Oleh sebagian politisi, pemerintah dianggap hendak menaikkan harga elpiji dan menyerahkan harga pada mekanisme pasar. Rencana penertiban subsidi sejatinya untuk menyelamatkan uang subsidi agar benar-benar tepat sasaran.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Ada yang salah nalar soal rencana penertiban subsidi elpiji 3 kilogram oleh pemerintah. Pemerintah dipandang hendak menaikkan harga elpiji tersebut dan dinilai melanggar konstitusi apabila rencana itu diwujudkan. Kenapa hendak menertibkan penyaluran subsidi justru dianggap melanggar undang-undang?
Awalnya adalah elpiji 3 kilogram yang disubsidi negara dijual bebas dengan harga berkisar Rp 16.000-20.000 per tabung. Sejak diluncurkan sebagai program konversi minyak tanah ke gas di 2007, harga elpiji yang di masyarakat dikenal dengan istilah "gas melon" itu tak pernah berubah. Tujuan konversi adalah mengurangi beban subsidi penggunaan minyak tanah, yang komposisinya 99 persen mirip dengan avtur untuk pesawat terbang, dengan menggantinya menggunakan elpiji.
Barang bersubsidi sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat miskin, persis seperti tulisan yang tercantum pada tabung gas elpiji berwarna hijau tersebut. Sayangnya, tak hanya si miskin yang membeli, masyarakat tergolong mampu dan kaya pun tak mau kalah, mereka turut memborongnya.
Dari sejumlah temuan tim gabungan pemerintah dan PT Pertamina (Persero) di lapangan, masyarakat pemilik mobil, tinggal di perumahan kelas menengah sampai mewah, termasuk rumah makan besar, kedapatan membeli tabung gas bersubsidi tersebut.
Tahun ini, kuota elpiji bersubsidi sekitar 7 juta ton. Dari jumlah tersebut, separuhnya harus diimpor oleh Pertamina lantaran produksi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan konsumsi elpiji yang tiap tahun terus naik. Nilai subsidi elpiji tahun ini diperkirakan hampir Rp 51 triliun. Bukan angka yang kecil.
Nah, lantaran nilai subsidinya sangat besar dan tak seluruhnya benar-benar tepat sasaran untuk masyarakat miskin, pemerintah berupaya menertibkannya. Caranya adalah dengan mengalihkan subsidi yang semula diberikan pada barang (harga jualnya murah), selanjutnya diberikan langsung kepada masyarakat yang masuk kategori miskin. Dengan demikian, harga jual elpiji 3 kilogram yang disubsidi disesuaikan dengan harga elpiji non subsidi.
Di sinilah persoalannya. Oleh sebagian politisi di DPR, pemerintah dianggap hendak menaikkan harga elpiji dan menyerahkan harganya pada mekanisme pasar. Menyerahkan harga komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak dianggap pelanggaran konstitusi. Sesungguhnya, bukan di situ letak persoalannya.
Harga elpiji 3 kilogram yang nanti disesuaikan dengan harga nonsubsidi akan tetap terjangkau oleh masyarakat miskin yang memang berhak disubsidi. Sebab, mereka akan membelinya dengan harga subsidi atau dengan uang yang diberikan negara secara langsung kepada mereka untuk membeli elpiji 3 kilogram tersebut. Skema pembeliannya belum diputuskan, tetapi dipastikan bahwa masyarakat yang tak masuk kategori penerima subsidi harus membeli elpiji tersebut dengan harga non subsidi.
Menurut hitungan pemerintah, apabila pengendalian subsidi ini diterapkan mulai Januari 2020, diperkirakan nilai subsidi elpiji yang bisa dihemat bisa mencapai 30 persen. Dengan asumsi realisasi subsidi elpiji 2020 hampir Rp 51 triliun, maka penghematan itu setara dengan Rp 15 triliun per tahun.
Dengan kata lain, potensi penyelewengan subsidi elpiji bisa sebesar Rp 15 triliun! Per tahun pula. Nilai ini melebihi kasus megakorupsi yang pernah ada di Indonesia.
Jadi, rencana penertiban subsidi ini bukan untuk menambah beban masyarakat, tetapi untuk menyelamatkan uang negara agar penyaluran dana subsidi benar-benar tepat sasaran.
Apalagi, Indonesia bukanlah negara dengan uang yang melimpah-ruah sehingga bisa berbuat royal untuk rakyatnya. Penertiban subsidi sangat strategis di tengah beban finansial negara yang masih terseok-seok.
Apa kita rela uang subsidi yang dikumpulkan dari pajak dinikmati orang kaya pemilik mobil mewah? Apa kita ikhlas uang subsidi yang seharusnya untuk rakyat miskin turut diambil oleh orang kaya di perumahan mewah? Apa kita akan tutup mata uang subsidi disalahgunakan oleh para pemburu rente?
Sudah banyak kita dengar dan lihat praktik pengoplosan gas oleh pihak tak bertanggung jawab untuk mengambil untung. Gas dari tabung elpiji 3 kilogram dicampur untuk mengisi gas pada tabung elpiji 12 kilogram. Kemudian, gas tersebut dijual dengan harga non subsidi. Pengoplos meraup untung lantaran membeli gas dengan harga murah bersubsidi dan menjualnya dengan harga non subsidi.
Praktik pengoplosan dan semacamnya di atas sama saja dengan perampokan uang negara. Apa kita masih rela?