Menjelang perayaan Imlek, ikan bandeng diminati banyak orang. Ikan ini diyakini membaya keberuntungan saat disajikan di pergantian tahun penanggalan Tionghoa.
Oleh
Sharon Patricia / Stefanus Ato/ Iwan Santosa
·4 menit baca
Hari-hari ini, ikan bandeng (Chanos chanos) menjadi istimewa. Ikan ini dianggap pembawa peruntungan atau hoki, terutama saat menyajikannya di perayaan Imlek.
Tidak mengherankan, ikan bandeng banyak dicari saat pergantian tahun penanggalan Tionghoa. Kegembiraan warga mencari bandeng terlihat di Pasar Bunga, Rawa Belong, Jakarta Barat. Ikan segar terlihat di mana-mana, pembeli antusias melakukan transaksi mencari harga yang cocok.
Pasar ini selalu dipenuhi penjual bandeng menjelang perayaan Imlek tiap tahun. Bandeng Imlek di pasar ini harganya bisa mencapai Rp 85.000 per kg, sedangkan bandeng biasa dijual Rp 50.000 per kg. ”Orang beli bandeng biasanya untuk orangtua dan mertua. Makin besar (ikan bandengnya) makin disayang,” ujar Indah (43), penjual bandeng Imlek, Selasa (21/1/2020).
Adapun pembeli bandeng tidak selalu orang Tionghoa, kebanyakan justru warga Betawi seperti halnya Johan (40) dan Isnah (38). ”Kami enggak ada keturunan (Tionghoa), tetapi (bandeng Imlek) memang sudah menjadi tradisi keluarga,” ujar Isnah.
Sebelum sampai di pasar, bandeng imlek berasal dari dari pengepul di Cilincing, Jakarta Utara. Di tempat ini, lonjakan permintaan semakin tajam menjelang Imlek tiba. Pengepul ikan bandeng Bachrudin (34) di Cilincing kewalahan memenuhi permintaan pelanggan. Dalam sehari, permintaan bandeng menjelang Imlek mencapai 1,5 ton, sedangkan pada hari-hari biasa permintaan bandeng paling banyak 500-700 kg.
Kerja keras petani
Tidak bisa dilupakan, keberadaan bandeng di pasar ini tidak lepas dari kerja keras petani tambak selama memelihara ikan itu hingga layak disajikan. Saman (46), petani tambak bandeng Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat, itu berkali-kali melempar jaring ke tambaknya. Meski berhasil menjaring beberapa ekor bandeng, ia kecewa karena ukurannya terlalu kecil.
Saman mengelola tambak seluas tujuh hektar dengan perkiraan jumlah bandeng sebanyak 2.000 ekor. Awalnya, ada sekitar 4.000 benih ikan yang dilepas, tetapi tak semua bisa bertahan hidup karena mati dimakan ikan lain, ular air, dan juga dimakan burung.
Selama memelihara bandeng, ayah tujuh anak itu harus menjaga kedalaman tambak sekitar 1,5 meter. Cara ini dilakukan agar dapat menjaga kadar garam air tambak tetap stabil. Setelah setahun, dia menjaring 1.000 ekor bandeng dengan berat 30 kuintal untuk dijual menjelang Imlek. Peningkatan permintaan bandeng juga terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah, hingga 30 persen dibandingkan dengan permintaan di hari-hari biasa.
Selain petani, pedagang pasar, dan pengepul, bandeng membawa hoki bagi penjual oleh-oleh di Kelurahan Krobokan, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Pemilik CV Home Industri Milkfish New Istichomah Petrus Sugiyanto (62) melayani kenaikan permintaan bandeng presto di dalam dus. ”Bandeng ini untuk oleh-oleh atau untuk Imlek,” katanya.
Ragam hidangan
Di Makassar, warga menyajikan masakan bandeng melengkapi sajian kuliner lokal seperti pallubasa, buras (semacam lontong tapi dimasak pakai santan), ketupat, hingga sate nona-nona, makanan yang juga lazim dijumpai saat perayaan Idul Fitri. ”Kami membuka pintu untuk keluarga dan kerabat dari berbagai latar belakang agama dan budaya saat Imlek nanti,” kata Hendra Salimin (40), warga Makassar.
Di Jakarta, keberadaan pindang bandeng di warung-warung Betawi di dekat Rawa Belong, Jakarta, merupakan bukti meleburnya budaya kuliner Tionghoa dan Nusantara. ”Ini khusus jualan menjelang Imlek, yang beli campur ada orang Tionghoa dan juga orang Betawi,” ujar Ali warga Betawi di Rawa Belong.
Cara memasak beragam jenis pindang dan aneka semur, seperti semur tahu dan semur jengkol yang kaya dalam penggunaan kecap merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya yang diterima luas dalam keseharian kehidupan di Indonesia.
Di Tangerang, Banten, pemerhati budaya dan pendiri Museum Benteng Heritage Udaya Halim menyiapkan Imlek dengan membuat hidangan pindang bandeng dan ikan masak tauco. Masakan terakhir itu merupakan adopsi dari Ikan Ceng Coan yakni membuat bumbu a’la kolak (caramelized) dan dibumbui Tauco.
Dalam keseharian, masyarakat Betawi di sekitar Tangerang, ujar Udaya, mengadopsi Ikan Ceng Coan dengan menggunakan ikan belanak (Bluespot mullet) yang diolah dengan gula aren dan tauco yang kemudian dikenal sebagai Ikan masak tauco. Tidak hanya itu, dalam perkembangannya semakin banyak olahan bandeng yang tersaji menjelang Imlek.
Budayawan Tionghoa, Aji Chen Bromokusumo menjelaskan, secara filosofi, ikan dalam Tahun Baru Imlek berarti ”lebih”. Dalam bahasa Mandarin dikenal sajak (nian nian you yu), lafal (yu) di penggalan sajak itu berarti lebih sama dengan lafal (yu) yang berarti ikan. Sajak yang biasa diucapkan saat perayaan Imlek ini bermakna bahwa setiap tahun selalu ada kelebihan. ”Selalu ada rezeki melimpah setiap tahun,” ujar Aji.
Keberadaan percampuran budaya melalui seni hidangan tersebut adalah salah satu kekuatan sebuah bangsa termasuk bangsa Indonesia dalam merajut kebangsaan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Selain sepak bola dan musik, seni kuliner dapat menyatukan berbagai budaya dan mendudukkan semua orang di meja makan, akrab dalam santap bersama. Percampuran budaya kuliner Tionghoa dan Nusantara adalah salah satu buktinya. (DAN/NIK/DIT/REN)