Kisruh internal di Televisi Republik Indonesia terus berulang. Persoalan yang melilit Lembaga Penyiaran Publik ini merupakan soal prioritas program atau konten serta tata kelola anggaran.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Kisruh internal di Lembaga Penyiaran Publik terus-menerus berulang. Jika diurai dan ditelusuri substansinya, ternyata pemecatan Direktur Utama TVRI Helmy Yahya memiliki pola sama dengan kasus-kasus TVRI sebelumnya. Persoalan yang berulang kali melilit Lembaga Penyiaran Publik ini merupakan soal prioritas program atau konten serta tata kelola anggaran.
Pascapemberhentian Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI 16 Januari 2020 lalu, Pendiri Rumah Perubahan LPP sekaligus Doktor Kajian Sistem Penyiaran Publik di University of Munich, Masduki, menilai langkah-langkah yang dilakukan Komisi I DPR dalam menyikapi konflik internal TVRI masih cenderung reaksioner.
“Komisi I DPR menjadi semacam pemadam kebakaran. Mereka memanggil Dewan Pengawas TVRI, akan panggil Direksi dan Dirut TVRI, lalu meminta (digelar) investigasi keuangan. Ini pendekatan solusi yang amat tentatif dan tidak mendasar,” ujarnya, Jumat (24/1/2020).
Apabila Komisi I DPR benar-benar mau serius menangani TVRI, mereka seharusnya meminta agar TVRI diaudit total oleh lembaga independen, mulai dari sisi keuangan, sumber daya manusia, konten, dan sebagainya. Dengan demikian, pada akhirnya bisa ditemukan kesimpulan apakah TVRI masih layak menjadi Lembaga Penyiaran Publik atau dikembalikan menjadi lembaga pemerintah saja, atau bahkan kalau perlu dibubarkan saja.
Selanjutnya, setelah ada keputusan itu, DPR dan pemerintah mesti segera membahas Undang-Undang tentang Radio dan Televisi Republik Republik Indonesia (RTRI) sebagai payung hukum penyiaran publik ke depan yang tidak berarti harus TVRI sebagai lembaga pelaksananya.”Bila ini tidak dilakukan dan kita hanya fokus soal isu-isu konten lokal versus asing, kita hanya terjebak logika bisnis TV dan TVRI yang enggak akan selesai, capek kita,” paparnya.
Kampanye lemah
Konsep dasar tentang Lembaga Penyiaran Publik, baik itu TVRI maupun Radio Republik Indonesia sebenarnya telah dibangun lama sejak disahkannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sayangnya, sosialisasi di masyarakat sangat lemah, sehingga banyak warga tidak memahami apa itu Lembaga Penyiaran Publik. Karena itu, tidak jarang banyak yang membandingkan TVRI dengan televisi-televisi swasta yang sebenarnya masuk dalam kategori lain, yaitu Lembaga Penyiaran Swasta.
“Ini menunjukkan kampanye soal Lembaga Penyiaran Publik di kelas menengah masih lemah. Kampanye paling efektif sebenarnya bisa lewat program-proram TVRI dan RRI yang berkualitas dan relevan. Masalahnya justru di sini,” kata Masduki.
Oleh karena itulah, Masduki lebih setuju apabila penyelesaian masalah di TVRI dilakukan secara internal melalui musyawarah Dewan Pengawas dan Direksi atau lewat pengadilan, bukan penyelesaian politik yang terbukti gagal.
Ini menunjukkan kampanye soal Lembaga Penyiaran Publik di kelas menengah masih lemah. Kampanye paling efektif sebenarnya bisa lewat program-proram TVRI dan RRI yang berkualitas dan relevan.
Beda dengan televisi swasta
Pasal 14 Undang Undang Penyiaran mengategorikan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik bersama Radio Republik Indonesia. Lembaga Penyiaran Publik adalah lembaga penyiaran berbentuk badan hukum yang didirikan negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
Sementara Lembaga Penyiaran Swasta atau televisi swasta diatur dalam pasal lain, yaitu pasal 16 UU Penyiaran yang mendefinisikan Lembaga Penyiaran Swasta sebagai lembaga penyiaran bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia dengan bidang usaha menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
Jika berpegang dari dua definisi di atas, Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Swasta jelas memiliki perbedaan mendasar. Menurut Ketua Panitia Khusus UU Penyiaran 2002, sekaligus pengamat penyiaran, Paulus Widiyanto, terminologi Lembaga Penyiaran Publik adalah jangkauan, sedangkan Lembaga Penyiaran Swasta adalah rating. Karena itulah, Lembaga Penyiaran Publik harus mendorong partisipasi publik, bukan membuat audiens jadi konsumen.
Prinsip independensi, netralitas, dan kewajiban memberikan layanan untuk kepentingan publik merupakan keniscayaan yang melekat pada Lembaga Penyiaran Publik, baik TVRI maupun RRI. Untuk menjamin tiga prinsip mendasar itu, Lembaga Penyiaran Publik semestinya diatur dengan UU khusus.
Sayangnya, di Indonesia Lembaga Penyiaran Publik masih diatur jadi satu bersama lembaga-lembaga penyiaran lain dalam UU Penyiaran. Di sejumlah negara maju, keberadaan LPP diatur melalui UU tersendiri. Di Australia, misalnya, penyiaran publik diatur melalui ABC Act, demikian pula BBC di Inggris diatur dengan Royal Charter.