Pertahanan Semesta 4.0
Di saat hampir semua informasi bisa terukur dan dimanipulasi, inilah saat tepat menyatakan pentingnya informasi dan teknologi dalam kemanunggalan TNI dan generasi muda dalam pertahanan Indonesia.
Di saat hampir semua informasi bisa terukur dan dimanipulasi, inilah saat tepat menyatakan pentingnya informasi dan teknologi dalam kemanunggalan TNI dan generasi muda dalam pertahanan Indonesia.
Seperti baru saja dibahas oleh Menteri Pertahanan Prabowo, “Pertahanan kita berdasarkan pemikiran atau konsep pertahahan rakyat semesta di mana setiap komponen harus menjadi….”
Tentu saja hal ini perlu didukung dengan sepenuh hati oleh setiap warga negara karena dengan adanya isu Perang Dunia Ketiga, akan sulit bagi negara dengan posisi strategis di dunia seperti Indonesia untuk tidak membina kekuatan dirinya.
Untuk itu, butuh keahlian pengumpulan, penganalisaan dan penyampaian informasi yang canggih serta standar operasi yang tepat dalam menggerakkan dan memberikan arahan kepada berbagai komponen generasi muda yang memiliki jiwa patriotik pancasilais kental.
Penulis yakin, inovasi ini bukan hal sulit untuk dilakukan oleh negeri yang memiliki hampir 30.000 aparat teritorial dan anak bangsa mampu menciptakan aplikasi dua muka dengan hampir setengah juta pengguna untuk muka penyedia jasa seperti dilakukan Gojek.
Saat kita menyiapkan tenaga kerja Indonesia sesuai industri 4.0, kita harus juga menerapkan konsep teritorial yang serupa pula dalam menyiapkan komponen pertahanan ini. Kemajuan dalam penggunaan teknologi ini menunjukkan peluang yang dimiliki negara ini untuk memiliki pertahanan, baik dalam matra darat, laut, dan udara, maupun domain siber yang kuat.
Kemajuan dalam penggunaan teknologi ini menunjukkan peluang yang dimiliki negara ini untuk memiliki pertahanan, baik dalam matra darat, laut, dan udara, maupun domain siber yang kuat.
Mengutip sesepuh Angkatan Darat, Letjen (Purn) TNI Sayidiman Suryohadiprodjo: “Justru ketika teknologi makin maju dan berkembang dan mampu menyediakan berbagai peralatan dan sistem senjata yang makin canggih dan tinggi daya hancurnya, fungsi teritorial punya peran yang makin penting”.
Pengumpulan informasi secara masif untuk dunia militer tentu bukan sebuah hal rutin. Hanya perubahan teknologi yang membuat cara dan pentingnya pengumpulan informasi ini jadi lebih vital. Karena itu, kemampuan teritorial ABRI harus dapat berkembang, bukan hanya pada kemampuan mendatangi, mendengarkan, dan mendapatkan informasi, melainkan juga bagaimana memberi konteks yang tepat dan menerjemahkannya ke kegunaan pertahanan rakyat semesta.
Konsep pertahanan dan pengumpulan informasi teritorial tentu saja perlu pengembangan yang lebih meluas. Saat seorang pengemudi ojol bisa melihat heat map dari pelanggan yang berada di daerahnya, tentu diharapkan seorang Babinsa juga dapat memiliki informasi potensi pertahanan yang dimiliki secara dinamis, tepat, dan terarah di genggaman tangan dalam sebuah sistem lapor cepat.
Taruhlah, misalnya, peran Babinsa dalam sebuah kampus akademi teknologi di perkotaan. Harusnya informasi yang ia dapat bisa dalam bentuk foto, dokumentasi dan materi tentang potensi start up, hacker, dan gamer dapat membantu tugas secara langsung atau tak langsung.
Tentu saja kemampuan teritorial untuk mendekat mendapatkan konteks yang tepat bukanlah hal mudah. Namun, inilah tantangan yang dimiliki saat ini—di mana serangan terhadap nation state dapat dimulai oleh rangkaian hacking yang dilakukan oleh mahasiswa universitas negara penyerang.
Di sisi lain, perubahan tata letak daerah dan sumber daya serta pesatnya pembangunan dan berbagai hal lain membuat pentingnya kebutuhan akan update informasi geografi yang dimiliki. Seperti dalam kasus banjir di Jakarta baru-baru ini, perubahan tata air menyebabkan daerah yang tadinya banjir jadi aman dan sebaliknya.
Pengumpulan informasi secara masif untuk dunia militer tentu bukan sebuah hal rutin. Hanya perubahan teknologi yang membuat cara dan pentingnya pengumpulan informasi ini jadi lebih vital.
Tentu saja ini butuh penguasaan data geospasial secara menyeluruh, baik dari kemampuan merangkai informasi melalui foto, video, maupun pemetaan yang harus melibatkan banyak pihak.
Terakhir tentu saja adalah kemampuan membaca informasi yang terbuka di luar sana, baik dari medsos, situs berita, maupun situs video. Kebanyakan aparat pertahanan Indonesia telah memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam menyampaikan berbagai berita yang dimiliki, melakukan penggalangan simpati terhadap netizen, bahkan menyediakan berbagai alat yang berguna bagi masyarakat.
Namun, seberapa jauh kemampuan ini digunakan untuk mempererat ketahanan masyarakat masih jadi potensi yang cukup patut dipertimbangkan. Dari pengalaman yang dilalui Amerika Serikat dalam pemilu lalu, kita bisa melihat bagaimana usaha infiltrasi negara adidaya lain diduga berusaha memengaruhi hasil.
Hal ini tentu mengingatkan kita tentang pemilu kita belum lama lalu dan tentang tantangan pilkada yang dapat memunculkan perpecahan yang mendasar terhadap kesatuan bangsa ini.
Namun, seberapa jauh kemampuan ini digunakan untuk mempererat ketahanan masyarakat masih jadi potensi yang cukup patut dipertimbangkan.
Tantangan ke depan
Walau banyak pihak di Indonesia—swasta maupun militer—telah mempergunakan medsos monitoring untuk berbagai kebutuhan, karena besarnya data yang beredar di domain siber ini, hanya sebagian yang termonitor. Kejadian nyata di mana latar belakang seorang calon taruna dibongkar oleh netizen sebenarnya contoh nyata bagaimana teknik crowd sourcing yang banyak digunakan oleh para wirausahawan perusahaan rintisan dapat di adaptasi oleh para aparat pertahanan.
Keberadaan Indonesia pada sisi dunia dengan penetrasi seluler terpadat (hampir setengah dari 6,8 miliar sambungan seluler berada di Asia Pasifik) tentu memudahkan informasi open source dapat dianalisis, terkait kebiasaan atau tindakan tertentu yang mungkin muncul. Bila sebuah rencana terorisme, baik lone wolf maupun state sponsored, akan dilancarkan, apakah saat ini kita sudah memiliki mekanisme secara digital yang dapat mengendus dan melakukan tindakan secara terarah dan tepat pada “hari-H dan jam-J”?
Kemampuan pengumpulan, penganalisaan, dan penyampaian informasi yang canggih serta standar operasi yang tepat dalam menggerakkan dan memberikan arahan ke berbagai komponen generasi muda dengan jiwa patriotik pancasilais kental—baik yang bertugas di angkatan maupun masyarakat sipil—agar menjadi nasionalis dan para aparat teritorial terhadap keahlian mengolah teknologi merupakan kekuatan dan tantangan yang luar biasa.
Ini tantangan yang harus dihadapi beberapa tahun ke depan, bukan saja penggalangan dalam pertahanan rakyat semesta, melainkan bagaimana mengintegrasikan kemampuan data dan teknologi 4.0 dengan semangat nasionalisme dalam sistem komando terhadap sistem pertahanan berbasis semesta ini.
(Yudha Kartohadiprodjo, CEO Prana Media Group dan Wakil Sekjen Komunitas TIK-AD)