Tak butuh waktu lama menghabiskan bulatan penuh kue keranjang. Padahal, pembuatan kue itu menghabiskan waktu panjang dan rumit. Di setiap potongan terselip doa, harapan dan tradisi turun-temurun yang dipertahankan.
Oleh
Melati Mewangi
·3 menit baca
Rabu (15/1/2020) pagi, bau hio yang dibakar menguar di setiap sudut rumah mengiringi tangan keriput Hayati (68), warga Desa Nagri Kaler, Kecamatan Purwakarta, Jawa Barat, melepaskan kue keranjang dari cetakan bambu. Ia ditemani dua pekerja lepas. Mereka berbagi tugas mengayak tepung ketan, menggunting plastik pembungkus, dan mengepak kue keranjang ke dalam kardus.
Hayati adalah legenda Purwakarta. Dia menantu almarhum Wie Hok Djiauw, perintis usaha kue keranjang di Purwakarta tahun 1980-an. Bersama suaminya, Mulyadi (69), mereka satu-satunya penerus usaha warisan leluhur.
”Kalau tidak dekat Imlek, kami berjualan lotek,” kata Hayati. Keberadaan kue keranjang itu penanda keberadaan keturunan Tionghoa di Purwakarta. Hubungan Purwakarta tak lepas dari warga China Makau yang singgah di Kecamatan Wanayasa dan Kecamatan Jatiluhur.
Pemerhati sejarah Purwakarta, Ahmad Said Widodo, mengatakan, kedatangan warga China itu ada sejak zaman Hindia Belanda. Itu terbukti dengan adanya pemimpin keturunan Tionghoa di Kabupaten Karawang di Purwakarta (Lieutenant der Chinezen) yang bernama Ouw Kong Hang. Orang dataran China masuk ke wilayah ini sejak diterapkannya politik tanam paksa tahun 1830.
Keberadaan kue keranjang itu penanda keberadaan keturunan Tionghoa di Purwakarta.
Mereka tiba di Karawang dan Purwakarta melewati Sungai Citarum. Dulu, sungai itu jadi lalu lintas perdagangan mengirim hasil bumi. Mereka pun bekerja sebagai tenaga harian di perkebunan kopi, teh, dan pala di Wanayasa dan Kiarapedes. Rindu pada negeri asal membuat mereka membuat makanan khas. Kue keranjang salah satunya. Sebulan jelang perayaan tahun baru Imlek, Hayati dan Mulyadi kebanjiran pesanan dari Cikampek, Karawang, dan Bandung.
”Kue buatan kami berbeda dengan yang lain. Bakal tahu setelah menyantapnya,” kata Hayati yang bisa menghabiskan 500-1.000 kilogram adonan per minggu. Lebih dari sehari untuk membuat kue keranjang. Proses panjang itu dimulai dengan membeli beras ketan dan digiling di pasar dekat rumahnya. Produk lokal dipilih karena bertekstur sempurna saat dicampur bahan lainnya.
Kue keranjang dikukus 14 jam menggunakan tungku dan kayu bakar. Ini ciri khas kue keranjang buatan Mulyadi. Ciri khas lain, mempertahankan cetakan bambu. Cetakan itu ditata di atas meja. Di dalamnya diletakkan plastik pembungkus kue. Inilah asal mula disebut kue keranjang karena dicetak dalam wadah menyerupai keranjang.
Pesan luhur
Harga kue keranjang mereka Rp 35.000 per kg untuk tiga kue. Harga ini merupakan harga jual untuk pembeli yang datang langsung ke rumahnya. Hayati pernah diprotes karena harga itu dinilai kemahalan. Namun, ia tak ambil pusing. Baginya, barang berkualitas punya nilai tawar tinggi.
Bagi mereka, kue keranjang lebih dari sekadar kuliner. Ada doa dan pesan menjaga keberagaman. Kiprah Nandar (68), pekerja harian asal Cikalong, Bandung, jadi gambarannya. Buruh serabutan itu setiap jelang Imlek membuat adonan kue keranjang. Pencampuran dilakukan manual.
”Bismillah,” katanya sambil mencelupkan tangan ke baskom berisi tepung ketan dan air gula. Ia tak menyoal keyakinan, suku, dan budaya. Justru ia yakin itu bentuk persaudaraan. Ia bekerja dengan keluarga Mulyadi sejak tahun 1972.
Saat hendak mengukus, Nandar punya kebiasaan baik. Selain doa, ia pantang berkata kotor atau negatif. Seperti Mulyadi dan Hayati, dengan bayaran Rp 2 juta per bulan, ia yakin makanan juga harus ”dimanusiakan”. Perkataan buruk akan memengaruhi rasa dan pribadi yang menyantap. Di Purwakarta, kue keranjang mengajarkan banyak hal. Kesetiaan pada tradisi itu juga memperkuat persaudaraan. Dari sepotong kue, sejahtera juga dipupuk dalam damai.