Politisi Kurang Minati Investasi Kebudayaan
Gerakan kebudayaan sulit diukur secara material, dan hasilnya pun baru bisa terlihat setelah 25 tahun atau lebih. Karena itu, gerakan ini seringkali tidak menjadi prioritas dalam program pemerintah.
Gerakan kebudayaan sulit diukur secara material, dan hasilnya pun baru bisa terlihat setelah 25 tahun atau lebih. Karena itu, gerakan ini seringkali tidak menjadi prioritas dalam program pemerintah.
PANARAGAN, KOMPAS — Gerakan kebudayaan seringkali bukan menjadi pilihan yang menarik bagi para politisi. Sebab, “investasi” kebudayaan baru bisa menunjukkan hasilnya dalam waktu yang lama, sementara masa jabatan politisi hanya singkat sekitar lima hingga sepuluh tahun.
Oleh karena itu, tidak banyak politisi baik di tingkat pusat maupun daerah yang mau total melakukan gerakan kebudayaan di wilayah mereka. “Saya selalu mengampanyekan, mustahil seorang politisi mengambil jalan kebudayaan karena kebudayaan itu baru bisa dapat hasilnya 25 tahun atau lebih. Padahal, jabatan-jabatan politik hanya lima hingga sepuluh tahun. Jadi, sangat luar biasa apabila ada seorang politisi yang mau melakukan gerakan kebudayaan,” kata antropolog sekaligus budayawan Makassar, Halilintar Lathief, Kamis (23/1/2020), dalam Sarasehan Sharing Time: Megalithic Millennium Art di Balai Adat Sessat Agung, Tubaba, Lampung.
Menurut Halilintar, rezim Orde Baru sudah terlampau lama membentuk masyarakat Indonesia menjadi publik yang kapitalis, segala sesuatu cenderung dinilai dari sisi materi. Maka dari itu, gerakan-gerakan kebudayaan yang sulit diukur secara material tidak pernah menjadi prioritas utama dalam program-program pemerintahan.
Meski di daerah lain gerakan-gerakan kebudayaan kurang terlalu diminati, tapi Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung mencoba memulai langkah itu beberapa tahun terakhir. Bupati Tulang Bawang Barat Umar Ahmad membangun beberapa titik lokasi dengan konsep taman megalitik atau taman purbakala, antara lain di Las Sengok, Ulluan Nughik, dan Sessat Agung. Tujuan utama pembangunan taman purbakala adalah membangun kesadaran publik untuk merawat dan mencintai lingkungan.
Di beberapa kawasan tersebut, Umar menambahkan aksen-aksen megalitik dengan menata batu-batuan besar sebagai ornamen. Di Las Sengok di Tiyuh Karta misalnya, dibangun ruang terbuka yang dikelilingi rawa dengan hiasan batu-batu besar dengan formasi berbentuk bintang Orion.
“Rasi bintang Orion adalah rasi bintang yang selalu tampak dari mana saja. Ini menunjukkan Tubaba (Tulang Bawang Barat) sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja, terutama bagi mereka yang memiliki visi untuk menjaga kelestarian lingkungan,” kata Umar.
Baca juga: Taman Megalitik untuk Bangun Kesadaran Ekologis
Ruang terbuka Las Sengok menjadi semacam “gerbang” yang berada di sisi selatan. Pemilihan rasi bintang Orion berdasarkan titik lokasi di kawasan itu yang disebut penyile’an yang artinya silahkan, kata-kata yang diucapkan saat menyambut tamu dan melepas tamu.
Las Sengok dahulu kala adalah hutan larangan yang dianggap angker. Sebutan tempat tersebut sebagai hutan yang angker merupakan konsep yang dijalankan leluhur dahulu untuk mengajak masyarakat sekitar menjaga kelestarian hutan, merawat sumber-sumber mata air dan flora fauna yang ada.
Penuh dengan simbol
Di Las Sengok, kegiatan Sharing Time: Megalithic Millennium Art dibuka dengan penanaman bibit pohon bersama, pelepasan ikan, pelepasan kerbau, dan peletakan batu. Ke depan, Las Sengok akan dikembangkan menjadi hutan lindung Q-Forest.
“Di tempat itu dimunculkan banyak simbol, mulai dari kerbau, ikan, hingga kura-kura. Kura-Kura adalah simbol penting, salah satunya bagi orang Bajo. Kalau sudah menetas ia akan pergi dan baru kembali ketika hendak bertelur. Saat pergi mengelana, ia sangat tahan banting, bertahun-tahun hidup dengan tempurungnya, kuat mempertahankan kepribadian dan kebudayaannya. Meski demikian, dia tetap mengintip lewat jendela sempitnya ke dunia yang luas,” tambah Halilintar.
Diane Butler, seniman gerak sekaligus pimpinan Dharma Nature Time, Bali menambahkan, alam akan memengaruhi dan mengilhami munculnya cara-cara ekspresi budaya. “Alam menyadarkan kembali kepada kita bahwa kita merupakan bagian dari semua ekosistem. Di Tubaba, kita bisa belajar menajamkan kepekaan semua indera, mulai dari penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan, dan pengucapan, serta pengalaman-pengalaman kesadaran tubuh,” ucapnya.
Alam menyadarkan kembali kepada kita bahwa kita merupakan bagian dari semua ekosistem.
Kabupaten Tulang Bawang Barat dikembangkan dengan visi membangun wilayah yang memiliki atmosfer kebudayaan sekaligus wilayah berwawasan ekologis. Selain itu, pendidikan ekologis juga diperkenalkan kepada anak-anak lewat kesenian.
Dalam lima tahun terakhir anak-anak di Tulang Bawang Barat bisa berlatih kesenian seperti teater, sastra, seni rupa, musik, film, fotografi dan tari. Mereka juga berlatih pendidikan ekologi dengan melakukan gerakan tidak membuang sampah sembarangan, pengurangan sampah plastik, menanam pohon hingga belajar pertanian permakultur.
Dalam rangka merespon gerakan kebudayaan di Tulang Bawang Barat, pemkab setempat menggelar Sharing Time: Megalithic Millennium Art yag digelar 22-26 Januari 2020. Sebanyak 26 penyaji dari dalam dan luar negeri hadir dalam kegiatan budaya ini. Mereka mengikuti rangkaian sarasehan, lokakarya dan pertunjukan yang diselenggarakan di berbagai titik lokasi.
Para penyaji yang hadir meliputi Andy Burnham (arkeolog, pendiri dan editor situs web Megalithic Portal, Inggris), Alex Gebe (seniman, anggota Teater Kober, Lampung), Ari Rudenko (seniman lintas disiplin dari Amerika Serikat), Anna Thu Schmidt (penari asal Jerman), Agus Sangishu (Rumah Tari Sangishu, Lampung) Bettina Mainz (penari, guru dan terapis trauma dari Jerman) yang pentas kolaborasi bersama suaminya Rodolfo Mertig (fisikawan) dan anak mereka Sebastian Mainz-Mertig.
Hadir pula Daniel Oscar Baskoro (periset Yogyakarta yang berbasis di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat), Dian Anggraini (penari dan dosen asal Lampung), Diantori Dihan (koreografer, pimpinan Gar Dancestory, Lampung), Edhyitia Rio (komposer, anggota Orkes Ba’da Isya, Lampung), Frances Rosario (seniman, Amerika Serikat), Prof Haris Sukendar (arkeolog Indonesia), Diane Butler (seniman gerak, pimpinan Dharma Nature Time, Bali), Halilintar Latief (antropolog asal Makassar).
Ada pula Keith Miller (inspektorat Monumen Kuno untuk English Heritage, Inggris), Katsura Kan (seniman Butoh asal Jepang), Margit Galanter (penyair tari dan instigator kebudayaan, Amerika Serikat), Mara Poliak (perfomer, Amerika Serikat), Moris Shakaia (performer, Russia), Peter Chin (performer, Kanada), Rianto (penari asal Banyumas), Sandrayati Fay (komposer dan penyanyi asal Ubud, Bali), Transpiosa Riomandha (antropolog dari Yogyakarta) dan Mariana Isa (arsitektur dan peneliti dari Malaysia).