enim pada Selasa pukul 16.00 dan tiba di Lampung pada Rabu pukul 02.30. Dari Lampung, harimau kembali diterbangkan ke Tambling, Rabu pukul 09.00.
Kami ingin memastikan, harimau yang terperangkap adalah yang berkonflik dengan manusia selama ini.
Dia menerangkan, walau harimau telah dievakuasi, patroli di sejumlah daerah rawan masih tetap dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya konflik baru antara manusia dan harimau. ”Kami ingin memastikan, harimau yang terperangkap adalah yang berkonflik dengan manusia selama ini,” katanya.
Martialis mengatakan, pemasangan jebakan didasari pada pergerakan harimau yang mengarah ke selatan. Sebelumnya, untuk memantau pergerakan harimau, pihaknya sudah memasang 24 kamera jebakan. Namun, tidak ada satu pun kamera yang menangkap pergerakan harimau.
Mengembalikan ekosistem
Terpisah, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berharap, terperangkapnya harimau ini dapat mengembalikan ketenangan masyarakat untuk beraktivitas kembali. ”Saya harap warga tidak merasa takut lagi untuk berkebun,” katanya.
Akibat konflik satwa ini, kunjungan pariwisata di Kota Pagar Alam turun hingga 80 persen. ”Itu baru satu harimau, bagaimana kalau tujuh harimau, bisa tutup semua,” kata Herman.
Herman menuturkan, munculnya konflik ini disebabkan terputusnya mata rantai harimau. Babi hutan dan rusa, mangsa alami harimau, hampir habis diburu manusia. Hal inilah yang membuat harimau mencari makan hingga keluar kawasan hutan lindung.
Herman mengimbau agar ada pemetaan untuk memastikan kawasan mana yang menjadi ekosistem satwa supaya kehidupan mereka tidak terganggu. Herman berharap masyarakat menjadi ”polisi” di wilayahnya sendiri, terutama untuk menjaga hutan agar tidak dirambah.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto mengatakan, upaya rehabilitasi lahan kritis terus dilakukan. Untuk tahun 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah merehabilitasi 17.000 hektar. Sebanyak 2,5 juta bibit tanaman juga dibagikan kepada masyarakat.
Pandji mengatakan, upaya pemerintah untuk mengembalikan ekosistem harimau tidak hanya terkait tempatnya, tetapi juga menjaga kelestarian satwa mangsa harimau.
Selain itu, ujar Pandji, pihaknya akan berkoordinasi dengan Direktorat Penegakan Hukum KLHK untuk mencegah aktivitas ilegal di dalam kawasan hutan lindung. Dirinya mengakui, pengawasan di hutan lindung tidak optimal. Personel polisi hutan di Sumsel hanya berjumlah 85 orang. Padahal, luas kawasan hutan mencapai 3,46 juta hektar. Idealnya dibutuhkan 600 personel polisi hutan.