Dalam sejarah Kabupaten Jember, Jawa Timur, baru kali ini DPRD menggunakan hak angket. Hak istimewa legislatif ini digunakan untuk menelusuri kebijakan pemerintah daerah yang penting dan berdampak luas serta diduga bertentangan dengan perundang-undangan.
Buruknya komunikasi politik antara Bupati Jember Faida dan DPRD Jember mengakibatkan sejumlah kegaduhan di Jember. Pasang surut keharmonisan Bupati dan DPRD Jember terjadi sejak awal Faida menjabat.
Faida memenangi Pemilihan Kepala Daerah Jember tahun 2015 bersama wakilnya, Muqit Arief. Mereka dilantik 17 Februari 2016. Belum genap setahun memimpin, keretakan hubungan dengan DPRD terjadi. Ia diinterpelasi oleh DPRD pada 6 Januari 2017 menyusul penggantian Sekretaris DPRD Jember tanpa prosedur perundang-undangan.
Hubungan tidak harmonis antara Bupati dan DPRD kembali saat pembahasan Rancangan APBD Jember 2018. APBD yang seharusnya cair dan dapat digunakan sejak awal tahun baru disahkan awal Maret 2018. Saking alotnya pembahasan APBD Jember, Soekarwo yang menjabat Gubernur Jatim saat itu turun tangan memediasi.
Hubungan keduanya membaik saat membahas RAPBD 2019. DPRD dan Bupati menyetujui APBD 2019 sejak Oktober 2018. Pada Agustus 2019, hampir sebagian besar anggota DPRD Jember adalah wajah-wajah baru. Dari 50 anggota DPRD, 31 orang merupakan pendatang baru dan 19 lainnya petahana. Formasi baru DPRD Jember itu ternyata juga tak serta-merta membuat hubungan dengan Bupati Faida harmonis.
Pada November 2019, beredar Surat Mendagri Nomor 700/12429/SJ yang ditujukan kepada Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Surat yang ditandatangani Mendagri Tito Karnavian tanggal 11 November 2019 itu menyebutkan, Bupati Faida dinilai menyalahi pedoman kedudukan struktur organisasi dan tata kelola (KSOTK) karena melakukan mutasi tanpa dasar. Bupati diminta untuk memperbaiki dan mencabut sejumlah keputusan.
Dalam surat tersebut, Mendagri menyarankan kepada Gubernur Jatim untuk memerintahkan secara tertulis kepada Bupati Jember agar mencabut 17 keputusan bupati, 30 peraturan bupati, dan menindaklanjuti surat peringatan atas penggantian Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Jember.
Belum reda polemik KSOTK yang berujung hilangnya kuota CPNS Jember, sejumlah fasilitas umum yang didanai APBD ambruk. Bangunan itu antara lain SDN 02 Keting dan Kantor Kecamatan Jenggawa. Menjelang akhir 2019, tensi hubungan Bupati dan DPRD Jember kian tinggi. DPRD berang karena Bupati hanya mengirim RAPBD 2020 berupa selembar kertas tanpa disertai draf rancangan anggaran. Hal ini memicu interpelasi DPRD Jember.
”Di interpelasi, kami hanya ingin menanyakan mengapa Bupati tidak menaati peraturan dan perundang-undangan. Tetapi, saat itu Bupati justru tidak datang dan mengatakan agenda tersebut tidak penting,” ujar Ketua DPRD Jember Itqon Syauqi. Agenda interpelasi dijadwalkan Jumat (27/12/2019). Namun, Faida tidak hadir dan hanya mengirim surat untuk penjadwalan ulang. Ungkapan ”tidak penting” disampaikan Faida saat wartawan meminta tanggapannya terkait interpelasi.
Pada 30 Desember 2019, Sidang Paripurna DPRD Jember menyepakati penggunaan hak angket tentang tata kelola Pemkab Jember pada 2016-2019. Dari dua kali undangan panitia angket DPRD ke perangkat Pemkab Jember, awal Januari 2020, Bupati Jember hanya mengirimkan surat mempertanyakan keabsahan angket.
Saat dimintai tanggapan, Faida hingga Selasa (21/1/2020) malam belum memberi keterangan apa pun. Beberapa kali layanan pesan singkat dari Kompas tidak dibalas. Pada 15 Januari, Faida sempat membalas pesan dan meminta Kompas mengirim daftar pertanyaan. Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut tak kunjung dijawab meski sudah diingatkan kembali.
Program terhambat
Dosen Administrasi Negara FISIP Universitas Jember, Hermanto Rohman, menilai, hubungan yang tidak harmonis antara Bupati dan DPRD Jember mengakibatkan banyak program pemda terhambat. Pada tahun pertama hingga kedua seharusnya permasalahan komunikasi di internal birokrasi atau dengan mitra pemerintahan, termasuk DPRD, dapat terjalin baik.
Kendati tak menyebut angket berhubungan langsung dengan pilkada, Hermanto menilai hasil angket akan berpengaruh pada proses Pilkada Jember 2020. Rekomendasi angket diprediksi bisa berpengaruh pada dukungan terhadap Faida.
Sementara itu, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Anggono, menilai, polemik yang terjadi saat ini merupakan kerak-kerak Pilkada 2015 yang diikuti dua pasang calon. Kemenangan Faida yang tidak diikuti proses rekonsiliasi yang baik diduga masih menyisakan bara dalam sekam.
Namun, hal itu dibantah Wakil Ketua Panitia Angket DPRD Jember David Handoko Seto. ”Melalui angket, kami hanya berharap bisa mengungkap keruwetan di Jember. Kami tidak berniat memakzulkan Bupati. Kami hanya memikirkan kepentingan rakyat yang terabaikan karena Bupati tidak mematuhi aturan,” katanya.
Proses angket masih berjalan dan dijadwalkan rampung pertengahan Maret. Apa pun hasil akhir angket, dampak kisruh politik di Jember nyata dirasakan dengan tidak terbitnya perda APBD Jember 2020. Entah demi apa atau siapa, yang jelas kegaduhan di Jember telah menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.