JAKARTA, KOMPAS— Kawasan Indo-Pasifik menawarkan aneka peluang kerja sama sekaligus risiko antarnegara di kawasan ataupun dengan negara-negara adidaya di dunia. Diperlukan sistem mitigasi untuk mengurangi risiko keamanan terburuk yang bisa muncul berupa perang terbuka ataupun tertutup melalui penggunaan teknologi mutakhir di Indo-Pasifik.
Hal itu mengemuka dalam sesi kuliah umum Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dinamika Regional di Jakarta, Selasa (21/1/2020). Hadir sebagai pembicara, yakni Profesor Departemen Studi-studi Pertahanan King’s College London, Inggris, Geoffrey Till. Kegiatan itu dipandu salah satu peneliti CSIS, Gilang Kembara.
Till menyatakan, perubahan konteks atas satu kawasan mengubah lanskap sekaligus cara pandang. Hal itu tersaji di kawasan Indo-Pasifik, dengan menyebut perubahan-perubahan sikap sejumlah negara dalam memandang dan merespons dinamika di Indo-Pasifik. Dari situ, pengaruh itu pun meluas seiring dengan perkembangan teknologi, sistem keamanan, hingga kemungkinan konflik.
”Ada korelasi kekuatan-kekuatan baru, kompetisi negara- negara adidaya. Negara-negara yang tergolong baru pun tertarik dengan Indo-Pasifik, sebut saja Rusia, Australia, Jepang, dan negara-negara Eropa lain,” kata Till.
Dinamika-dinamika terus berkembang terkait Indo-Pasifik. Negara-negara pun memiliki agenda sekaligus rencana-rencana pengembangan, pemanfaatan, hingga antisipasi keamanan. Till menyebut bahwa aneka rencana militer pun disiapkan negara-negara terkait dinamika di Indo-Pasifik. Dari situ berkembang pula strategi baru yang dikontekskan dengan dinamika kawasan tersebut. ”Skenario terburuknya terkait analisis risiko adalah kondisi perang,” kata Till.
Dalam bukunya, Seapower: A Guide for the Twenty-First Century (2009), Till menyatakan, laut selalu menjadi pusat pembangunan manusia sebagai sumber daya, sebagai alat transportasi, pertukaran informasi, dan dominasi strategis. Hal itu menjadi dasar bagi kemakmuran dan keamanan warga dunia. Namun, laut juga kerap kali menjadi sumber masalah, termasuk dalam dinamika sistem perdagangan dunia yang semakin mengglobal.
Till menyebut faktor geografi sebagai pendorong kekuatan maritim, dalam arti geografi sebagai indikator kedaulatan dan kinerja. Sumber potensi sekaligus kerentanan satu kawasan —dalam hal ini Indo-Pasifik—ikut ditentukan oleh seberapa kuat negara-negara mempertahankan pulau dari serangan yang tidak terduga.
Dampak-dampak terkait perkembangan dan pengembangan teknologi baru pun saling diantisipasi negara-negara yang berkepentingan. Dinyatakan bahwa terdapat hubungan konstan antara sistem militer dan sumber daya di satu kawasan.
Till mengambil contoh tentang kesadaran Jepang dan juga Australia terhadap Indo-Pasifik. Jepang belakangan sadar pentingnya sebuah kawasan atau pulau dari kemungkinan pengaruh negara lain, sebutlah China. Jerman butuh waktu 20-30 tahun untuk mengembangkan sistem kemaritiman yang prima, termasuk dalam keamanan dan pertahanan laut.
Disebutkan, salah satu contoh pengembangan yang prima dan berkesinambungan adalah Belanda. Till menilai Indonesia cukup terlambat menyadari potensi kemaritiman. Menurut dia, potensi kemaritiman dan antisipasi terkait keamanan tak semata berada dalam upaya melindungi sektor perikanan.
”Signifikansi strategis pulau-pulau itu ambivalen. Perubahan iklim, misalnya, memaksa negara-negara bekerja sama, tetapi hal itu bisa berbahaya karena konflik bisa mengemuka ketika berkaitan dengan sumber dayanya,” kata Till. (BEN)