Raja Gadungan dan Masyarakat Sakit
Kombinasi rakyat yang mengalami disorientasi, nalar yang cupet, para tokoh masyarakat dan intelektual yang sibuk dengan dunianya sendiri, mentalitas jalan pintas, serta pengail di air keruh perlu diurai serentak.
Banyak orang bingung. Di Bandung muncul Sunda Empire.
Ia berdiri untuk menyambut apa yang diklaim sebagai akhir pemerintahan dunia yang akan terjadi pada 15 Agustus 2020. Di Tasikmalaya muncul Kerajaan Selacau. Didirikan oleh konon generasi kesembilan Raja Surawisesa.
”Kerajaan” ini menuntut agar Tasikmalaya dan sekitarnya yang mereka klaim bukan wilayah hukum Indonesia segera dikembalikan kepada keturunan Raja Pajajaran itu. Di Purworejo juga muncul Keraton Agung Sejagat yang menjanjikan kebebasan dari malapetaka dan perubahan nasib yang lebih baik bagi mereka yang mau bergabung.
Berita tentang mereka serentak viral minggu lalu. Pada 2018, di Banten juga muncul Kerajaan Ubur-ubur yang konon menjanjikan kemampuan membuka kunci kekayaan dunia. Setiap kerajaan itu telah memikat ratusan hingga ribuan pengikut. Kok, bisa?
Setiap kerajaan itu telah memikat ratusan hingga ribuan pengikut. Kok, bisa?
Alih-alih sekadar menertawakan dan menyalahkan, saya melihat fenomena ini sebagai gejala yang memberi tahu betapa masyarakat kita sedang sakit.
Hanya obyek
Indonesia adalah negara besar yang terbelit banyak masalah berlapis. Tak heran jika banyak orang, terutama rakyat bawah bingung, mengalami disorientasi, krisis, bahkan frustrasi.
Dalam urusan politik, rakyat kerap dimobilisasi dengan menggunakan berbagai simbol dan jargon-jargon besar menjelang pemilu, tetapi kemudian ditinggalkan begitu saja setelah mereka selesai jadi pemilih di bilik suara.
Pengambilan kebijakan tak pernah benar-benar memedulikan lagi suara mereka. Di kehidupan sehari-hari, mereka ”bukan siapa-siapa”.
Sementara hak-hak mereka sebagai warga negara kian terjepit, tanpa penolong. Di tengah itu semua, tidak banyak tokoh dan pemimpin masyarakat yang bisa dijadikan teladan dalam menghadapi kenyataan.
Sementara hak-hak mereka sebagai warga negara kian terjepit, tanpa penolong.
Pendidikan kian mahal, tetapi ilmu pengetahuan semakin membuat mereka teralienasi, gagal memahami lingkungan dan perubahan zaman. Mengapa banyak orang begitu tak paham sejarah dan kebudayaan sendiri sehingga mereka dengan mudah ditipu fiksi mentah yang ditawarkan para pendiri kerajaan palsu?
Bukankah ini peringatan keras bagi para pendidik yang telah gagal menanamkan kompetensi asah nalar yang paling dasar?
Jika sejarah dengan begitu mudah dijungkirbalikkan, lalu dipercaya banyak orang, bukankah ini tamparan keras bagi para akademisi dan intelektual, khususnya sejarawan? Ke mana saja mereka?
Kalau orang-orang ngawur bisa mengarang sejarah dan mendapat banyak pengikut, bukankah itu berarti selama ini sejarah yang diajarkan di sekolah sulit dicerna, sejarah yang membuat banyak orang justru asing, tak relevan, dan tak ada gunanya melihat masa lalu?
Lalu, apa artinya publikasi di jurnal Scopus atau jurnal internasional yang jadi obsesi banyak akademisi dan sejarawan kita jika masyarakat dibiarkan tersesat mengunyah sejarah sampah yang ditawarkan orang-orang seperti para raja palsu itu?
Sebagaimana yang terjadi di balik munculnya ratusan ”nabi palsu” sejak Reformasi 1998, munculnya raja-raja palsu dan para pengikutnya ini adalah isyarat betapa semakin banyak orang begitu rindu ingin kembali menjadi subyek.
Mengapa banyak orang begitu tak paham sejarah dan kebudayaan sendiri sehingga mereka dengan mudah ditipu fiksi mentah yang ditawarkan para pendiri kerajaan palsu?
Mereka tidak mau terus-terusan menjadi obyek—sebagai pemilih, konsumen, pembayar pajak, umat yang diceramahi—di tengah kenyataan di mana mereka tak penting, asing, dan tak punya peran kecuali sebagai penonton.
Para nabi dan raja palsu yang kita tertawakan itu jangan-jangan justru telah berhasil membuat sebagian orang kembali merasa dekat dengan kenyataan di mana mereka punya tempat serta peran ”layak”, relevan, dan kembali jadi subyek. Mereka mungkin justru mengisi ruang kosong yang telah kita tinggalkan, tetapi secara salah.
Jalan pintas
Selain disorientasi dan frustrasi, yang membuat para raja palsu itu mendapat banyak pengikut adalah kebiasaan jalan pintas di tengah masyarakat. Mengapa ada banyak orang yang mau menyetor uang hingga ratusan juta rupiah kepada Ratu Kerajaan Agung Sejagat?
Sama seperti dalam kasus pengganda uang Dimas Kanjeng di Jawa Timur, penipuan berkedok emas batangan Bung Karno, investasi bodong MeMiles, atau penipuan umrah First Travel dan sejenisnya, yang membuat banyak orang terpikat dan akhirnya menjadi korban adalah mentalitas jalan pintas.
Banyak orang ingin kaya, hebat, atau memetik hasil secara cepat, tanpa sabar menjalani proses yang semestinya. Dalam hidup yang serba keras di mana mereka berdiri di pinggiran, sebagian orang memimpikan keajaiban.
Kebiasaan jalan pintas ini meluas karena tak sedikit dari mereka yang ditokohkan di masyarakat pun melakukan hal yang sama. Kasus-kasus korupsi yang ”mati satu tumbuh seribu” adalah buktinya.
Selain disorientasi dan frustrasi, yang membuat para raja palsu itu mendapat banyak pengikut adalah kebiasaan jalan pintas di tengah masyarakat.
Kasus seperti Sunda Empire dan Kerajaan Selacau tak bisa diatasi, terutama menurut perspektif legal formal, bahwa organisasi mereka tak terdaftar seperti diulang-ulang oleh Pemerintah Daerah Jabar. Keduanya juga tak bisa dilihat semata sebagai perkara politik, upaya mendirikan negara di dalam negara.
Jika kasusnya adalah pidana, seperti diduga telah dilakukan tokoh Kerajaan Agung Sejagat, tentu harus diproses secara hukum supaya pelakunya jera dan publik mendapat pelajaran berharga. Namun, akar masalah yang lebih dalam harus diselesaikan.
Kombinasi rakyat yang mengalami disorientasi, nalar yang cupet, para tokoh masyarakat dan intelektual yang lebih sibuk dengan dunianya sendiri, mentalitas jalan pintas, serta munculnya para pengail di air keruh perlu diurai serentak.
Negara harus hadir untuk memainkan peran yang riil agar rakyat bisa menjadi subyek, bukan terus-terusan jadi obyek. Karena perannya yang sangat strategis dalam anyaman perkara ini, secara khusus pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, perlu re-evaluasi dan re-orientasi fundamental.
Tanpa itu, bukan tak mungkin kasus raja-raja palsu kian merajalela di mana-mana dan kita sibuk mengatasi masalah hanya di permukaan, ibarat mengobati rasa gatal dengan menggaruknya.
Di tengah banyak orang bingung, siapa pun yang tampak meyakinkan bisa memberi arah, betapapun gilanya, asal konsisten, ia akan mendapat pengikut.
Karena perannya yang sangat strategis dalam anyaman perkara ini, secara khusus pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, perlu re-evaluasi dan re-orientasi fundamental.
Itulah yang dilakukan oleh para raja-raja gadungan. Dalam situasi begitu, kita membutuhkan para tokoh dan intelektual yang tak ikut-ikutan bingung, tetapi yang bisa memberi penjelasan dan menjernihkan masalah.
(Achmad Munjid, Pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM)