Mahkamah Konstitusi Thailand membebaskan tokoh oposisi dari dakwaan penistaan terhadap keluarga kerajaan. Keputusan itu dinilai melindungi partai oposisi dari dakwaan sejenis.
Oleh
KRIS MADA
·2 menit baca
BANGKOK, SELASA—Mahkamah Konstitusi memutuskan pengurus Partai Masa Depan Maju (FFP) tak melawan keluarga kerajaan. ”Terdakwa tak melakukan apa pun secara sengaja untuk menjatuhkan monarki konstitusional,” demikian isi keputusan yang dibacakan salah satu anggota majelis hakim, Taweekiat Meenakanit, Selasa (21/1/2020).
Dalam amar putusan, majelis juga meminta FFP mengubah anggaran dasarnya. Bagian yang harus diubah adalah ”prinsip demokrasi sesuai konstitusi” jadi ”sistem demokrasi dengan raja sebagai kepala negara”.
Majelis hakim menilai partai dan pengurusnya tidak berniat menghina raja. Aduan terhadap partai itu, yang disampaikan Nathaporn Toprayoon, dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Dalam berkas pengaduannya, Nathaporn menuding FFP menggunakan simbol iluminati. Kelompok itu dinyatakan sebagai pergerakan rahasia yang bertujuan menggulingkan pemerintahan di banyak negara. ”Mulai sekarang, sulit bagi lawan politik untuk menyusahkan partai dengan tuduhan menggulingkan monarki konstitusional,” kata pengajar ilmu politik Universitas Thammasat, Prajak Kongkirati, seraya menyebut keputusan itu menjadi tameng bagi partai lain.
”Dakwaan ini harus ditolak sejak awal,” kata Sekretaris Jenderal FFP Piyabutr Saengkanokku.
Sejumlah pihak mengingatkan, FFP tetap terancam bubar setelah keputusan Mahkamah Konstitusi soal iluminati. Partai itu dan pengurusnya tengah menghadapi sejumlah gugatan lain. Salah satunya soal dugaan pelanggaran aturan pemilu karena meminjam dana terlalu besar dari pendirinya. ”Intinya hari terakhir FFP sudah dihitung. Sebab, mereka menentang junta, mendorong reformasi, dan Thailand era baru yang tak bisa diterima kelompok konservatif,” kata Thitinan Pongsudhirak, analis politik di Universitas Chulalongkorn.
Kritik FFP
FFP secara terbuka mengkritik keterlibatan militer dalam politik. Mereka juga mendorong amendemen konstitusi agar lebih demokratis.
Sebelum ini, Thanathorn Juangroongruangkit—pendiri dan ketua partai itu—dinyatakan bersalah. Ia dinilai terbukti tetap punya saham setelah mendaftar sebagai calon anggota parlemen. Selain dinyatakan bersalah, ia dilarang berpolitik dan harus melepaskan keanggotaan di parlemen Thailand.
Piyabutr mengatakan, partainya tidak pernah berniat menggulingkan monarki konstitusional. ”Sebaliknya, rangkaian kudeta melemahkan demokrasi. Sekelompok tentara yang merusak monarki konstitusional,” ujarnya.
Thailand kerap kali dilanda kudeta. Terakhir terjadi pada 2014 dan pemimpinnya, Jenderal Prayuth Chan-ocha, kini menjadi Perdana Menteri Thailand. Prayuth dan partai pendukungnya menang pemilu 2019.