Calon Tunggal Berpotensi Meningkat
Masyarakat harusnya diberikan pilihan. Kalau calon cuma satu maka tidak ada alternatif. Melawan kotak kosong juga tidak bisa bicara. Jadi buat apa.
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah calon tunggal di sejumlah daerah yang mengggelar Pemilihan Kepala Daerah 2020 berpotensi meningkat. Untuk itu, perlu komitmen partai poilitik agar tidak secara sengaja mendesain munculnya calon tunggal sangat diharapkan.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil, Kamis (23/1/2020), mengatakan, ada tren peningkatan jumlah calon tunggal di setiap penyelenggaran pemilihan kepala daerah (pilkada).
Perludem mencatat, pada Pilkada 2015 ada tiga daerah yang pilkadanya terdapat calon tunggal. Jumlah itu naik menjadi sembilan daerah pada Pilkada 2017 dan 16 daerah pada Pilkada 2018.
”Kecenderungan meningkatnya calon tunggal itu harus diwaspadai,” ujar Fadhil, yang dihubungi Kompas dari Jakarta.
Kecenderungan meningkatnya calon tunggal itu harus diwaspadai.
Menurut Fadhil, potensi calon tunggal itu biasanya terjadi di daerah yang petahananya kembali mengikuti kontestasi pilkada. Hal itu karena petahana dinilai punya modal sosial dan sumber daya yang cukup untuk kembali memenangi kontestasi.
Ini membuat partai politik (parpol) berpikir dua kali untuk mengajukan calon lawan. Selain itu, ada juga upaya untuk membeli dukungan semua parpol sehingga pilkada di suatu daerah hanya menampilkan satu pasangan calon kepala daerah.
”Hal itu ditempuh untuk memuluskan kemenangan calon tanpa harus berkompetisi dengan calon lainnya,” ujarnya.
Ada juga upaya untuk membeli dukungan semua parpol sehingga pilkada di suatu daerah hanya menampilkan satu pasangan calon kepala daerah.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bambang Wuryanto mengemukakan, calon tunggal di Pilkada 2020 hampir dipastikan bakal meningkat. Parpol pastinya bakal mengedepankan pendekatan rasional ketika memutuskan mengusung calon atau tidak.
Parpol akan bertimbang ketika dihadapkan pada kondisi melawan petahana yang punya elektabilitas tinggi dan sumber daya memadai. Di samping itu, parpol juga pasti memetakan perlu atau tidaknya memaksakan diri menghadapi calon dengan elektabilitas tinggi. Jika memang tidak diperlukan bersaing, parpol-parpol di daerah kemudian bersepakat untuk memunculkan satu pasangan calon.
”Kondisi itu sangat mungkin terjadi di Pilkada 2020. Penyebabnya bisa karena kondisi ekonomi sedang tidak terlaku baik sehingga keuangan partai pun juga tidak bagus. Bertempur di pilkada butuh biaya besar,” kata Bambang.
Baca juga : Fenomena Calon Tunggal
Bambang mengemukakan, bila kondisi keuangan parpol sedang tidak bagus, dia harus rasional dan realistis sehingga langkah-langkah untuk memunculkan calon tunggal itu pasti akan terjadi.
Meski demikian, Bambang menepis anggapan bahwa calon tunggal membuat demokrasi tidak berjalan. Kesepakatan partai-partai untuk memunculkan calon tunggal juga merupakan bentuk demokrasi, yaitu musyawarah.
”Apakah partai harus menciptakan lawan? Itu, kan, namanya memunculkan agar terjadi pertandingan. Kalau dari pandangan saya sendiri, untuk apa bersusah-susah,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) M Ali mengatakan, calon tunggal tidak menjadi masalah bila calon kepala daerah itu merupakan petahana yang berhasil membangun daerahnya. Calon petahana itu biasanya diinginkan masyarakat untuk kembali memimpin.
Calon tunggal tidak menjadi masalah bila calon kepala daerah itu merupakan petahana yang berhasil membangun daerahnya.
Kondisi itu diiringi dengan tingkat elektabilitas yang tinggi dari calon petahana. Tingkat elektabilitas yang tinggi itu menjadi salah satu penyebab munculnya calon tunggal di daerah.
”Parpol-parpol akan berpikir dua kali untuk melawan calon petahana dengan elektabilitas tinggi. Akhirnya, parpol beramai-ramai mengusung calon petahana itu,” katanya.
Baca juga : Fenomena Maraknya Calon Tunggal Jadi Bukti Kegagalan Partai Politik
Menurut Ali, kondisinya berbeda jika di suatu daerah, kemunculan calon tunggal disebabkan oleh upaya untuk meniadakan kontestasi. Hal itu bisa muncul jika parpol-parpol atau calon kepala daerah memiliki sumber dana yang besar untuk mencegah munculnya calon lain.
”Atas kondisi ini, Nasdem berkomitmen menolak. Kami tidak akan ikut arus dan menentang fenomena itu,” ujarnya.
Ali menambahkan, Nasdem bakal berusaha mengusung calon lain agar tercipta kontestasi. Namun, upaya itu juga mesti mempertimbangkan kans untuk mengusung calon sendiri atau bersama-sama parpol lainnya.
Menghilangkan pilihan
Fadhil beranggapan, esensi pilkada adalah menghadirkan pilihan kepada pemilih. Bersepakat memunculkan calon tunggal berarti menghilangkan hak warga untuk mendapat pilihan lebih dari satu.
Terlebih, salah satu fungsi parpol adalah melakukan kaderisasi, kontrol, dan rekrutmen. Dari proses itu akan muncul calon penantang baru bagi petahana.
”Seharusnya parpol menghadirkan sosok yang menjadi antitesis dari petahana,” kata Fadhil.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyatakan, calon tunggal meniadakan kompetisi di pilkada. Padahal, pemilihan umum didesain agar tercipta kompetisi sehingga masyarakat memiliki bermacam-macam alternatif pilihan.
”Mudah-mudahan tidak ada peningkatan calon tunggal,” kata Arief.
Sementara itu, Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga Surabaya Ramlan Surbakti menerangkan, salah satu penyebab munculnya calon tunggal adalah proses pencalonan yang tertutup dan tidak demokratis. Di luar negeri, fenomena itu sering disebut sebagai uncontested election atau pemilu yang tidak bersaing.
”Masyarakat harusnya diberikan pilihan. Kalau calon cuma satu maka tidak ada alternatif. Melawan kotak kosong juga tidak bisa bicara. Jadi buat apa,” kata Ramlan.
Masyarakat harusnya diberikan pilihan. Kalau calon cuma satu maka tidak ada alternatif. Melawan kotak kosong juga tidak bisa bicara. Jadi buat apa.
Baca juga : Bupati Pasuruan Siap Kalahkan Kotak Kosong
Fadhil mengemukakan, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh pemerintah dan DPR untuk mencegah kemunculan calon tunggal, yaitu dengan merevisi Undang-Undang Pilkada. Ada beberapa poin di UU tersebut yang bisa direvisi.
Misalnya, terkait ambang batas minimal pencalonan sebanyak 20 persen perolehan kursi dan 25 persen suara. ”Beleid itu menjadi salah satu pintu masuk adanya transaksi politik di daerah yang menimbulkan calon tunggal,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah dan DPR bisa menurunkan ambang batas minimal pencalonan menjadi 7 persen atau cukup 5 persen saja. Selain itu, bisa juga membatasi ambang batas jumlah maksimal parpol yang berkoalisi mengusung satu pasangan calon.
”Ini problem sistemik yang harus diselesaikan dengan berbagai pendekatan,” ujarnya.