Ribuan guru swasta di seluruh daerah mendapatkan upah jauh di bawah standar upah minimum daerah itu. Sejumlah persoalan dihadapi guru di sekolah swasta, yang jarang terpantau pemerintah.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Ribuan guru swasta di seluruh daerah mendapatkan upah jauh di bawah standar upah minimum daerah itu. Sejumlah persoalan dihadapi guru di sekolah swasta, yang jarang terpantau pemerintah. Kondisi ini mendorong guru bersangkutan mencari pekerjaan tambahan selain mengajar di sekolah itu.
Sekretaris Jenderal Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat Pastor Darmin Mbula OFM, di Kupang, Jumat (24/1/2020), mengatakan, dalam kunjungan ke sekolah-sekolah swasta di sejumlah provinsi, keluhan paling sering didengar adalah kesejahteraan guru. Yayasan pendidikan itu tidak memberikan upah yang layak kepada guru swasta sehingga berdampak secara keseluruhan pada sistem pendidikan swasta itu sendiri.
”Mereka diberi upah jauh dari standar UMR (upah minimum regional). NTT misalnya sebesar Rp 1.950.000, tetapi guru antara Rp 300.000-Rp 1,5 juta per bulan. Meski demikian, guru tetap setia mengajar. Mereka tidak ingin pendidikan anak-anak telantar hanya karena upah itu,” tutur Darmin.
Jumlah pendidikan swasta di seluruh Indonesia sekitar 30.000 unit, mulai dari tingkat SD hingga SMA atau sederajat. Kualitas pendidikan swasta berbeda-beda. Ada yang sangat bagus, tetapi ada pula yang masih jauh dari harapan. Pendidikan swasta mayoritas menerima siswa dari keluarga kurang mampu.
Mereka diberi upah jauh dari standar UMR (upah minimum regional). NTT misalnya sebesar Rp 1.950.000, tetapi guru antara Rp 300.000-Rp 1,5 juta per bulan. Meski demikian, guru tetap setia mengajar. Mereka tidak ingin pendidikan anak-anak telantar hanya karena upah itu.
Ia mengatakan, gaji guru yang rendah berpengaruh terhadap seluruh proses belajar-mengajar. Guru tidak dipacu untuk berkreasi, berinovasi, dan berkorban demi kemajuan sekolah itu.
Selain masalah gaji, sarana dan prasarana sekolah pun terbatas. Siswa masih lebih sering dipaksa menghafal dari buku-buku ketimbang siswa diajari memahami dan memecahkan sebuah masalah. Guru-guru lebih mengejar materi agar bisa mengikuti ujian nasional (UN) atau ujian nasional berbasis komputer (UNBK) ketimbang memberikan pemahaman kepada siswa untuk memahami materi dan memecahkan masalah.
Guru-guru swasta termasuk kepala sekolah paling takut pada pengawas sekolah yang berstatus PNS karena merasa sebagai bawahan. Setiap pengawas datang, mereka harus menyediakan segala sesuatu, termasuk memberi penghormatan dan penghargaan kepada pengawas bersangkutan. Kondisi ini membuat guru kurang mampu mengembangkan diri karena takut mendapat teguran dari pengawas.
Belum ada kemauan
Belum ada kemauan guru swasta untuk terus belajar, mengembangkan diri mentransfer ilmu pengetahuan yang dimiliki kepada siswa. Mereka menggunakan metode belajar yang relatif statis dari tahun ke tahun.
Guru swasta belum mampu mengeksplorasi sumber daya alam sekitar untuk menghasilkan sesuatu bagi pengembangan pengetahuan siswa, yang berdampak bagi kepentingan masyarakat.
”Belum ada komputer yang memadai. Banyak sekolah swasta tidak dilengkapi Wi-Fi di sekolah sehingga siswa sangat sulit mengakses internet sebagai bahan belajar,” lanjut Darmin.
Direktur Yayasan Pendidikan Surya Mandala Kupang Yoseph Blikolong mengatakan, SMP Surya Mandala di Oesapa, Kupang, sebagian besar menerima siswa dari keluarga miskin atau anak-anak bandel yang dikeluarkan dari sekolah negeri.
Mereka sebagian besar berasal dari keluarga pemulung, tukang sapu jalan, dan pendorong gerobak pasar. Siswa pun sebagian berstatus sebagai pendorong gerobak di pasar-pasar di Kupang.
Kami tidak tega mendesak mereka membayar berbagai biaya, seperti uang pembangunan, uang sekolah, beli seragam, termasuk pakaian olahraga. Berapa pun mereka beri, kami terima.
Ia mempekerjakan 12 guru untuk menangani 86 siswa SMP setempat. Para guru ini hanya diberi uang transportasi Rp 200.000-Rp 500.000 per bulan. Itu pun kalau anak-anak rutin membayar uang sekolah.
Sekolah ini merupakan sekolah swasta, tetapi pengelola tidak memungut uang dari siswa. Alasannya, murid-murid umumnya berasal dari keluarga miskin. ”Kami tidak tega mendesak mereka membayar berbagai biaya, seperti uang pembangunan, uang sekolah, beli seragam, termasuk pakaian olahraga. Berapa pun mereka beri, kami terima. Seperti uang sekolah Rp 50.000 per bulan tetapi kadang mereka hanya beri Rp 5.000 pun kami terima,” tutur Yoseph.
Martha Hadi (28), guru di SMP Surya Mandala Kupang, mengatakan tidak menyiapkan materi pelajaran sebelum masuk kelas. Ia memilih pekerjaan sampingan, yakni sebagai penjaga toko milik orang pada sore hari. Di sekolah ia dibayar Rp 100.000 per bulan, itu pun tidak rutin, sementara di toko ia dibayar Rp 1,2 juta per bulan.
Ia mengatakan sebenarnya sudah meninggalkan sekolah tersebut, tetapi tidak tega meninggalkan siswa-siswa miskin dan tak berdaya itu. Tidak ada guru lain yang bakal masuk mengajar di sekolah itu karena tidak mendapat upah memadai.
Di sisi lain, lanjutnya, saat ini sangat sulit mencari kerja. Di Kota Kupang terdapat sekitar 300.000 penganggur tak kentara, berijazah sarjana. Terdapat 12 perguruan tinggi di Kota Kupang yang setiap tahun mewisuda sekitar 20.000 sarjana, sementara lowongan kerja tidak ada.
”Teman saya sarjana pendidikan memilih menjadi TKI di Malaysia. Ia berencana mengumpulkan uang di Malaysia, setelah itu kembali membuka usaha pribadi. Sudah tiga tahun di Malaysia, tetapi belum pulang juga,” tutur Martha.