Naik Turun Nasib Petani Kratom
Kratom menjadi sandaran hidup petani di Kalimantan setelah harga komoditas perkebunan rakyat merosot.
Kratom menjadi sandaran hidup petani di Kalimantan setelah harga komoditas perkebunan rakyat merosot. Namun, petani resah setelah kratom masuk golongan narkotika. Penghasilan mereka terancam dan anak-anak bisa putus sekolah.
Beberapa tahun belakangan, tanaman kratom (Mitragyna speciosa) menjadi sandaran hidup petani di Kalimantan setelah harga komoditas perkebunan rakyat merosot. Namun, sejak Badan Narkotika Nasional mengumumkan kratom masuk daftar narkotika golongan I dan bakal dilarang beredar mulai 2022, para petani dan pengepul pun resah. Mereka khawatir periuk nasinya terjungkir.
Sumiati (39), petani kratom di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, membentangkan terpal di halaman rumahnya, Minggu (10/11/2019). Di atas terpal, ia menjemur 627 kilogram (kg) daun kratom atau purik.
”Kalau cuaca bagus, dua hari saja sudah kering. Kebetulan hari ini cuaca bagus,” ujarnya.
Sumiati memiliki 3.000 batang kratom yang ditanam di tepi Sungai Kapuas. Dulu kratom tumbuh liar di hutan dan pinggir sungai. Tingginya 3-10 meter. Tiga tahun terakhir, sejak tanaman itu menjanjikan secara ekonomi, Sumiati dan suaminya, Alexander (40), mencari bibit ke hutan dan menanam kratom.
Mereka pernah memiliki kebun karet, tetapi sejak harga karet tinggal Rp 6.000-an per kg, pohon karet pun ditebang diganti kratom. Keuntungan bersih setelah dipotong biaya tenaga kerja untuk memupuk, memetik, dan menjemur daun kratom, Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per bulan. Penghasilan itu mereka gunakan untuk hidup sehari-hari dan membiayai anak sekolah. Mereka bingung jika kratom dilarang. Belum ada komoditas pengganti yang harganya bagus.
Geliat kratom sebagai penopang perekonomian sangat terasa di setiap sudut. Sepanjang tepi Sungai Kapuas, dari Putussibau hingga wilayah Nanga Embaloh, dipenuhi tanaman kratom. Halaman rumah penduduk dipenuhi tumpukan daun kratom yang dijemur.
Petani lain, Ali Agusalim (39), sedang membuat remahan kratom. Ia merancang sendiri alat sederhana penghancur daun kratom kering. Dulu, ia menjadi buruh di pasar dan tukang bangunan. Kehidupannya membaik setelah menanam kratom pada 2010. Kini, Ali memiliki 400 batang kratom. Sekali panen 700 kg. Setelah jadi remahan, beratnya 200 kg. Harga kratom basah Rp 5.000-Rp 6.000 per kg, sedangkan harga kratom remahan Rp 22.000 per kg.
Berhenti total
Di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, kratom juga membawa harapan bagi nelayan di hulu Sungai Mahakam di tengah minimnya tangkapan ikan akibat surutnya sungai. Namun, pelarangan kratom membekukan harapan itu.
Selasa (26/11/2019), Ijad (52) menunjukkan timbangan digital dan timbangan duduk di teras rumahnya di Desa Liang, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara. Timbangan itu menganggur sejak Maret 2019. Sebelumnya, hampir setiap hari alat itu dipakai untuk menimbang daun kratom. Ijad dulu pengepul ikan, sejak pertengahan 2015, ia beralih menjadi pengepul daun kedemba, sebutan kratom di Kutai Kartanegara.
Kegiatan jual-beli daun kratom kini berhenti total karena permintaan dari Kalbar tidak ada. Daun kratom kirimannya belum terjual oleh pemesan di Kalbar. Imbasnya, Ijad belum menerima pembayaran. ”Sebanyak Rp 2 miliar lebih belum dibayarkan ke saya. Saya tidak bisa membayarkan sekitar Rp 300 juta daun kratom dari nelayan yang mengepul ke saya,” ujarnya.
Nasib serupa dialami Yusnah (48), pengepul lain kratom di Desa Liang. Yusnah banting setir menanam cabai, singkong, dan kacang di lahannya.
Di Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, kratom dibudidayakan para nelayan sejak pertengahan 2018. Warga umumnya menjual daun kratom basah ke Desa Liang. ”Hampir tiga tahun air sungai tidak pernah naik sehingga ikan besar sulit didapat,” kata Rizal (32), nelayan Desa Pela. Dari 100 kg daun kratom basah, ia mendapat Rp 300.000.
Terjerat utang
Peracik teh daun sapat di Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, juga merana setelah daun kratom masuk daftar narkotika golongan I. Daun sapat yang dikenal sebagai tanaman herbal dan tumbuh liar di hutan Tabalong ternyata sama dengan kratom.
Tahun 2016, terbit surat edaran Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tentang Pelarangan Penggunaan Mitragyna speciosa (Kratom) dalam Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan. Dalam surat dinyatakan, berdasarkan Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.23.3644 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan pada Lampiran 3 serta Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka pada Lampiran 14, kratom termasuk daftar bahan yang dilarang digunakan dalam suplemen makanan dan obat tradisional.
Warga Tanjung, pasangan suami-istri Edy Rakhman (37) dan Siti Bariah (27), yang ditemui Kamis (21/11/2019), mengeluh sudah lima bulan jarang menerima pesanan. Sebelumnya, Edy dan Siti selalu sibuk meracik dan mengemas teh daun sapat. Permintaan teh herbal itu terus mengalir, mencapai 50 kotak per minggu. Satu kotak dijual Rp 25.000 berisi 15 kantong teh celup. ”Pesanan datang
dari daerah-daerah, bahkan beberapa kali dari luar negeri karena kami jual secara daring (online),” tutur Edy. Mereka mempekerjakan empat tetangganya dan diupah harian.
Teh daun sapat, diklaim Edy, berkhasiat mengobati berbagai macam penyakit, seperti sakit pinggang, susah buang air kecil, diabetes, asam lambung, dan kolesterol tinggi. Selain itu, berkhasiat mengatasi kecanduan narkoba dan menambah stamina.
”Ulun (saya) tahu daun sapat bisa mengobati sakit pinggang dari mama. Kata sidin (beliau), itu obat orang zaman bahari,” ujarnya. Dulu, tanaman yang tumbuh liar di hutan itu hanya dipetik daunnya dan direbus sebagai obat tradisional. Agar tahan lama, daun sapat dijemur lalu diblender dan disangrai. Kemudian dikemas seperti teh celup.
”Setelah mendapat izin produk industri rumah tangga (P-IRT) dari Dinas Kesehatan, obat herbal itu kami pasarkan,” kata Edy. Produk mereka pernah jadi produk unggulan usaha mikro, kecil, dan menengah Tabalong. ”Kami
sering diajak pameran, bahkan sampai ke Jakarta,” ujarnya.
Untuk tambahan modal usaha, Edy dan Siti mengajukan pinjaman ke bank pada 2017. Mereka mendapat kredit usaha rakyat dari Bank BRI Rp 25 juta dengan jangka waktu pembayaran 36 bulan. ”Kami membayar sekitar Rp 800.000 per bulan,” ujar Edy.
Selama dua tahun, pembayaran kredit berjalan lancar. Namun, memasuki tahun ketiga, pembayaran kredit mulai tersendat, bahkan sempat menunggak.
”Sejak ramai diberitakan bahwa daun kratom termasuk narkoba, tiba-tiba akun kami di beberapa situs penjualan online dinonaktifkan. Kami tidak bisa jualan lagi,” tutur Edy. Beberapa pelanggan juga tak lagi memesan teh herbal daun sapat karena takut mengonsumsi narkoba.
Edy dan Siti mengaku pasrah jika pemanfaatan daun sapat dilarang serta dihindari masyarakat yang sadar bahaya narkoba. ”Cuma sedih aja, utang belum lunas, usaha sudah tidak jalan,” kata Edy sambil menghela napas.
Edy dan para petani kratom menyadari aturan harus ditegakkan. Namun, selayaknya pemerintah pusat dan daerah mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mencarikan alternatif sumber penghasilan agar hidup mereka tak makin terpuruk. (ESA/CIP/JUM)