JAKARTA, KOMPAS— Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2019 sedikit meningkat dibandingkan dengan 2018. Meskipun demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk membersihkan Indonesia dari korupsi, seperti menjaga iklim pemberantasan korupsi yang ditengarai mengalami kemunduran setelah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi direvisi menjadi UU No 19/2019.
Pengusutan dugaan suap berkaitan dengan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR yang melibatkan komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, dan bekas calon anggota legislatif dari PDI-P, Harun Masiku, menjadi salah satu ujian penting terkait dengan iklim pemberantasan korupsi di Indonesia pada saat ini berikut masa depannya.
Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, Syamsuddin Haris, saat peluncuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang digelar Transparency International ·Indonesia (TII), Kamis (23/1/2020) di Jakarta, menuturkan, kritik dan tekanan dari publik serta kelompok sipil menjadi garda penting dalam menjaga semangat pemberantasan korupsi di Tanah Air. Pemerintah, partai politik, dan KPK harus terus ”digonggongi”.
Skor IPK Indonesia tahun 2019 adalah 40, meningkat dari tahun 2018 yang ada di skor 38. Dengan skor itu, Indonesia naik dari peringkat ke-89 menjadi ke-85 dari total 180 negara yang diteliti. Skor 0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih.
Tantangan terbesar
Sekretaris Jenderal TII Dadang Tri Sasongko mengatakan, revisi UU KPK menjadi tantangan terbesar pemberantasan korupsi di Tanah Air pada saat ini. Revisi itu, menurut dia, menggambarkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi. Hal itu bertentangan dengan agenda pemerintah yang ingin memprioritaskan peningkatan investasi asing dan pertumbuhan ekonomi.
Dadang menjelaskan, mayoritas responden penelitian TII adalah investor dan pengusaha. ”Iklim pemberantasan korupsi yang melemah, didukung tren munculnya deregulasi bidang investasi dan ekonomi, akan memunculkan risiko,” katanya.
Peneliti Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Imam, menambahkan, adanya kehendak politik (political will) yang kuat menjadi kunci kesuksesan gerakan antikorupsi. Ironisnya, saat ini ditengarai terjadi kemunduran dukungan terhadap kerja-kerja antikorupsi.
Menurut Direktur Hukum dan Regulasi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Prahesti Pandanwangi, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, fokus kebijakan dan strategi pemerintah pada aspek pemberantasan korupsi fokus pada penguatan implementasi strategi nasional pencegahan korupsi dan optimalisasi mekanisme pemulihan dan pengelolaan aset.
”Arah kebijakan pemerintah di bidang antikorupsi sudah jelas. Memang kami melihatnya dari upaya pencegahan, tetapi itu yang terbaik yang bisa kami masukkan. Antikorupsi itu harus di semua sektor, tidak bisa hanya dalam rangka penegakan hukum, tetapi upaya pencegahannya bagaimana,” kata Prahesti.
Ia menegaskan, pemerintah tidak memakai kacamata kuda dan menutup mata terhadap kritik dan kontrol publik dan kelompok masyarakat sipil.
Yasonna dilaporkan
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke KPK. Yasonna dilaporkan karena diduga menghalang-halangi proses penyidikan kasus suap terkait PAW anggota DPR yang ditengarai melibatkan Wahyu Setiawan dan Harun Masiku. Dugaan ini berawal dari kesalahan Yasonna memberikan informasi keberadaan Harun.
Pada 16 Januari 2020, Yasonna mengatakan Harun masih berada di luar negeri sejak 6 Januari 2020. Namun, Rabu (22/1), jajaran Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham mengubah informasi dengan menyatakan Harun telah kembali ke Indonesia pada Selasa, 7 Januari, atau sehari sebelum KPK menangkap Wahyu.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, Yasonna menyebar informasi yang tidak benar saat penyidikan kasus dugaan suap itu dimulai 9 Januari 2020. Karena itu, Yasonna patut diduga menghalangi proses hukum (obstruction of justice) yang diatur dalam Pasal 21 UU KPK dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara.
”Sebenarnya, kan, sederhana. Mereka (Kemenkumham) tinggal mengecek closed circuit television (kamera pemantau) di bandara bagian kedatangan internasional. Rentang dua minggu kami pandang tak cukup membenarkan alasan Ditjen Imigrasi,” ujar Kurnia.
Deputi Koordinator Advokasi Kontras Putri Kanesia menambahkan, Yasonna seharusnya memberikan informasi yang valid, bukan informasi yang kurang jelas dan diklarifikasi kemudian.
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, KPK masih terus memburu Harun. Berbagai upaya ditempuh untuk mencari Harun, antara lain dengan menelusuri berbagai informasi dari masyarakat.
”Terkait dengan pencarian Harun, kami sudah sampaikan dan melakukan upaya penangkapan. Anggota sudah bekerja. Saya juga meminta masyarakat yang melihat untuk melaporkan. Yang bersangkutan juga sudah kami minta menyerahkan diri karena bagaimanapun, cepat atau lambat, pasti akan kami tangkap,” tutur Firli.
Kepolisian Negara Republik Indonesia juga terus mencari keberadaan Harun yang dipastikan berada di Indonesia. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Argo Yuwono mengatakan telah menganalisis sejumlah lokasi yang kemungkinan menjadi tempat persembunyian Harun.
(AGE/SAN/REN/SHR/NIA/DVD)