Jelena Ostapenko memiliki motivasi ekstra untuk meraih lebih banyak gelar juara. Dia kini berjuang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk memenuhi harapan ayahnya yang baru saja meninggal.
Oleh
Yulia Sapthiani
·3 menit baca
Petenis putri Latvia, Jelena Ostapenko, tersingkir pada babak kedua Australia Terbuka. Meski tak juga bisa kembali pada permainan terbaiknya, seperti ketika menjuarai Australia Terbuka 2017, Ostapenko setidaknya telah mengerahkan seluruh kemampuannya di Melbourne Park. Apalagi, dia tampil dalam kondisi berduka setelah ayahnya meninggal pada awal Januari.
Di Margaret Court Arena, Melbourne Park, Kamis (23/1/2020), perlawanan tangguh telah diberikan Ostapenko pada Belinda Bencic (Swiss). Namun, Ostapenko kalah, 5-7, 5-7.
Hasil tersebut membuat petenis berusia 22 tahun itu tak juga bisa melampaui babak ketiga Australia Terbuka. Sejak menjalani debut pada 2016, dia dua kali tersingkir pada babak pertama (2016 dan 2019), sekali pada babak kedua (2020), serta dua kali pada babak ketiga (2017 dan 2018).
Meski demikian, penampilan melawan Bencic dan kemenangan atas Ludmilla Samsonova (Rusia), 6-1, 6-4, pada babak pertama, Selasa, setidaknya telah menunjukkan kekuatan mental Ostapenko.
Ayahnya, Jevgenjis, meninggal pada awal Januari. Dia sempat mengantarkan putrinya itu menuju bandara di Latvia ketika Ostapenko akan bermain di WTA Auckland, Selandia Baru, 6-12 Januari. Namun, belum sempat bertanding, Ostapenko harus kembali ke Latvia ketika ayahnya meninggal.
Petenis yang meniti karier di arena profesional sejak 2012 itu memutuskan tetap tampil di Australia Terbuka, 20 Januari-2 Februari, untuk mengurangi kesedihannya. Dia pun terbang ke Melbourne setelah menghadiri pemakaman ayahnya. Total, selama 50 jam waktuya dihabiskan di pesawat selama empat hari, untuk terbang dari Selandia Baru ke Latvia, lalu ke Australia.
”Saya memutuskan bermain di Melbourne karena saya akan disibukkan dengan bertanding. Jika tetap berada di rumah, itu akan terasa lebih berat. Saya harus mendorong diri sendiri lebih besar untuk tegar,” ujar Ostapenko.
Setelah mengalahkan Samsonova, petenis yang dilatih juara Wimbledon 2013, Marion Bartoli, itu mengatakan, dia benar-benar berupaya untuk fokus pada pertandingan. ”Saya hanya mencoba merasakan apa yang saya rasakan di lapangan, bertanding, dan tidak berpikir pada yang lain,” kata Ostapenko.
Berbagi pengalaman
Sikap itu berusaha diperlihatkan Ostapenko di lapangan setelah dia berbagai cerita dengan petenis lain, Aryna Sabalenka (Belarus) dan Amanda Anisimova (AS), yang memiliki pengalaman sama. Desember 2019, ayah Sabalenka meninggal, sementara Anisimova ditinggal ayahnya pada Agustus 2019. Anisimova pun batal tampil dalam Grand Slam AS Terbuka di Flushing Meadows, New York.
Pengalaman itu membuat mereka membawa pola pikir lain setiap kali bertanding. Keduanya bertanding bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk ayah mereka.
”Saya selalu berusaha berjuang karena ayah menginginkan saya menjadi petenis nomor satu dunia. Saya bertanding untuknya dan itu membuat saya menjadi sosok yang lebih kuat,” ujar Sabalenka setelah mencapai semifinal WTA Adelaide, Australia, pekan lalu.
Saat ini, Sabalenka menempati peringkat ke-12 dunia, tetapi tersingkir pada babak pertama Australia Terbuka.
Anisimova, yang juga harus pulang setelah laga pertama di Melbourne, mengatakan, dia gembira bisa kembali berkonsentrasi pada tenis setelah ditinggal ayahnya. ”Saya tahu, inilah yang ayah saya inginkan. Ini membuatnya bangga,” kata petenis AS berusia 18 tahun yang menembus semifinal Perancis Terbuka 2019 itu.
Cerita itu, serta dukungan dari petenis lain menambah kekuatan Ostapenko untuk bermain di Melbourne Park. ”Mereka sangat baik dan sangat terbuka jika saya membutuhkan teman untuk bicara,” katanya.
Satu hal lain yang juga memotivasi dirinya adalah perkataan sang ayah ketika mengantarkan Ostapenko ke bandara. Dia menginginkan putrinya itu menjuarai ajang besar lagi.
Ayah selalu percaya pada saya.
Ostapenko meraih pencapaian terbaiknya pada 2017 dan 2018. Setelah menjuarai Perancis Terbuka 2017, satu-satunya gelar Grand Slam hingga saat ini, dan menempati peringkat kelima dunia pada 2018, saat ini dia hanya berada pada posisi ke-45.
Namun, satu gelar juara dari dua final beruntun pada akhir 2019, membuat ayahnya yakin, Ostapenko bisa kembali bersaing di papan atas. ”Ayah selalu percaya pada saya,” ujarnya. (REUTERS)