Tidak Ada Risiko Sistemik yang Memicu Krisis Sistem Keuangan
›
Tidak Ada Risiko Sistemik yang...
Iklan
Tidak Ada Risiko Sistemik yang Memicu Krisis Sistem Keuangan
Stabilitas sistem keuangan dan ekonomi makro tetap terkendali di tengah ketidakpastian perekonomian global dan mencuatnya permasalahan pada beberapa lembaga jasa keuangan domestik.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stabilitas sistem keuangan dan ekonomi makro tetap terkendali di tengah ketidakpastian perekonomian global dan mencuatnya permasalahan pada beberapa lembaga jasa keuangan domestik. Tidak ada risiko sistemik yang dianggap dapat memicu krisis sistem keuangan.
”Terkait permasalahan pada beberapa lembaga jasa keuangan, langkah-langkah penanganan secara terkoordinasi dan komprehensif terus dilakukan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers rapat koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Rabu (22/1/2020), di Jakarta.
Masalah pada beberapa lembaga jasa keuangan yang dimaksud di antaranya kasus gagal bayar polis asuransi dan kesalahan tata kelola investasi oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero), PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera.
Rapat koordinasi KSSK menyimpulkan perekonomian Indonesia masih berdaya tahan, yang ditandai dengan terjaganya pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, ditopang konsumsi rumah tangga dan investasi sektor bangunan. Neraca Pembayaran Indonesia tahun 2019 diperkirakan surplus karena aliran masuk modal asing dan penurunan defisit transaksi berjalan.
Stabilitas sektor keuangan juga terjaga kendati menunjukkan tren perlambatan. Pertumbuhan kredit melambat dari 11,75 persen pada 2018 menjadi 6,08 persen pada 2019. Dana pihak ketiga tumbuh tipis dari 6,45 persen (2018) menjadi 6,54 persen (2019). Adapun risiko kredit macet naik dari 2,5 persen (2018) menjadi 2,6 persen (2019).
Sri Mulyani menyatakan, permasalahan pada beberapa lembaga jasa keuangan saat ini tidak memunculkan risiko sistemik yang berujung krisis. Mengutip Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, krisis dicirikan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan,
”Lembaga jasa keuangan yang bisa memicu krisis sistem keuangan secara spesifik ditujukan pada bank. Kegagalan mereka dapat mengakibatkan keseluruhan sektor jasa keuangan ikut terancam gagal,” kata Sri Mulyani.
Saat ini penanganan sektor keuangan nonbank menggunakan peraturan di tiap-tiap otoritas. Belum ada harmonisasi aturan penanganan sektor jasa nonbank, termasuk asuransi, di antara lembaga KSSK—yang terdiri dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Kemenkeu.
Lembaga jasa keuangan yang bisa memicu krisis sistem keuangan secara spesifik ditujukan pada bank. Kegagalan mereka dapat mengakibatkan keseluruhan sektor jasa keuangan ikut terancam gagal.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah tengah menyusun omnibus law pengembangan dan penguatan sektor keuangan. Tujuannya untuk mengakomodasi peraturan-peraturan yang sudah usang dan belum ada, termasuk masalah sektor keuangan nonbank. Tugas KSSK saat ini terfokus pada masalah bank sistemik.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso menambahkan, indikator sistemik adalah kasus yang bisa menimbulkan dampak ke sistem keuangan secara keseluruhan. Sedangkan kasus Jiwasraya dan beberapa lembaga jasa keuangan lainnya dinilai belum berskala besar.
”Kalau ukurannya besar, otomatis menimbulkan dampak dan interkoneksi dampak yang merambah ke sistem keuangan lainnya,” kata Wimboh.
Bauran kebijakan
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan moneter masih diarahkan untuk menjaga dan memperkuat momentum pertumbuhan ekonomi. Sejak Juli 2019, BI telah menurunkan suku bunga acuan (BI 7-day Reverse Repo Rate) sebanyak empat kali sebesar 100 basis poin. BI juga memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif.
Kebijakan makroprudensial ini ditempuh melalui pelonggaran rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dan rasio loan to value/financing to value (LTV/LTV) untuk mendorong permintaan kredit pelaku usaha properti dan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan. BI juga menambah injeksi likuiditas perbankan melalui relaksasi giro wajib minimum menjadi 5,5 persen.
”Kebijakan sistem pembayaran dan pendalaman pasar keuangan juga terus diperkuat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” kata Perry.
Terkait kurs rupiah, Perry mengatakan, penguatan kurs rupiah masih sejalan dengan fundamentalnya. Aliran modal asing terus masuk ke Indonesia sehingga penguatan kurs rupiah juga bergerak sesuai dengan mekanisme pasar. Di Indonesia, penguatan nilai tukar ini dapat mendorong investasi dalam negeri karena banyak industri yang impornya tinggi.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah menambahkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi memengaruhi perlambatan pendapatan masyarakat. Hal itu tecermin dalam pertumbuhan simpanan di bawah Rp 500 juta, melambat dari 6,5 persen pada November 2019 menjadi 6,4 persen pada Desember 2019.