Kasus Wahyu Setiawan Tidak Menghalangi Revisi Peraturan KPU
›
Kasus Wahyu Setiawan Tidak...
Iklan
Kasus Wahyu Setiawan Tidak Menghalangi Revisi Peraturan KPU
Meski salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilanda masalah hukum, namun agenda kerja KPU tetap berjalan seperti biasa. Dalam waktu dekat, KPU melakukan revisi peraturan KPU.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Agenda kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap berjalan seperti biasa. Meski salah satu komisioner KPU terlibat masalah hukum, rencana kerja yang disiapkan tidak berubah. Penegasan ini disampaikan Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta, Kamis (23/01/2020).
Salah satu agenda KPU yang dikerjakan dalam waktu dekat adalah menambahkan aturan jeda waktu lima tahun bagi eks napi korupsi untuk proses pencalonan pilkada 2020. "Komisioner KPU saat ini masih ada enam orang dan jumlahnya masih memenuhi kuorum untuk pengambilan keputusan dalan rapat pleno," ucapnya di Kantor KPU.
Menurut Arief, belum rampungnya revisi PKPU bukan disebabkan karena kekosongan kursi komisioner, melainkan karena beberapa aturan teknis masih perlu dikaji oleh para komisoner. Sejumlah aturan teknis yang masih dikaji yaitu terkait aturan jeda waktu lima tahun bagi eks napi korupsi untuk bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan aturan terkait mekanisme rekapitulasi elektronik untuk pemilu 2019. "Kami tetap akan memasukkan aturan jeda waktu lima tahun tersebut sesuai dengan putusan MK pada Desember 2019 lalu," ucapnya.
Arief mengatakan, KPU juga akan tetap memasukkan syarat tersebut, meski salah satu komisonernya tersandung kasus korupsi. Sebelumnya, Wahyu dan mantan caleg PDI-P Harun Masiku diduga terlibat kasus suap dalam proses pergantian antar waktu (PAW). "Itu bukan kebijakan KPU yang salah, melainkan orangnya (Wahyu) yang salah. Kecuali ada permainan, lalu KPU memutuskan tidak sesuai aturan perundangan. Tetapi ini kan kami akan membuat aturan sesuai regulasi," ujarnya.
Sebelumnya, MK mengeluarkan putusan dan kembali memberlakukan syarat jeda waktu lima tahun seusai menjalani masa pidana bagi eks narapidana korupsi yang ingin mencalonkan diri dalam pilkada. Selain itu, bagi bekas terpidana yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah-wakil kepala daerah, mereka harus secara terbuka dan jujur mengemukakan statusnya sebagai bekas napi kepada publik.
"Aturan teknis terkait publikasi ini yang sedang dikaji oleh komisoner KPU bersama para ahli hukum dan tata negara. Apakah nantinya publikasi hanya akan dilakukan pada saat tahapan pencalonan, ataukah bisa juga dilakukan pada tahapan pemungutan suara," katanya.
Selain itu, Arief mengatakan, revisi PKPU ini akan ditargetkan selesai sebelum tahapan pencalonan di bulan Juli. Menurut ia, KPU masih punya cukup waktu untuk menyelesaikan revisi tersbut.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengimbau agar kasus Wahyu jangan sampai menghambat tahapan pilkada 2020. Menurut ia, revisi PKPU ini harus segera diselesaikan. "KPU harus bisa menunjukkan kepada publik bahwa tahapan pilkada 2020 tidak terhambat karena adanya kasus Wahyu Setiawan. Momentum ini harus digunakan sebagai momentum untuk mengembalikan marwah KPU," katanya.
Titi menyampaikan, kasus yang menimpa Wahyu tersebut memang menjadi anomali dan pukulan berat bagi KPU di tengah semangat untuk meningkatkan integritas proses pencalonan. Ia mengatakan, KPU pun harus tetap memegang komitmen untuk menambahkan aturan jeda waktu lima tahun bagi eks napi korupsi ke dalam PKPU.
"Komitmen KPU itu diuji melalui pembentukan PKPU. Tindak pidana korupsi itu sudah menjadi ancaman berat bagi demokrasi Indonesia, karena tidak hanya dilakukan oleh para peserta pemilu, melainkan juga oleh penyelenggara pemilu. Karena itu, KPU harus tegas melaksanakan putusan MK demi memperbaiki kepercayaan publik," ucapnya.