Jiwasraya, Bumiputera, dan Asabri diduga mengalami kerugian investasi dalam jumlah besar. Ke depan, industri asuransi harus lebih fokus berbisnis proteksi ketimbang investasi.
JAKARTA, KOMPAS -- Persoalan yang membelit perusahaan asuransi jiwa, seperti PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, dan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera, tidak hanya dipicu oleh tata kelola yang buruk dan lemahnya pengawasan, tetapi juga karena struktur industri asuransi yang kurang seimbang. Ke depan, industri asuransi harus lebih fokus berbisnis proteksi ketimbang investasi.
Jiwasraya, Bumiputera, dan Asabri diduga mengalami kerugian investasi dalam jumlah besar. Akibatnya, Jiwasraya gagal membayar klaim nasabah sebesar Rp 12,4 triliun, sedangkan Bumiputera mencapai Rp 9,6 triliun hingga akhir 2019. Perusahaan asuransi jiwa cenderung menginvestasikan dana premi nasabah mereka pada instrumen-instrumen berisiko tinggi guna mengejar imbal hasil yang besar. Perusahaan asuransi memburu keuntungan investasi yang tinggi agar bisa mengembalikan dana investasi nasabah dengan imbal hasil yang besar pula sebagai daya tarik.
Kondisi ini akhirnya membuat perusahaan asuransi lebih dominan berbisnis investasi ketimbang proteksi. ”Investasi sebenarnya bukanlah fitrah dari bisnis industri asuransi. Namun, banyak perusahaan asuransi yang lebih asyik bermain investasi ketimbang fokus menggarap lini bisnis proteksi,” kata pengamat asuransi Irvan Rahardjo, awal pekan ini, di Jakarta.
Industri asuransi harus lebih fokus berbisnis proteksi ketimbang investasi.
Indikasi perusahaan asuransi lebih fokus bermain investasi ketimbang proteksi tecermin dari perbandingan premi unit link dan premi asuransi tradisional. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, total pendapatan premi yang dihimpun industri asuransi jiwa hingga triwulan III-2019 tercatat sebesar Rp 171,83 triliun. Dari jumlah itu, premi unit link mendominasi dengan porsi mencapai 63 persen.
Unit link merupakan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi. Nasabah membayar premi yang ditujukan untuk proteksi sekaligus investasi dengan porsi investasi biasanya lebih besar. Saat jatuh tempo, nasabah dapat menarik dana investasi berikut imbal hasil yang dijanjikan. Adapun produk tradisional merupakan produk yang murni untuk proteksi. Artinya, jika tidak ada klaim, nasabah tidak dapat menarik dananya kembali.
Menurut Irvan, kondisi itu menandakan industri asuransi sangat mengandalkan bisnis investasi sebagai sumber keuntungan. Ini membuat struktur industri asuransi kurang seimbang mengingat keahlian perusahaan asuransi sebenarnya terletak pada bisnis proteksi, bukan investasi.
Produk JS Saving Plan yang dijual Jiwasraya merupakan sejenis unit link dengan imbal hasil yang dijanjikan kepada nasabah berkisar 9-13 persen per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bunga deposito dan Surat Utang Negara. Produk unit link awalnya ditujukan untuk mendorong gairah industri asuransi jiwa. Itu karena jika hanya menjual produk asuransi tradisional, masyarakat dinilai kurang tertarik membeli asuransi.
Saat ini pun, penetrasi asuransi jiwa hanya 6,5 persen dari total penduduk Indonesia, sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia Togar Pasaribu mengatakan, tantangan ke depan terkait dengan produk unit link adalah kehati-hatian dalam pengelolaan investasi.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, pihaknya akan mereformasi industri keuangan nonbank (IKNB), termasuk asuransi. Tiga fokus utama OJK dalam melakukan reformasi IKNB adalah penguatan pengawasan berbasis risiko yang meliputi aspek kehati-hatian dan tata kelola manajemen risiko, reformasi institusional yang meliputi penetapan status pengawasan, serta reformasi infrastruktur yang meliputi sistem informasi dan pelaporan kepada OJK.
Selain mereformasi pengawasan dan tata kelola industri, lanjut Wimboh, ekosistem IKNB juga perlu dibenahi agar harmonisasi cara kerja dengan lembaga-lembaga lainnya bisa berjalan dengan baik.