SN Kesepian di Sekolahnya Sendiri
Kesepian bisa menggiring orang berbuat nekat. Ketika masalah hidup tidak dapat dipikul sendiri, seorang remaja putri kelas VII SMP berinisial SN (14) bunuh diri di sekolahnya. Kasus yang menghentak kalangan pendidik.
Bunuh diri yang dilakukan SN (14) di sekolahnya mengejutkan banyak pihak. Kematian siswi sekolah menengah pertama itu seakan menampar dunia pendidikan di Ibu Kota. Sebagian kalangan menilai, ada yang salah di sistem pendidikan kita sehingga perlu menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran penting.
Sepekan setelah peristiwa ini berlalu, gagasan untuk mewujudkan Sekolah Ramah Anak (SRA) kembali menguat. Gagasan lama ini tidak segera terwujud di banyak sekolah karena tidak adanya keinginan kuat para pemangku kepentingan. Ide ini dinilai sebagai salah satu cara yang bisa diterapkan untuk memutus kekerasan dan memberikan perlindungan pada anak didik.
Standar SRA menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah terciptanya ekosistem sekolah yang aman, bersih, sehat, dan berbudaya. Sekolah harus mampu memberikan jaminan, pemenuhan, penghargaan dan partisipasi anak. Melalui SRA, sekolah tidak hanya menjadi ruang belajar yang kaku dan guru yang hanya berperan sebagai pendidik.
Sekolah itu seharusnya dapat memberikan perlindungan pada anak didik dengan mengutamakan hak-hak anak seperti hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak mendapatkan pendidikan. Konflik sosial yang menimpa anak-anak rawan membuat mereka terjerumus dalam kekerasan fisik dan psikis. ”Di sinilah sekolah ramah anak dinilai penting. Namun, perlu peran dan sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat agar sekolah ramah anak bisa berjalan baik,” kata Ketua KPAI Susanto, Selasa (21/1/2020), kepada Kompas.
Baca juga : Kasus Bunuh Diri di Sekolah Menjadi Pelajaran Penting Pengelola
Sebelumnya, gagasan SRA disuarakan UNICEF pada 1999. Ide ini muncul karena ada permasalahan dan perhatian serius terhadap kenyamanan sekolah yang harus didapatkan anak sebagaimana tertuang dalam Konvensi Hak Anak tahun 1990, termasuk Deklarasi Pendidikan untuk semua. Menciptakan suasana sekolah yang nyaman akan membuat anak betah dan merasa terlindungi.
”Saya tidak bisa melihat sekolah hanya sebagai institusi saja, sekolah merupakan rumah bagi anak-anak. Begitu pula guru, peran mereka sebagai pendidik saja tidak cukup jika melihat perkembangan pendidikan dan anak-anak saat ini. Memosisikan sebagai teman bisa membuat anak terbuka dengan permasalahannya,” kata Susanto.
Menurut Susanto, kesan sekolah yang kaku perlu dihilangkan sehingga anak-anak merasakan suasana nyaman dan terlindungi. ”Jika ada masalah, anak-anak datang ke gurunya karena ruang komunikasi sudah terbangun dengan baik. Jika hubungan guru dan anak didik kaku, mereka segan untuk cerita sehingga peserta didik memendam permasalahnnya sendiri,” kata Susanto.
Dalam sekolah ramah anak, kata Susanto, untuk mewujudkan sekolah ramah anak harus memenuhi enam komponen penting, seperti aspek kebijakan; proses pembelajaran ramah anak; pendidik dan tenaga kependidikan yang terlatih untuk pemenuhan hak anak; sarana dan prasarana ramah anak dan tidak membahayakan anak; partisipasi anak; serta partisipasi orangtua, dunia usaha, lembaga masyarakat, pemangku kebijakan, dan alumni.
Baca juga : Guru Diharapkan Bisa Wujudkan Sekolah Ramah Anak
Dalam poin proses pembelajaran ramah anak, guru perlu memahami penerapan komunikasi dua arah dengan tidak merendahkan anak. Guru juga perlu membangun keakraban dengan anak dan melihat anak memiliki karakter unik. Dua hal ini menjadi salah satu cara untuk memahami permasalaan anak didik. Guru bisa menjadi tempat curhat anak. Di poin ini, guru perlu memberikan pemahaman dan praktik tentang empati, tidak diskriminatif, antiradikalisme, antiperundungan, dan mampu mengembangkan karakter positif lain.
Upaya membentuk lingkungan sekolah ramah anak sebagai pemenuhan hak anak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 3 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal itu tertulis, perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak supaya dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Situasi yang tidak terwujud
Belajar dari kasus SN, ia kehilangan hak perlindungan dari lingkungan keluarga dan sekolah. Sebelum menjatuhkan diri dari lantai empat sekolahnya, dia terlihat murung dan sering menyendiri. Namun, tidak ada yang berhasil membuka komunikasi dengan SN di masa-masa kritis itu. Hingga akhirnya SN yang sedang menanggung beban masalah tidak kuat melanjutkan hidup.
Bahkan, R (40), petugas kebersihan sekolah, menangkap keganjilan sikap SN sejak tiga bulan sebelum kejadian. Sebelum SN bunuh diri, temannya sesama petugas kebersihan melihat SN menangis di lantai 4. Saat itu, SN melepas sepatu, ikat pinggang, dan kacamata. Petugas itu membujuk SN untuk turun, tetapi SN masih tak beranjak dari tempatnya.
”Saya sudah lama menduga jika SN memiliki masalah, tetapi saya tidak tahu seberat apa masalahnya. Seharusnya kani cepat menyadari dan melapor ke guru,” kata R.
Baca juga : SN Diduga Ada Masalah Keluarga
Sekretaris Komisi E (Bidang Pendidikan) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Johny Simanjuntak prihatin dengan kasus ini. Menurut Johny, Jakarta terlambat mewujudkan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan. Dari catatannya, sejauh ini baru ada 315 sekolah ramah anak di Jakarta dari sekitar 5.000 sekolah yang ada. Sekokah yang dimaksud dalam ketegori SD, SMP, dan SMA.
”Dengan kekuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah lebih dari Rp 80 triliun, tidak sulit bagi Pemprov DKI Jakarta mewujudkan sekolah ramah anak. Selama ada kemauan serius dengan melibatkan banyak pihak, program itu bisa terwujud,” kata Johny.
Kasus bunuh diri yang dilakukan SN menjadi pelajaran penting semua pihak. Kasus itu menjadi bukti bahwa sekolah belum menjadi ”rumah kedua” siswa setelah tempat tinggalnya sendiri. Sekolah, menurut dia, harus bisa menjadi ruang yang sehat, menyenangkan, dan tempat siswa menuangkan ekspresinya. Sayang sekali, kondisi itu belum terwujud di sekolah tempat SN belajar.
Catatan KPAI, siswi kelas VII yang bunuh diri di sekolah merupakan kasus pertama di Indonesia karena beberapa kasus bunuh diri seorang anak umumnya dilakukan di rumahnya. Ini menjadi peringatan keras untuk lingkungan keluarga terutama sekolah agar kasus SN tidak terulang.
”KPAI akan mendorong sekolah-sekolah di DKI Jakarta untuk menerapkan program Sekolah Ramah Anak dan membangun sistem pengaduan yang melindungi anak korban dan anak saksi. Ini bukan hanya untuk kasus bunuh diri, melainkan juga untuk membuat anak merasa nyaman dan terlindungi di lingkungan sekolah. Sekolah rumah kedua mereka,” tutur Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti.
Ia menilai masih banyak sekolah di Jakarta yang belum menerapkan program Sekolah Ramah Anak, seperti di sekolah tempat SN belajar. KPAI mempertanyakan peran wali kelas dan guru bimbingan konseling (BK) dalam permasalahan yang dihadapi SN. Meski seandainya masalah keluarga memang benar adanya, empati dan kepekaan tampaknya tidak muncul pada wali kelas dan guru BK yang merupakan orangtua peserta didik selama berada di sekolah.
”Sejatinya, orang dewasa di sekitar anak, baik orangtua maupun guru, memiliki kepekaan sehingga bisa mendeteksi gejala-gejala depresi seorang anak agar dapat mencegah anak-anak melakukan tindakan bunuh diri. Alasan seorang remaja melakukan percobaan bunuh diri bisa begitu rumit yang sekaligus pada sisi lain mungkin bukan suatu hal yang dianggap berat bagi orang dewasa pada umumnya. Karena itu, jangan langsung menghakimi remaja yang sedang dirundung masalah,” papar Retno.
Retno menyoroti kurangnya perhatian dari keluarga atau lingkungan sekitar bisa berdampak pada remaja. Ketiadaan empati dari lingkungan membuat SN tidak mempunyai tempat untuk berbagi masalah yang ia hadapi dan merasa tidak mendapat perhatian atau disayang. Padahal, jika lingkungan sekolah cepat menyadari prilaku SN, kemungkinan aksi nekatnya bisa dicegah.
Baca juga : Aksi SN Tak Dapat Dicegah karena Kurangnya Empati di Lingkungannya
Berdasarkan laporan Data Kesehatan Dunia (Global Health Data Exchange) tahun 2017, prevalensi gangguan mental tertinggi di Indonesia berada di kelompok usia 15-19 tahun, yaitu 9,86 persen. Kelompok itu diikuti kelompok usia 10-14 tahun sebesar 9,25 persen. Pada tahun 2015, hasil riset Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat dalam Global School-Based Student Health Survey (GSHS) tahun 2015. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa 60,17 persen pelajar SMP-SMA di Indonesia diindikasikan mengalami gejala gangguan mental emosional.
Tingginya angka gangguan mental pada anak dan remaja ini bisa saja terjadi karena orangtua dan masyarakat abai atau tidak paham terhadap gejala yang terjadi. Mereka menganggap perubahan sikap dan perilaku sebagai hal yang lumrah dalam pertumbuhan anak. Perkembangan mental anak menjadi terabaikan.
Penelitian serupa pada tahun yang sama dilakukan Kementerian Kesehatan dalam Global School-Based Student Health Survey (GSHS) terhadap 10.837 pelajar SMP dan SMA. Hasilnya, 5,2 persen responden pelajar memiliki ide bunuh diri, 5,5 persen sudah memiliki rencana bunuh diri, dan 3,9 persen telah melakukan percobaan bunuh diri. Salah satu tujuan dari sekolah ramah anak, yaitu meningkatkan daya tahan anak untuk menyelesaikan persoalannya.
Baca juga : Kasus Bunuh Diri di Sekolah Menjadi Pelajaran Penting Pengelola
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji berpendapat, saat ini pelajar membutuhkan kemampuan memecahkan masalah sehingga anak tidak mencari jalan sendiri atau menuangkan masalahnya di media sosial atau ke teman sebaya. Untuk itu, peran orangtua dan guru menjadi penting. Setiap permasalahan anak jangan dibiarkan dan tidak bisa dianggap remeh.
”Selama berada di sekolah, siswa tidak cukup mengandalkan guru bimbingan konseling (BK) saja. Perlu ada psikolog dan perawat sekolah. Fokus ilmu psikolog tentu berbeda dengan guru BK atau guru mata pelajaran. Pendekatan seorang psikolog sangat dibutuhkan di sekolah,” kata Indra.