Perlindungan terhadap kaum minoritas selalu menjadi isu di setiap negara. Bahkan, di sejumlah negara demokratis sekalipun, isu itu tetap belum terselesaikan.
Oleh
·2 menit baca
Meski sangat minimal, penyelenggaraan pemilu menjadi salah satu ukuran untuk menyebut sebuah negara telah memasuki alam demokrasi atau tidak. Myanmar yang selama beberapa dekade berada di bawah kekuasaan militer akhirnya memasuki babak anyar itu setelah melaksanakan pemilu pada 2015. Lewat pemilu ini, Aung San Suu Kyi menang dan tampil sebagai pemimpin pemerintahan.
Namun, perubahan politik ke arah lebih terbuka tak menjamin masalah perlindungan kaum minoritas tertangani. Pemenuhan hak kelompok minoritas tidak serta-merta terwujud setelah sebuah negara menjadi demokratis. Ada proses panjang yang harus dijalani, yang tak bisa diselesaikan secara otomatis lewat pemilu. Ada problem budaya, sejarah, politik, hingga ekonomi yang melingkupi isu relasi antaretnis. Masing-masing dimensi ini memerlukan penanganan tersendiri. Harus diakui, inilah yang tengah dialami Myanmar dalam kasus warga minoritas Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Dalam perkembangan terakhir kasus itu, Presiden Myanmar Win Myint, Selasa (21/1/2020), menyatakan, pemerintah ”setuju” dengan temuan Komisi Penyelidikan Independen bahwa militer melakukan kejahatan perang dalam operasi melawan pemberontak. Akibatnya, lebih dari 700.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Win Myint mengungkapkan pula telah meneruskan laporan itu kepada militer sehingga mereka dapat memperpanjang penyelidikan yang sedang berlangsung. Komisi itu tak menyebut ada bukti yang mendukung tuduhan bahwa militer Myanmar melakukan genosida (pemusnahan etnis secara terencana).
Perkembangan terakhir ini terjadi menjelang dikeluarkannya putusan sela oleh Mahkamah Internasional (ICJ) yang sedang menggelar sidang dugaan genosida warga Rohingya. Putusan sela memang diperlukan agar warga Rohingya dapat segera tertolong karena putusan final ICJ diperkirakan akan keluar dalam waktu lama.
Penanganan terhadap kaum minoritas adalah tantangan bagi sejumlah negara. Prosedur demokrasi, seperti pemilihan terbuka anggota legislatif, kerap tak mampu menangani ketidakadilan yang dialami kelompok minoritas. Pemilu mungkin justru memperkuat ketidakadilan itu.
Dalam situasi itulah, keterbukaan pemerintah sebuah negara dibutuhkan guna memperbaiki penanganan terhadap kelompok minoritas. Kebijakan perbaikan relasi antaretnis dan pembangunan yang lebih merata serta inklusif tak hanya memerlukan dana, tetapi juga memerlukan perubahan paradigma secara mendasar. Memang tak mudah menjalaninya, tetapi melalui demokrasi, keterbukaan, dan kebebasan pers, hal itu dapat dicapai. Pada saat sudah tercapai, di saat itulah demokrasi—jalur yang telah dipilih Myanmar—memberi manfaat seluas-luasnya bagi seluruh penduduk negara.