Indonesia telah memanggil duta besar dari Iran dan AS untuk menegaskan sikap Indonesia yang menginginkan penurunan eskalasi konflik. Apalagi, banyak warga negara Indonesia yang sedang berada di kawasan tersebut.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah berbulan-bulan diwarnai dinamika, perseteruan antara Amerika Serikat dan Iran di kawasan Timur Tengah memasuki status quo. Kedua negara untuk sementara diperkirakan tidak akan melakukan langkah yang dapat memicu eskalasi konflik. AS pun menggunakan strategi lain untuk menekan Iran.
Direktur Asia Selatan dan Tengah Kementerian Luar Negeri Ferdy Piay dalam diskusi Amerika Vs Iran dan Masa Depan Perdamaian Dunia yang digelar Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) di Jakarta, Kamis (23/1/2020), mengatakan, sejak pertengahan tahun hingga awal Desember 2019, perseteruan AS-Iran masuk statusquo. Sementara itu, mulai akhir 2019 hingga awal 2020 terjadi eskalasi di kawasan.
Selain Ferdy, diskusi itu juga dihadiri Ketua Program Pascasarjana Studi Timur Tengah dan Islam Sekolah Studi Strategis dan Global Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi; Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Iran, Azerbaijan, dan Turkmenistan periode 2008-2011 Iwan Wiranataatmadja; Ketua Komisi I DPR Indonesia Meutya Viada Hafid; Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) Din Syamsuddin (moderator); serta Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI Muhyiddin Djunaidi.
Hubungan AS dan Iran kembali memanas setelah AS membunuh Pemimpin Pasukan Quds Iran Mayor Jenderal Qassem Soleimani dalam serangan udara di Baghdad, Irak, pada 3 Januari 2020. Iran kemudian melancarkan serangan rudal balas dendam ke pangkalan militer AS di Irak pada 8 Januari 2020.
”Setelah aksi militer tersebut, AS menyatakan tidak akan membalas Iran yang membuat dunia menilai ada upaya deeskalasi dan ada insiden yang menimbulkan titik balik bagi Iran. Dengan demikian, mereka sekarang memasuki statusquo berikutnya,” kata Ferdy.
Menurut Ferdy, baik AS maupun Iran tengah menghadapi tantangan domestik yang rentan menimbulkan gejolak dalam negeri. Oleh karena itu, kecil kemungkinan keduanya akan melakukan langkah yang dapat kembali memicu eskalasi.
Dari sisi AS, lanjutnya, Presiden AS Donald Trump telah berjanji dalam kampanye untuk tidak menambah pasukan di Timur Tengah. Selain itu, Trump juga akan fokus menghadapi kontestasi dalam Pilpres AS pada November 2020.
Sementara itu, dari sisi Iran, Teheran tengah berupaya meredam gejolak dalam negeri. Serangan rudal Iran terhadap AS justru menjatuhkan sebuah pesawat komersial Boeing 737-800 menuju Ukraina. Sebanyak 167 penumpang dan 9 kru tewas, termasuk sejumlah warga Iran.
”Insiden itu menjadi tamparan bagi Iran karena warga akhirnya turun berdemonstrasi di jalan. Mereka mempertanyakan kemampuan Iran melindungi warga sendiri. Iran sedang berhati-hati untuk menjaga kepercayaan masyarakat,” ujar Ferdy.
Ketua Program Pascasarjana Studi Timur Tengah dan Islam Sekolah Studi Strategis dan Global Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi menambahkan, AS diperkirakan tidak akan bertindak terlalu jauh dalam menghadapi Iran. AS masih memiliki kepentingan di Timur Tengah, terutama terkait minyak.
”AS tidak akan bertindak terlalu jauh hingga menghabisi Iran. Targetnya adalah melakukan perubahan rezim di Iran,” kata Yon.
Lebih lanjut, Yon menuturkan, oleh karena itu, AS menekan Iran dengan cara yang lain, antara lain, dengan menerapkan sanksi ekonomi yang lebih kuat. Sanksi ekonomi akan berdampak negatif terhadap kehidupan rakyat. Dampak tersebut dapat memicu rasa ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang berujung pada tuntutan untuk mengganti rezim.
Strategi serupa telah dilakukan AS di masa lalu. Perdana Menteri Iran ke-35 Mohammad Mosaddegh lengser dalam kudeta yang diatur AS dan Inggris pada 1953.
Perang dunia
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Iran, Azerbaijan, dan Turkmenistan periode 2008-2011 Iwan Wiranataatmadja mengatakan, perseteruan AS-Iran kemungkinan tidak akan memicu perang dunia ketiga seperti yang ditakutkan kebanyakan orang.
”AS akan menahan diri karena dapat mengancam pasukan dan sekutu AS di kawasan akan serangan-serangan dari faksi militer Iran di Irak, Yaman, atau Suriah. AS juga ditekan oleh Eropa. Selain itu, serangan Iran kemungkinan sengaja meleset karena itu hanya merupakan upaya untuk menunjukan kekuatan militer mereka kepada AS,” kata Iwan.
Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Meutya Viada Hafid menuturkan, meskipun tidak terdampak langsung, Indonesia menggunakan segala sumber daya untuk membantu penurunan eskalasi konflik di Timur Tengah. Hal itu merupakan mandat yang tertulis dalam konstitusi untuk menjaga perdamaian dunia.
Apalagi, eskalasi di kawasan tersebut dapat menambah jumlah pengungsi yang bahkan bisa mencapai kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan transit. Harga minyak dunia juga akan melambung sehingga memengaruhi perekonomian domestik di tengah perlambatan ekonomi global.
Menurut Ferdy, Indonesia telah memanggil duta besar dari Iran dan AS untuk menegaskan sikap Indonesia yang menginginkan penurunan eskalasi konflik. Apalagi, banyak warga negara Indonesia yang sedang berada di kawasan tersebut.
Seperti yang diketahui, ketegangan antara AS dan Iran meningkat sejak Trump menarik AS mundur dari perjanjian multilateral terkait program nuklir Iran, Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), pada 2018. Trump menganggap JCPOA cacat sehingga kembali memberlakukan sanksi internasional untuk tidak mengimpor minyak dari Iran.
Iran pun mulai mengurangi komitmen dalam JCPOA secara bertahap sejak sanksi AS berlaku sepanjang 2019. Hubungan keduanya semakin memburuk menjelang akhir 2019 dan awal 2020 yang diwarnai dengan serangan militer dari kedua belah pihak.